Bismillaah ...
Oleh: Ust. Abu Muawiah.
Oleh: Ust. Abu Muawiah.
Saudariku muslimah, tahukah kamu siapa
suamimu di surga kelak?(1) Artikel di bawah ini akan menjawab pertanyaan anti.
Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan, tapi kepastian (atau minimal suatu
prediksi yang insya Allah sangat akurat), yang bersumber dari wahyu dan
komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:
Perlu diketahui bahwa keadaan wanita di
dunia, tidak lepas dari enam keadaan:
1. Dia meninggal sebelum menikah.
1. Dia meninggal sebelum menikah.
2. Dia meninggal setelah ditalak
suaminya dan dia belum sempat menikah lagi sampai meninggal.
3. Dia sudah menikah, hanya saja
suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam surga, wal’iyadzu billah.
4. Dia meninggal setelah menikah baik
suaminya menikah lagi sepeninggalnya maupun tidak (yakni jika dia meninggal
terlebih dahulu sebelum suaminya).
5. Suaminya meninggal terlebih dahulu,
kemudian dia tidak menikah lagi sampai meninggal.
6. Suaminya meninggal terlebih dahulu,
lalu dia menikah lagi setelahnya.
Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
Perlu diketahui bahwa keadaan laki-laki
di dunia, juga sama dengan keadaan wanita di dunia: Di antara mereka ada yang
meninggal sebelum menikah, di antara mereka ada yang mentalak istrinya kemudian
meninggal dan belum sempat menikah lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya
tidak mengikutinya masuk ke dalam surga. Maka, wanita pada keadaan pertama,
kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki
dari anak Adam yang juga masuk ke dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga
keadaan tadi. Yakni laki-laki yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang
berpisah dengan istrinya lalu meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki
yang masuk surga tapi istrinya tidak masuk surga.
Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits riwayat Muslim no. 2834 dari
sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:
مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ
“Tidak ada seorangpun bujangan dalam
surga”.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-
berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya terambil dari keumuman
firman Allah -Ta’ala-:
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ
“Di dalamnya kalian memperoleh apa yang
kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Turun
dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)
Dan juga dari firman Allah -Ta’ala-:
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ
الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan di dalam surga itu terdapat segala
apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di
dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)
Seorang wanita, jika dia termasuk ke
dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah (di dunia) atau suaminya
tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia masuk ke dalam surga maka di
sana ada laki-laki penghuni surga yang belum menikah (di dunia). Mereka -maksud
saya adalah laki-laki yang belum menikah (di dunia)-, mereka mempunyai
istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga mempunyai istri-istri dari
kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula yang kita katakan perihal
wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan tidak bersuami atau dia sudah
bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak masuk ke dalam surga. Dia (wanita
tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti dia akan mendapatkan apa yang dia
inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas”.
Dan beliau juga berkata pada no. 178,
“Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika di dunia, maka Allah -Ta’ala-
akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia senangi di surga. Maka,
kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum lelaki, tapi bersifat umum
untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara kenikmatan-kenikmatan tersebut
adalah pernikahan”.
Adapun wanita pada keadaan keempat dan
kelima, maka dia akan menjadi istri dari suaminya di dunia.
Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.
Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.
Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا
“Wanita itu milik suaminya yang paling
terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari sahabat Abu Darda`
dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah: 3/275/1281)
Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:
Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:
إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي
الْجَنَّةِ فَلاَ تُزَوِّجِي بَعْدِي. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ
أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا. فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ
أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِي الْجَنَّةِ
“Jika kamu mau menjadi istriku di surga,
maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku, karena wanita di surga milik
suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya, Allah mengharamkan para
istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena mereka adalah
istri-istri beliau di surga”. (HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )
Faidah:
Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:
Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:
وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا
“Dan gantilah untuknya suami yang lebih
baik dari suaminya (di dunia)”.
Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?
Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia (2). Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?
Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia (2). Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti
dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (Ibrahim: 48)
Bumi (yang kedua) itu juga bumi (yang
pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian pula langit (yang kedua)
itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang sudah pecah”. Jawaban
beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah karya Sulaiman bin Sholih
Al-Khurosy.
(1) Karenanya sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.
(1) Karenanya sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.
(2) Maksudnya, suaminya sama tapi
sifatnya menjadi lebih baik dibandingkan ketika di dunia.
Sumber : al-atsariyyah.com
Sumber : al-atsariyyah.com