![]() |
Lupakan cinta jiwa yang tidak akan sampai di pelaminan. Tidak ada cinta jiwa tanpa sentuhan fisik.
Semua cinta dari jenis yang tidak berujung dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa.
Misalnya yang dialami Nasr
bin Hajjaj di masa Umar bin Khattab. Ia pemuda paling ganteng yang ada di
Madinah. Shalih dan kalem. Secara diam-diam gadis-gadis Madinah
mengidolakannya. Sampai suatu saat Umar mendengar seorang perempuan menyebut
namanya dalam bait-bait puisi yang dilantunkan di malam hari. Umar pun mencari
Nasr. Begitu melihatnya, Umar terpana dan mengatakan, ketampanannya telah
menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah. Akhirnya Umar pun memutuskan untuk
mengirimnya ke Basra.
Disini ia bermukim pada
sebuah keluarga yang hidup bahagia. Celakanya, Nasr justru cinta pada istri
tuan rumah. Wanita itu juga membalas cintanya. Suatu saat mereka duduk bertiga
bersama sang suami. Nasr menulis sesuatu dengan tangannya di atas tanah yang
lalu dijawab oleh seorang istri. Karena buta huruf, suami yang sudah curiga itu
pun memanggil sahabatnya untuk membaca tulisan itu. Hasilnya: aku cinta padamu!
Nasr tentu saja malu kerena ketahuan. Akhirnya ia meninggalkan keluarga itu dan
hidup sendiri. Tapi cintanya tak hilang. Dia menderita karenanya. Sampai ia
jatuh sakit dan badannya kurus kering. Suami perempuan itu pun kasihan dan
menyuruh istrinya untuk mengobati Nasr. Betapa gembiranya Nasr ketika perempuan
itu datang. Tapi cinta tak mungkin tersambung ke pelaminan. Mereka tidak
melakukan dosa, memang. Tapi mereka menderita. Dan Nasr meninggal setelah itu.
Itu derita panjang dari
sebuah cinta yang tumbuh dilahan yang salah. Tragis memang. Tapi ia tak kuasa
menahan cintanya. Dan ia membayarnya dengan penderitaan hingga akhir hayat.
Pastilah cinta yang begitu akan menjadi penyakit. Sebab cinta yang ini justru
menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisik.
Makin
intens sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa saling tersambung. Maka ketika
sentuhan fisik jadi mustahil, cinta yang ini hanya akan berkembang jadi
penyakit.
Itu sebabnya Islam
memudahkan seluruh jalan menuju pelaminan. Semua ditata sesederhana mungkin.
Mulai dari proses perkenalan, pelamaran, hingga, hingga mahar dan pesta
pernikahan. Jangan ada tradisi yang menghalangi cinta dari jenis yang ini untuk
sampai ke pelaminan. Tapi mungkin halangannya bukan tradisi. Juga mungkin tidak
selalu sama dengan kasus Nasr. Kadang-kadang misalnya, karena cinta tertolak
atau tidak cukup memiliki alasan yang kuat untuk dilanjutkan dalam sebuah
hubungan jangka panjang yang kokoh.
Apapun situasinya, begitu
peluang menuju pelaminan tertutup, semua cinta yang ini harus diakhiri. Hanya
di sana cinta yang ini absah untuk tumbuh bersemi: di singgasana pelaminan.
Oleh : Anis Matta