Hidup dalam sebuah rumah yang damai, adalah harapan bagi semua orang. Rumah tangga yang damai, tenteram, adalah sebuah syurga bagi penghuninya. Tetapi, terkadang rumah tangga bisa menjadi neraka, tempat yang selayaknya untuk beristirahat, berubah menjadi arena perang antara suami dan istri. Jika ini terjadi, yang menjadi korban adalah seluruh penghuninya.
Jika dilihat lebih dalam, banyak faktor yang membuat sebuah rumah tangga mengalami masalah. Faktor kuncinya adalah komunikasi dan perbedaan sudut pandang serta prasangka yang dipendam (prasangka suami atau istri). Untuk lebih jelasnya, bagaimana pengaruh prasangka dalam kehidupan keluarga, ada baiknya kita membaca dulu cerita dari Aaron Back (seorang terapis kognitif/konselor keluarga) di bawah ini:
Anak-anak sedang ribut dan berisik, Martin, ayah mereka, menjadi terganggu. Ia menolah kepada Istrinya, Melanie dan berkata dengan nada tajam.
Martin : “apa kau tidak bisa menyuruh anak-anak diam” --- >>> (pikiran sebenarnya adalah : “Ia terlalu memanjakan anak-anak”).
Melanie : (Menanggapi kejengkelan suaminya, merasa bangkit amarahnya. Wajahnya menjadi tegang, keningnya mengerjit, dan menjawab): “Anak-anak sedang bergembira. Toh, mereka juga akan segera tidur”. ---- >>> (pikiran yang sebenarnya adalah: “begitu lagi, mengeluh terus”).
Martin : (Sekarang jelas-jelas marah. Badannya maju ke depan dengan gaya mengancam, dan tangannya dikepalkan, sewaktu dia berkata dengan nada marah): “kau mau aku yang menidurkan mereka sekarang?”. --- >>> (Pikirannya yang sebenarnya adalah : “dia melawanku dalam segala hal, lebih baik aku yang ambil alih (menidurkannya)”).
Melanie : (Tiba-tiba takut melihat Martin/suaminya marah, dan berkata dengan lembut): “tidak, aku saja yang akan menidurkan mereka”. --- >>> (Pikiran yang sebenarnya: “Dia mulai gawat, dia dapat melukai anak-anak, lebih baik aku yang menyerah”).
Bagi Melanie, gagasan samar-samar itu kurang lebih seperti ini dia mengartikan suaminya: “dia selalu menggertakku dengan marah-marah”. Bagi Martin, gagasan pokoknya adalah: “dia tidak berhak memperlakukanku seperti itu”. Melanie merasa menjadi korban yang tak bersalah dalam perkawinan mereka, dan Martin merasa bahwa amarahnya tak menyimpang atas apa yang dianggapnya perlakuan tidak adil.
Ini adalah salah satu contoh komunikasi dalam keluarga/suami-istri. Komunikasi yang tidak dikeluarkan, karena dia adalah prasangka. Padahal, apa yang sebetulnya ada dalam pikiran pasangannya belum tentu sama dengan prasangkanya. Ini menunjukkan bahwa prasangka yang terbangun antara suami istri sangat berbahaya.
Emosi dan prasangka dibangun secara subjektif oleh seseorang berdasarkan pengalaman masa lalunya. Padahal waktu dan konteksnya pun sudah berbeda, sehingga untuk menarik kesimpulannya pun secara rasional akan berbeda.
Referensi:
Goleman, Daniel. 2009. Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Corey, Gerald. 2007. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Refika Aditama