Ada sedikit tulisan neh dikutip dari buku “Di Jalan Dakwah Aku
Menikah”, karya Cahyadi Takariawan. Di jalan apakah Anda menikah? Ada banyak
jalan terbentang, mau pilih yang mana kita?
Ada jalan instinktif yang biasa dilalui manusia pada
umumnya, bahwa pernikahan adalah cara menyalurkan kebutuhan biologis yang pasti
muncul pada laki-laki dan perempuan dewasa. Jalan yang menghantarkan setiap
orang, apapun agama dan ideologinya, untuk bisa mencintai dan menyayangi
psangan hidupnya. Menumpahkan syahwat secara bertanggung jawab kepada
pasangannya
Binatang mengekspresikan keinginan berpasangan secara
instinktif. Tentu saja binatang tidak memiliki tujuan yang ideologis dalam
melaksanakan fungsi reproduktif. Mereka hanya diberi instink mengembangkan
keturunan dengan jalan penyaluran libido seksual kepada lawan jenis. Mereka
dibekali naluri yang kuat untuk mendekati lawan jenis dan melampiaskan
keinginan instinktifnya.
Pilihan jalan ini bersifat tradisional, secara
intuitif manusia memerlukan teman dan pasangan hidip. Maka mereka mencari
pasangan semata-mata dengan orientasi besar penyaluran kebutuhan bilogis.
Pilihan pasangan hidupnya pun sesuai dengan tujuan tersebut, yaitu harus bisa
memuaskan keperluan syahwatnya secara optimal. Desakan untuk menikah karena
pertimbangan usia yang semakin dewasa dan dorongan libido yang kian memuncak.
Jalan ini merupakan pilihan masyarakat yang awam akan agama dan jauh dari
sentuhan spiritulitas.
Di jalan apa Anda menikah? Ada ideologi materialisme
yang menawarkan janji-janji serbamateri. Kekayaan, kemegahan, keserbapunyaan
material akan menjadi tawaran utama tatkala anda menapakinya. Kehidupan
layaknya borjuis, mengukur segala sesuatu berdasarkan aspek materi, kebaikan
diukur dari segi melimpahnya harta dunia. Pesta pernikahan di dasar samudra,
bulan madu di angkasa raya, malam pertama di California, itu janji-janjinya. Perhatikan
bagaimana Alah swt. mencirikan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah:“…dan
orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya
binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.”(Muhammad:12)
Mereka hidup hanya berfoya-foya, tidak mengenal
orientasi ukhrawi. Hidup mereka penuh dengan kemelimpahan materi. Dampaknya
ketika memutuskan untuk melaksanakan pernikahan, tolak ukur utamanya adalah
materi. Memilih calon suami atau istri lebih meninjau sisi materialnya. Baik
materi itu berupa kekayaan, atau materi dalam konteks kecantikan, ketampanan,
bentuk tubuh, berat dan tinggi badan, warna kulit dan lain sebagainya.
Allah mencela orientasi materialisme, dengan mengungkapkan
celaan pada pelakunya:“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
amat sangat (Al-Fajr:20)Demkian juga Allah swt. Telah mengecam pemilik kemewahan yang berorientasi
materialistis.Bermegah-megah telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam
kubur (At Takatsur: 1-3)
Sebuah celaan yang amat dasyat, bagaimana orang
berlomba-lomba dalam orientasi materi, sehingga membutakan mata ruhani dan
membakar nafsu duniawi mereka. Sampai masuk kubur mereka masih berpikir membawa
kemewahan dunia. Dalam ayat lai Allah mencela mereka yang senantiasa mengukur
segala sesuatu dengan harta Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,
dia mengira bahwa harta itu dapat mengekalkannya. (Al Humazah:2-3)
Sebuah orientasi picik yang akan menghantarkan manusia
menuju kehinaan. Benarlah kata-kata bijak yang mengingatkan akan masalah ini,
“Barangsiapa orientasi dan cita-citanya hanyalah sebatas pada apa yang masuk ke
dalam perutnya, maka nilai kemanusiannya tak lebih dari apa yang keluar dari
perutnya.
Betapa banyak masyarakat kita yang rela meninggalkan
keyakinan agamanya hanya karena ingin mendapatkan jodoh yang tampan, cantik dan
kaya. Jika jalan ini menjadi pilihan anda, kerugian sudah pasti merupakan
akibatnya. Ini adalah pilihan hidup yang menyesatkan, bukankah manusia memiliki
sifat dasar tidak pernah bisa memuaskan?
Di jalan apa anda menikah? Ada jalan setan yang
membentang luas di sebelah kanan dan kiri anda, mengajak anda melewatinya,
dengan berbagai janji-janji keindahan dan kenikmatan. Setan menawarkan
kebebasan melampiaskan hawa nafsu, kebebasan pemenuhan syahwat, berganti-ganti
pasangan untuk saling menikmati sebelum terjadinya pernikahan.
“syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi.” (Al-Mujadilah:19)
“syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi.” (Al-Mujadilah:19)
Ketika manusia mulai dikuasai setan, yang bergerak
dalam hati pikirannya hanyalah kekuasaan setan. Hawa nafsu telah menguasai gerak
langkahnya, segala yang dilarang Allah tampak demikian indah dan menyenangkan,
mereka telah mengabdi kepada kepentingan nafsunya sendiri.
Setan berusaha dengan sekuat tenaga mereka untuk
membangkitkan angan-angan kosong pada manusia yang lengah dan lalai dari
dzikrullah. Jalan setan dipenuhi dengan hiasan-hiasan keindahan versi setan,
hidup dalam angan-angan kosong, khayalan, lamunan berkepanjangan,
mengandai-andaikan keindahan hidup. Lalu bagaimana mungkin anda akan memilih
menikah di jalan setan, padahal jelas-jelas akan menipu dan menyesatkan?
Di jalan apakah anda menikah? Nun jauh disana, ada
kehidupan lain yang menolak kemewahan. Adalah serbaruhani. Dimana
keridakpunyaan menjadi dasar pilihannya. Kehidupan material harus ditinggalkan
karena sumber permasalahan. Harta adalah sampah dunia yang kotor dan
menjijikkan. Keluarga yang bergelimang dalam kehidupan materi akan malenakan,
jangan mencari materi, sebab ia akan menyesatka. Orientasi serbamateri membawa
anda kepada kehidupan kehinaan, sebab nafsu memiliki benda-benda adalah syahwat
yang membakar dan menghanguskan. Materi akan menghinakan anda, maka
berpalinglah darinya, begitu prinsip merka yang berada di jalan serbaruhani. Antitesa
dari jalan serbamateri adalah jalan serbaruhani. Perlawanan kultural dan
ideologis, vis a vis, melawan kemewahan dengan ketiadaan, melawan kerakusan
dengan keberpalingan dari dunia, melawan keberadaan dengan ketiadaberadaan.
Jalan ini amat menistakan keberlimangan material, menolak hidup berlimpah
harta, tubuh gemuk, malas ibadah dan pula syahwat menguasai hidup, akan tetapi
mereka melawan dengan ekstrim di sisi yang lain.
Sesungguhnya Islam tidak mengharamkan materi selama diperoleh dengan cara yang benar. Islam menganggap harta adalah bagian dari perhiasan dunia yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang dan mengamalkan kebaikan. Sekalipun Islam tidak menghendaki umatnya berorientasi serba materi, akan tetapi juga menolak jalan serbaruhani yang menolak kepentingan materi.
Sesungguhnya Islam tidak mengharamkan materi selama diperoleh dengan cara yang benar. Islam menganggap harta adalah bagian dari perhiasan dunia yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang dan mengamalkan kebaikan. Sekalipun Islam tidak menghendaki umatnya berorientasi serba materi, akan tetapi juga menolak jalan serbaruhani yang menolak kepentingan materi.
Di jalan apakah anda menikah? Terbentang pula dengan
lurus dan amat luas jalan dakwah.Jalan para Nabi dan syuhada, jalan orang-orang
saleh, jalan para ahli surga yang kini telah bercengkerama di taman-tamannya: Katakanlah:
“Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk
orang-orang yang musyrik”. (Yusuf:108) Hadzihi sabili, inilah jalanku, yakni
ad’u ilallah, aku senantuasa mengajak manusia kepada Allah. Fi’il mudhari’ yang
digunakan pada kalimat ad’u ilallah semakin menegaskan bahwa dakwah adalah
pekerjaan yang sedang dan akan terus-menerus dilakukan kaum muslimin, yaitu
ana, Rasulullah saw, wamanittaba’ani dan orang-orang yang mengikuti Rasullullah
saw sampai akhir zaman nanti.
Inilah jalanku, yaitu jalan dakwah, jalan yang
membentang lurus menuju kebahagiaan dan kepastian akhir. Jalan yang dipilihkan
Allah untuk para Nabi, dan orang-orang yang setia mengikuti mereka. Jalan
inilah yang menghantarkan Nabi saw menikahi istri-istrinya. Jalan ini yang
mengantarkan Ummu Sulaim menerima pinangan Abu Thalhah. Jalan yang menyebabkan
bertemunya Ali r.a dan Fatimah az-Zahra dalam sebuah keluarga. Di jalan dakwah
itulah Nabi saw menikahi Ummahatul Mukminin. Di jalan itu pula para sahabat
Nabi menikah. Di jalan dakwah itulah orang-orang saleh membina rumah tangga.
Jalan ini menawarkan kelurusan orientasi, bahwa pernikahan adalah ibadah. Bahwa
berkeluarga adalah salah satu tahapan dakwah untuk menegakkan kedaulatan di
muka bumi Allah. dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang
lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Al-An’am:153)
Menikah di jalan dakwah akan mendapatkan
keberuntungan. Di jalan ini para sahabat Nabi melangkah, di jalan ini mereka
menikah, di jalan ini pula mereka meninggal sebagai syahid dengan kematian yang
indah. Jalan yang tak pernah memberikan kerugian. Justru senantiasa menjadi
invesatasi masa depan yang menguntungkan di dunia maupun akhirat.
Di jalan ini kecenderungan ruhiyah amat mendapat perhatian, akan tetapi tidak mengabaikan segi-segi materi. Di jalan ini setan terkalahkan oleh orientasi Rabbani, dan menuntun prosesnya, dari awal sampai akhir, senantiasa memiliki kontribusi terhadap kebaikan dan umat. Sejak dari persiapan diri, pemilihan jodoh, peminangan, akad nikah hingga walimah dan hidup satu rumah. Tiada yang dilakukan kecuali dalam kerangka kesemestaan dakwah.
Di jalan ini kecenderungan ruhiyah amat mendapat perhatian, akan tetapi tidak mengabaikan segi-segi materi. Di jalan ini setan terkalahkan oleh orientasi Rabbani, dan menuntun prosesnya, dari awal sampai akhir, senantiasa memiliki kontribusi terhadap kebaikan dan umat. Sejak dari persiapan diri, pemilihan jodoh, peminangan, akad nikah hingga walimah dan hidup satu rumah. Tiada yang dilakukan kecuali dalam kerangka kesemestaan dakwah.
(dikutip
dari buku “Di Jalan Dakwah Aku Menikah”, karya Cahyadi Takariawan)