“Masalah” kata Diah Shore sebagaimana dikutip
dalam Chicken Soup for the Romantic Soul ,
“adalah bagian dari hidup. Jika kita tidak membanginya, kita tidak memberi
cukup kesempatan pada orang yang mencintai kita, untuk cukup mencintai kita.
Kata-kata ini, saya kira mewakili kemuliaan yang ingin dibawakan oleh para
istri untuk suaminya. Mereka ingin melihat cinta suaminya, disaat mereka
berbagi tentang perasaan-perasaannya. Kalimat ini adalah suara hati kaum hawa.
Mereka ingin membaginya sebagai sebuah ekspresi cinta.
Apabila seorang isteri mengungkapkan
emosi-emosi negatif, umumnya dia sedang dalam proses untuk menemukan apa yang
dirasakannya sebagai benar. Dia sedang bicara tentang perasaan-perasaannya,
bukan fakta. Dia tidak mengungkapkan fakta objektif. Seperti ketika ibunda kita
‘Aisyah r.a marah dan cemburu kepada Rasulullah, dia pernah sampai berkata
“Engkaukah
orang yang mengaku-ngaku sebagai Nabi?” (HR Abu Ya’la)
Ini bukan berarti bunda ‘Aisyah
tidak yakin bahwa suaminya seorang Nabi. Ia hanya sedang mengungkapkan perasaan
sesaatnya sebagai ekpresi kebutuhan untuk didengar. Ia tidak mengungkapkan
fakta. Ia juga tidak sedang mengungkapkan pengetahuan dan keyakinannya. Ia
sedang mengungkapkan perasaannya. “ Kalau engkau seorang Nabi, mengapa aku
merasa engkau tidak adil? Aku merasa engkau lebih memperhatikan Shafiyyah
daripada diriku. Aku merasa...” Ya ‘Aisyah hanya merasa. Dan perasaan itu
bukanlah pengetahuannya, bukanlah keyakinannya. Dan perasaan itu tidaklah
permanen. Sebentar lagi, ketika ia merasakan perhatian suaminya, perasaannya
telah akan berganti.
Bersabarlah sejenak untuk mendengar
perasaan-perasaan isteri kita. Seperti Rasulullah yang hanya tersenyum
mendengar perasaan negatif isterinya. Sungguh, kalaupun diungkapkannya adalah
perasaaan- perasaan negatif yang serasa menyerang dan menuduh suami, itu adalah
perasaan yang tidak permanen. Isteri yang
menyampaikan perasaan-perasaannya, tidaklah terikat oleh perasaan-peraasaan
itu. Ia dalam proses untuk menemukan perasaaan mana yang sungguh cocok. Hanya
karena mengatakan suatu hal, tidaklah berarti ia akan mengenakan perasaan yang
tercermin dalam kata-kata itu untuk selamaya. Sekali lagi, ia hanya sedang
mencari mana yang cocok. Sebentar lagi, ketika merasakan ada perbedaan
dalam perhatian suaminya, perasaanya insyaAllah akan berubah.
Dalam hal ketika isteri mengatakan
perasaan- perasaannya yang serasa menyerang kita, kitalah –para suami- yang
bisa membantunya menemukan perasaan yang paling cocok. Perasaan yang paling
cocok yang kita harapkan adalah bahwa ia mencintai kita. Dan kita bisa
mengikhtiyarkan itu bersama-sama. insyaAllah..
Semulia-mulia laki-laki dihadapan
isterinya adalah Rasulullah, dan orang yang mengikuti beliau dalam teladan
akhlaq. Maka dimanakah kita wahai para suami? Adakah kita bersedia mendengarkan
perasaan-perasaannya yang menyesak-nyesak ekssistensi kita sebagai suami?
Adakah kita masih terpancing untuk mereaksi dengan kemarahan, karena menganggap
isteri kurang sabar, kurang syukur, kurang qana’ah? Padahal kitalah yang kurang
sabar untuk sejenak mendengar. Padahal, kitalah yang kurang bersyukur telah
diingatkan isteri untuk semakin mengeratkan cinta. Padahal kitalah yang kurang
qana’ah atas keadilan dan kasih sayang Allah ini.
Agar anda sebagai suami bisa
bersikap benar ketika isteri mngungkapkan perasaan-perasaanya, ada baiknya kita
belajar tentang bahasa isteri yang sedang membicarakan perasaan. Jangan sampai
kita salah tafsir. Ketika isteri mengeluh tentang kondisi rumah, tidak selalu
berarti bahwa dia menginginkan sebuah rumah yang lebih bagus sehingga kita
sebagai suami merasa tertuntut untuk mengejar ma’syah dengan lebih keras lagi.
Ketika kita menafsir demikian, jangan-jangan ada rasa tak dihargai sehingga
kita marah. Padahal, sebetulnya isteri
hanya sedang ingin berbagi kekecewaannya dan dia hanya menghajatkan diri untuk
didengar. Untuk didengar dan difahami. Untuk menunjukkan bahwa anda
memahami, belumlah menjanjikan sesuatu yang tidak pasti seperti sebuah rumah
yang bergarasi.
Jangan sampai kita salah tafsir.
Ketika isteri mengeluh tentang pekerjaan-pekerjaannya, tidak berarti suami
harus berusaha agar sang isteri sama sekali tak mengerjakan apapun. Ketika kita
menafsir demikian, jangan-jangan ada perasaan bahwa isteri tidak bersyukur
sehingga kita marah. Padahal isteri hanya
ingin berbagi cerita tentang harinya yang melelahkan dan menjalin kemesraan
yang lebih dengan suami untuk menguatkannya. Ia ingin kuat, dan jika ia kuat,
ia sanggup mengerjakan tugas-tugasnya, insyaAllah. Isteri hanya ingin
didengar dan difahami, dan jika suami masih memiliki sisa energi, alangkah
indahnya membantu seperti Rasulullah yang menambal baju robek, mengadoni roti,
dan menjahit terompahnya sendiri.
Jangan kita salah tafsir. Ketika
isteri mengeluh tentang tetangga, lingkungan, cuaca, temperatur, sampah atau
masalah-masalah lain yang sulit dicari pemecahannya, tidaklah selalu berarti
anda harus mengusahakan diri untuk pindah secepat mungkin kelingkungan yang
lebih baik lagi- dalam arti tentu fisik saja. ketika isteri mengungkapkan kekesalan pada hal-hal itu, seringnya dia
hanya sedang ingin berbagi dan berharap simpati atas kejadian yang dialaminya.
Jangan sampai kita salah tafsir.
Ketika isteri berkata bahwa kita terlalu banyak bekerja, tidak selalu berarti
kita harus mencari pekerjaan lain yang menghasilkan lebih banyak uang dan
menyedot lebih sedikit sumber daya. Ketika kita mentafsir demikian, jangan-jangan
muncul lagi perasaan bahwa isteri tidak qana’ah dan tidak bersyukur pada suami
sehingga kita marah. Padahal, sebenarnya
isteri hanya sangat merindukan suami dan ingin meluangkan waktu lebih banyak
bersama-sama.
Nah.. Adakah kita –para- suami- bersedia
mendengarkan perasaan-perasaan isteri kita yang menyesak-nyesak itu??
Sumber:
Buku “Baarakallahu laka Bahagianya merayakan Cinta” Salim A. Fillah