Pagi itu langit pedesaan masih di selimuti
embun-embun pagi. Kicauan burung menjadi nyayian indah dengan bunyi yang
beranika. Geriangan anak-anak sekolah dengan seragam putih abu-abunya berjalan
menelusuri lekukan-lekuan jalan desa. Sebuah sekolah bercat putih Nampak gagah
meski hanya bisa dikalang apa adanya. Di depanya terlihat hiasan bunga dalam
pot-pot kecil hasi karya palajar kesenian. Dalam Sebuah kelas yang ruangannya
pengap berdiri seorang laki-laki berkemeja hitam pekat, penampinlanya rapi
sekali dengan peci hitam yang bertengger di kepalanya. Dengan wajah tampannya,
Ia tebarkan senyum untuk mengawali paginya yang cerah. Dia sudah siap untuk
menyampaikan sebuah materi pelajaran yang telah menjadi pegangannya. Hari itu
merupakan hari pertamanya menjadi Guru. Dan ternyata Kegagahan beliau
memberikan pesona yang begitu kuat pada semua pelajar di dalam ruangan. Semua
pelajar itu tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada guru baru yang kini
berada di depannya itu.
“ Pak, kalau boleh tahu, apakah bapak sudah
punya tunangan..?” satu pertanyaan agak sedikit lucu dia dengar dari salah satu
murid putrid
“Huufh………….”sorakan teman-temannya mengudara.
Siswi itu agak malu rupanya bertanya demikian. Wajahnya menjadi mirah merona.
Namun dengan bijaknya lelaki berpeci hitam itu tersenyum dan menjawab,
“Ehem! mungkin saya jawab dengan sebuah
cerita ya!”. Semua muridnya terkesima penasaran ingin mendengarkan cerita pak
guru. suasanapun menjadi hening.
“Dahulu, ada seorang pemuda yang telah lama
belajar agama di sebuah pesantren di Jawa timur, tepatnya di daerah madura, Ia
termasuk anak yang baik akhlak dan budi pekertinya, pintar dan juga banyak
prestasi yang pernah ia raih, baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren.
Orang-orang sering memanggilnya dengan nama Fakih si peraih banyak prestasi.
Alasan mengapa Fakih selalu mendapat juara dalam segala hal, karena ia
terangkat dan termotivasi oleh seorang. Dia bagi Fakih adalah perhiasan
berharga yang selalu menghiasi hatinya, selalu membuat jiwanya membara untuk
meraih apa yang Fakih cita-citakan. Iapun sebenarnya telah lama bersemayam
dalam lubuk hati Fakih, namun Fakih belum berani mengatakan isi hatinya.
Setelah lulus dari Sekolah Aliyah, Fakih
dipanggil oleh Kyainya. Fakih merasa ada yang aneh dengan sikap yang dilakukan
sang kyai pada hari itu sampai-sampai memanggilnya masuk ke dalam rumah. Tidak
disangka pak Kyai ternyata telah mengetahui bahwa Fakih menyukai seorang santriwati
yang Hafidzah, ia bernama Khanza Afika Najma . Fakih tertunduk malu. Seketika
itu Pak Kyai menghubungi orang tua Fika dan meminta anaknya untuk bersedia
dilamar oleh seorang santri yang akan melanjutkan kuliah di Surabaya. Orang
tuanya dengan ta’dzimnya menerima permohonan Pak Kyai itu. Tanpa basa basi, Pak
Kyaipun menanyakan kesiapan Fakih langsung dan memohon orang tuanya untuk
mempersiapkan lamaran. Fakihpun mengiyakan dengan ekspresi kaku tidak
menyangka.
Akhirnya digelarlah acara lamaran Fakih di kediaman
Fika yang dihadiri oleh keluarga besar pesantren. Kedua sejoli itu akhirnya
menjadi sepasang kekasih yang tinggal menunggu janur kuning ditancapkan. Dari
keluarga kedua belah pihak sepakat acara pernikahan akan digelar setelah
kepulangan Fakih dari Surabaya.
Setelah pertunangan itu Fakih pergi lagi ke
kota Surabaya. Sebelum berangkat, beberapa patah kata terlontar dari bibir
dingin Fakih,
“ Wahai bidadariku, bersabarlah kau menanti,
tanamkanlah rasa cinta ini untuk nanti kau usap ketika hatimu dahaga, karena
dengan cinta ini rindumu tidak akan menjadi benalu yang harus kau obati dengan
hati orang lain, malainkan kau akan sabar menunggu waktuku datang. Lalu cinta
kita akan terus bermekaran karena rasa rindu saling terhempaskan. Insyaallah
aku akan menjadikanmu sebagai satu-satunya bidadari yang akan menjadi ibu dari
anak-anakku, berdoalah semoga perjalanan kita selalu dalam ridho Ilahi Rabbi”.
Kata yang indah itu merasuk dalam hati fika menjadi kepercayaan yang begitu
kuat.
“ Baiklah wahai kekasihku, aku ikhlas dengan
kepergianmu. Akupun kan bersabar menantimu, dibawah kehendak Allah doaku akan
kupastikan selalu menyertaimu sampai tiba waktunya kita kan bersatu, demi rasa
hati ini akupun ingin kaulah yang akan menjadi nahkoda hidupku” begitulah mereka
saling menyerahkan hati.
****
Sesampainya di Surabaya, Fakih mulai
disibukan dengan kegiatan kuliahnya, ia begitu semangat, serius dan
bersungguh-sungguh. Cita-citanya ingin berhasil dengan predikat terbaik. Fakih
masuk di Fakultas Syariah, jurusan Ekonomi Islam, Kesenangannya dengan sistem
ekonomi modern membuat kesehariannya senantiasa digeluti dengan kitab-kitab
tafsir. Setiap hari dia selalu membaca Buku-buku Ekonomi dan kitab-kitab lainya
yang membahas tentang perekonomian islam. Dia seperti tidak punya waktu selain
dengan kegiatan belajarnya. Dari mulai kuliah, mengulang pelajaran, menghafal
Al Qur’an, mengaji dan mengikuti dauroh-dauroh yang diadakan oleh tentang
ekonomi rasulluah.
Di tengah kesibukannya, sebetulnya Fakih
terkadang merasa rindu kepada pesona indah wajah Fika. Ketika itu, Ia selalu
pergi ke pinggiran sungai yang ada di dekat kampusnya, menikmati keindahan aura
sungai sambil menyaksikan nikmatnya surya di pagi hari.sambil duduk menyendiri
meresapi angin kota Surabaya, membayangkan bidadari impian hatinya. Ia sering
mengungkapan isi hatinya dengan mendendangkan syi’ir cinta arab, “Wahai
segerombolan merpati,,,apakah diantara kalian ada yang berkenan meminjamkan
sayapnya , sehingga aku bisa terbang menuju orang yang sangat ku cinta” .
Fika yang merupakan santriwati Hafidhah,
seringkali mengirim surat lewat pos untuk Fakih, dalam suratnya Fika memberi
tahu bahwa ia sudah menyelesaikan hafalan Al Qur’an lebih cepat, Ia juga
memohon izin untuk mengabdi sambil mengikuti kuliah keguruan di Instutut Ilmu
Al Qur’an yang ada di pesantrennya. Fika memang perempuan yang sangat sholehah,
Ia sering memberi nasihat dan motivasi agar Fakih senantiasa tekun ibadah,
kuliah dengan rajin, sehingga mendapat ilmu yang berkah dan manfa’at. Setelah
membacanya, Fakih seolah mendapat energi dan semangat baru. Kata-kata Fika
membuat gelora jiwanya meningkat. Ia bertekad harus menjadi yang terbaik,
karena ia akan menjadi Imam dari bidadari jelitanya.
Akhirnya kurang dari empat tahun, Fakih mampu
menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cumlaude, Ia berhasil menemukan dan
menyatukan sistem ekonomi rasulluah SAW. Fakih pernah meraih dua kali kejuaraan
ajang Ekonomi Syari’ah dan juga pembacaan puisi dalam even yang di adakan
Universitasnya. Semua itu berkat sosok seorang bidadari calon pendamping
hidupnya, yang senantiasa menentramkan jiwa, membakar semangat dan cita-cita.
Setelah kepulangannya dari Surabaya, Keluarga
Fakih dan Fika sepakat meresmikan pernikahan di pertengahan bulan syawwal,
tepat setelah satu bulan Fakih di kampung halamannya. Persiapan acara sudah
meriah, siap untuk digelar. Keluarga, kerabat, dan masyarakat
berbondong-bondong menghadiri acara. Iqrar ijab qobul diucapkan dari lisan
Fakih dengan bahasa arab fasih, semua hadirin mengesahkan, semarak suasana membahana
bahagia, akhirnya kedua sojoli telah sah terikat dengan tali pernikahan, Fakih
dan Fika diarak dengan mobil sedan yang sudah dihias indah, saat itulah Fika
telah halal untuk Fakih. dengan hangat Fika mencium tangan Fakih, dengan kasih
dan sayang Fakih mencium kening wajah anggun Fika dan membelainya dalam
pelukan. Tiba-tiba sedan yang membawa mereka oleng, sekilas dari arah yang
berlawanan mobil truk yang melaju kencang menabrak sedannya hingga terguling.
Semua murid di ruang kelas kaget dan menjerit
histeris, bahkan ada yang menangis.
“ lalu bagaimana nasib Fakih dan Fika, Pak?” salah satu dari mereka masih tidak puas dengan cerita pak guru.
“ lalu bagaimana nasib Fakih dan Fika, Pak?” salah satu dari mereka masih tidak puas dengan cerita pak guru.
Guru
itu meneruskan
“ Ya, Alhamdulillah Fakih masih bisa
diselamatkan, Namun Fika, Ia tewas di tempat kejadian” ruang kelas menangis,
banyak tetesan air mata tidak bisa dibendung.
“ Fakih waktu itu sangat terpukul dan
frustasi, namun Ia masih diberi ketabahan. Ia berdo’a, semoga istrinya
dimasukan ke dalam surga, menjadi bidadari pendamping diakhiratnya kelak.
Kemudian, untuk menghilangkan kesedihannya, Fakih bertekad kembali ke Surabaya
melanjutkan S-2nya sampai gelar master, kemudian dua tahun kemuadian kembalilah
Fakih ke daerahnya, saat ini dia telah berdiri di depan kalian semua. Moh.Anwar
Fakih, Al Haytami.”siswi tadi tertunduk tanpa sepatah katapun, dengan derai air mata guru barunya
itu dipeluk
“Yang sabar pak….” ucapnya lirih….
“Yang sabar pak….” ucapnya lirih….
Selesai