Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh
setiap orang,namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebutagar bukan Cinta
yang mengendalikan Diri kita.Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta Mungkin
cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut disekitar kita saat ini
Walaupun bukan tidak ada..barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking
rapatnya dikendalikan
Tapi,kebanyakan
justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita
contoh. Kekurangan teladan? Mungkin..
Dan inilah
fragmen dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullah tentang
membingkai perasaan dan Bertanggung jawab akan perasaan tersebut “Bukan
janj-janji”. Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim
A.Fillah chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”
Ada rahasia
terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah
gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan
kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan
penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercayatak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercayatak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia
memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya...
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya...
Lihatlah juga
bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman
ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin
dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak
budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal,
Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang
dibebaskan ’Ali?Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih
bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah
persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku,
aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak
pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil
kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah
keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa
waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang
sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr
mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,seorang
lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat
muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh
Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al
Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang
melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah
’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang
menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua
pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada
kaum muslimin?
Dan lebih
dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang
bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk
bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi
ayah Fathimah.Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar
melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari
semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi
menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha..
Dan ’Ali ridha..
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan..
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung
ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa
bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu
membangunkan lamunan.
”Mengapa
engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu
Baginda Nabi..”
”Aku?”,
tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau
wahai saudaraku!”
”Aku hanya
pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun
menghadap Sang Nabi.Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya
untuk menikahi Fathimah.
Ya,
menikahi.
Ia tahu,
secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju
besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta
waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah
menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya
telah berkepala dua sekarang.
”Engkau
pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap
bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas
pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya
berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang
Nabi.Dan ia pun bingung.Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk
bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap
ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih riDan kejelasan jauh lebih ringan
daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya
dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana
jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Apa maksudmu?”
”Menurut
kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar
tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf
kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun
menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula
ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar
cicilannya. Itu hutang.
Dengan
keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.. Dengan
keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali
adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan
illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan
cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan
tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti
’Ali. Ia mempersilakanAtau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah
pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata
tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat
dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada
‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali
merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali
terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan
Siapakah pemuda itu”Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu
adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini,bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat-rapat keduanya menjaga perasaan itu
Kisah ini disampaikan disini,bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat-rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan
yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba.. ^_^