Istilah disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan pada salah satu atau lebih aspek fungsi seksual (Pangkahila, 2006). Bila didefinisikan secara luas, disfungsi seksual adalah ketidakmampuan untuk menikmati secara penuh hubungan seks. Secara khusus, disfungsi seksual adalah gangguan yang terjadi pada salah satu atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal (Elvira, 2006). Disfungsi seksual adalah gangguan di mana klien mengalami kesulitan untuk berfungsi secara adequate ketika melakukan hubungan seksual. Sehingga disfungsi seksual dapat terjadi apabila ada gangguan dari salah satu saja siklus respon seksual.
Siklus respon seksual
Menurut (Kolodny, Master, Johnson, 1979)
1. Fase Perangsangan (Excitement Phase)
Perangsangan terjadi sebagai hasil dari pacuan yang dapat berbentuk fisik atau psikis. Kadang fase perangsangan ini berlangsung singkat, segera masuk ke fase plateau. pada saat yang lain terjadi lambat dan berlangsung bertahap memerlukan waktu yang lebih lama.
Pemacu dapat berasal dari rangsangan erotik maupun non erotik, seperti pandangan, suara, bau, lamunan, pikiran, dan mimpi.
Kenikmatan seksual subjektif dan tanda-tanda fisiologis keterangsangan seksul: pada laki-laki, penis yang membesar (peningkatan aliran darah yang memasuki penis); pada perempuan, vasocongestion (darah mengumpul di daerah pelvis) yang mengakibatkan lubrikasi vagina dan pembesaran payudara (putting susu yang menegak).
2. Fase Plateau
Pada fase ini, bangkitan seksual mencapai derajat tertinggi yaitu sebelum mencapai ambang batas yang diperlukan untuk terjadinya orgasme (periode singkat sebelum orgasme).
3. Fase Orgasme
Orgasme adalah perasaan kepuasan seks yang bersifat fisik dan psikologik dalam aktivitas seks sebagai akibat pelepasan memuncaknya ketegangan seksual (sexual tension) setelah terjadi fase rangsangan yang memuncak pada fase plateau.
Pada laki-laki, perasaan akan mengalami ejakulasi yang tak terhindarkan yang diikuti dengan ejakulasi; pada perempuan, kontraksi di dinding sepertiga bagian bawah vagina.
4. Fase Resolusi
Pada fase ini perubahan anatomik dan faal alat kelamin dan luar alat kelamin yang telah terjadi akan kembali ke keadaan asal. Menurunnya keterangsangan pasca-orgasme (terutama pada laki-laki)
Sehingga adanya hambatan atau gangguan pada salah satu siklus respon seksual diatas dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual.
Disfungsi seksual bias bersifat lifelong (seumur hidup) atau acquired (didapat). Lifelong mengacu pada kondisi kronis yang muncul diseluruh kehidupan seksual seseorang, sedangkan acquired mengacu pada gangguan yang dumulai setelah aktivitas seksual seseorang relative normal. Selain itu gangguan ini dapat bersifat generalized (menyeluruh), yang terjadi setiap kali melakukan hubungan seksual, atau situational, yang terjadi hanya dengan mitra-mitra atau pada waktu-waktu tertentu tetapi tidak dengan mitra-mitra lain atau pada waktu-waktu lainnya.
Kategori Disfungsi Seksual
Ikhtisasi terhadap kategori-kategori DSM-IV untuk disfungsi seksual seperti terlihat pada table dibawah ini.
No | Tipe Gangguan | Laki – Laki | Perempuan |
1. 2. 3. 4. | Nafsu / Hasrat seksual Rangsangan Orgasme Rasa nyeri/sakit | Gangguan nafsu seksual hipoaktif (nafsu kecil atau sama sekali tidak ada untuk melakukan hubungan seksaul) Gangguan aversi seksual (aversi dan penghindaran terhadap seks). Gangguan ereksi pada laki-laki (kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis). Hambatan orgasme pada laki-laki Ejakulasi dini. Dispareunia (nyeri yang berhubungan dengan aktivitas seksual) | Gangguan nafsu seksual hipoaktif (nafsukecil atau tidak ada nafsu seksual) Gangguan aversi seksual (aversi dan penghindaran terhadap seks). Gangguan rangasangan seksual pada perempuan (kesulitan untuk mencapai atau mempertahankan lubrikasi atau respons pembesaran vagina). Hambatan orgasme pada perempuan. Dispareunia (nyeri yang berhubungan dengan aktivitas seksual) Vaginismus (spasme otot vagina yang mengganggu penetrasi penis). |
Pada kedua jenis kelamin, gangguan-gangguan seksual dengan versi-versinya hampir sama. Hanya ada beberapa gangguan yang spesifik, seperti ejakulasi dini pada laki-laki dan vaginismus hanya terjadi pada perempuan.
A. Ganggun Nafsu/Hasrat Seksual
Dua gangguan merefleksikan maalah-masalah yang terkait dengan nafsu darisiklus respon seksual. Masing-masing gangguan ditandai oleh sedikitnya atau tidak adanya minat terhadap seks yang menimbulkan masalah dalam suatu hubungan.
Dorongan seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu hormon testosteron, kesehatan tubuh, faktor psikis dan pengalaman seksual sebelumnya. Jika di antara faktor tersebut ada yang menghambat atau faktor tersebut terganggu, maka akan terjadi ganggaun dorongan seksual (GDS) (Pangkahila, 2007), berupa:
1. Gangguan Nafsu seksual hipoaktif
The Diagnostic and Statistical Manual-IV memberi definisi dorongan seksual hipoaktif ialah berkurangnya atau hilangnya fantasi seksual dan dorongan secara persisten atau berulang yang menyebabkan gangguan yang nyata atau kesulitan interpersonal. Minat terhadap kegiatan atau fantasi seksual yang sangat kurang yang mestinya tidak diharapkan bila dilihat dari umur dan situasi kehidupan orang yang bersangkutan.
2. Gangguan Aversi seksual
Perasaan tidak suka yang konsisten dan ekstrim terhadap kontak seksual atau kegiatan serupa itu.
Diduga lebih dari 15 persen pria dewasa mengalami dorongan seksual hipoaktif. Pada usia 40-60 tahun, dorongan seksual hipoaktif merupakan keluhan terbanyak. Pada dasarnya GDS disebabkan oleh faktor fisik dan psikis, antara lain adalah kejemuan, perasaan bersalah, stres yang berkepanjangan, dan pengalaman seksual yang tidak menyenangkan (Pangkahila, 2006).
B. Gangguan Rangsangan Seksual
Gangguan ereksi pada laki-laki: ketidakmampuan sebagian laki-laki untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis sampai aktivitas seksual selesai dan keadaan ini terjadi berulang kali.
Gangguan rangsangan seksual pada perempuan: ketidakmampuan sebagian perempuan untuk mencapai atau mempertahankan lubrikasi vagina dan respons keterangsangan seksual yang membuat vagina membesar sampai aktivitas seksual selesai dan keadaaan ini terjadi berulang kali.
Disfungsi ereksi (DE) berarti ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang cukup untuk melakukan hubungan seksual dengan baik (Pangkahila, 2007).
Disfungsi ereksi disebut primer bila sejak semula ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan seksual tidak pernah tercapai. Sedang disfungsi ereksi sekunder berarti sebelumnya pernah berhasil melakukan hubungan seksual, tetapi kemudian gagal karena sesuatu sebab yang mengganggu ereksinya (Pangkahila, 2006).
Pada dasarnya DE dapat disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis. Penyebab fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor hormonal, faktor vaskulogenik, faktor neurogenik, dan faktor iatrogenik (Pangkahila, 2007). Faktor psikis meliputi semua faktor yang menghambat reaksi seksual terhadap rangsangan seksual yang diterima. Walaupun penyebab dasarnya adalah faktor fisik, faktor psikis hampir selalu muncul dan menyertainya (Pangkahila, 2007).
C. Gangguan Orgasme
Disfungsi orgasme adalah terhambatnya atau tidak tercapainya orgasme yang bersifat persisten atau berulang setelah memasuki fase rangsangan (excitement phase) selama melakukan aktivitas seksual.
Hambatan orgasme dapat disebabkan oleh penyebab fisik yaitu penyakit SSP seperti multiple sklerosis, parkinson, dan lumbal sympathectomy. Penyebab psikis yaitu kecemasan, perasaan takut menghamili, dan kejemuan terhadap pasangan. Pria yang mengalami hambatan orgasme tetap dapat ereksi dan ejakulasi, tapi sensasi erotiknya tidak dirasakan.
1. Fitur-fitur gangguan orgasme meliputi:
a. Keterlambatan atau tidak terjadinya orgasme yang persisten atau berulang kali terjadi menyusul fase perangsangan seksual normal.
b. Distres yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena ketidakmampuan ini.
c. Ketidakmampuan ini bukan lebih menjadi bagian menjadi penentu bagi gangguan lain (misalnya: gangguan suasan perasaan, kecemasan, kognitif) dan bukan disebabkan karena efek-efek fisiologis obat atau pengalahgunan obat.
2. Gangguan ejakulasi
1. Ejakulasi dini (premature ejaculation)
Ada beberapa pengertian mengenai ejakulsi dini (ED). ED merupakan ketidakmampuan mengontrol ejakulasi sampai pasangannnya mencapai orgasme, paling sedikit 50 persen dari kesempatan melakukan hubungan seksual. Berdasarkan waktu, ada yang mengatakan penis yang mengalami ED bila ejakulasi terjadi dalam waktu kurang dari 1-10 menit.
Untuk menentukan seorang pria mengalami ED harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: ejakulasi terjadi dalam waktu cepat, tidak dapat dikontrol, tidak dikehendaki oleh yang bersangkutan, serta mengganggu yang bersangkutan dan atau pasangannya (Pangkahila, 2007).
ED merupakan disfungsi seksual terbanyak yang dijumpai di klinik, melampaui DE. Survei epidemiologi di AS menunjukkan sekitar 30 persen pria mengalami ED.
Ada beberapa teori penyebab ED, yang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyebab psikis dan penyebab fisik. Penyebab fisik berkaitan dengan serotonin. Pria dengan 5-HT rendah mempunyai ejaculatory threshold yang rendah sehingga cepat mengalami ejakulasi. Penyebab psikis ialah kebiasaan ingin mencapai orgasme dan ejakulasi secara tergesa-gesa sehingga terjadinya ED (Pangkahila, 2006).
2. Ejakulasi terhambat
Berlawanan dengan ED, maka pria yang mengalami ejakulasi terhambat (ET) justru tidak dapat mengalami ejakulasi di dalam vagina. Tetapi pada umumnya pria dengan ET dapat mengalami ejakulasi dengan cara lain, misalnya masturbasi dan oral seks, tetapi sebagian tetap tidak dapat mencapai ejakulasi dengan cara apapun.
Dalam 10 tahun terakhir ini hanya 4 pasien datang dengan keluhan ET. Sebagian besar ET disebabkan oleh faktor psikis, misalnya fanatisme agama sejak masa kecil yang menganggap kelamin wanita adalah sesuatu yang kotor, takut terjadi kehamilan, dan trauma psikoseksual yang pernah dialami.
D. Gangguan nyeri Seksual
Sexual pain disorder adalah nyeri genital yang berulang kali terjadi, baik yang dialami oleh laki-laki maupun perempuan sebelum, selama, atau setelah hubungan seksual.
Dyspareunia adalah rasa nyeri/sakit atau perasaan tidak nyaman selama melakukan hubungan seksual. Salah satu penyebab dispareunia ini adalah infeksi pada kelamin. Ini berarti terjadi penularan infeksi melalui hubungan seksual yang terasa sakit itu. Pada pria, dispareunia hampir pasti disebabkan oleh penyakit atau gangguan fisik berupa peradangan atau infeksi pada penis, buah pelir, saluran kencing, atau kelenjar prostat dan kelenjar kelamin lainnya.
Vaginismus adalah spasme (kejang urat) pada otot-otot di pertiga luar vagina, yang terjadi diluar kehendak, yang mengganggu hubungan seksual, dan keadaan ini berulang kali terjadi.
· Fitur-fitur dyspareunia meliputi:
1. Nyeri genital yang terkait dengan hubungan seksual baik pada laki-laki maupun perempuan, yang persisten atau berulangkali terjadi.
2. Distress yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena ketidakmampuan ini.
3. Nyeri tidak disebabkan secara eksklusif oleh vaginismus atau kekurangan lubrikasi dan bukan bagian yang lebih menjadi penentu bagi gangguan lain (misalnya: gangguan suasana perasaan, kecemasan, kognitif), dan bukan disebabkan oleh efek-efek fisiologis obat atau penyalahgunaan obat.
· Fitur-fitur vaginismus meliputi:
1. Spasme (kejang urat) pada otot-otot di sepertiga luar vagina, yang terjadi di luar kehendak, yang mengganggu hubungan seksual, dan keadaan ini bersifat persisten atau berulang kali terjadi.
2. Distres yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena spasme ini.
3. Spasme itu tidak disebabkan oleh gangguan lain (misalnya: gangguan somatisasi), dan bukan disebabkan secara eksklusif oleh efek-efek kondisi medis secara umum.
Etiologi Disfungsi Seksual
Pada dasarnya disfungsi seksual dapat terjadi baik pada pria ataupun wanita, etiologi disfungsi seksual dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a) Faktor fisik
Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang terganggu dapat menyebabkan disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006).
Faktor fisik yang sering mengganggu seks pada usia tua sebagian karena penyakit-penyakit kronis yang tidak jelas terasa atau tidak diketahui gejalanya dari luar. Makin tua usia makin banyak orang yang gagal melakukan koitus atau senggama (Tobing, 2006). Kadang-kadang penderita merasakannya sebagai gangguan ringan yang tidak perlu diperiksakan dan sering tidak disadari (Raymond Rosen., et al, 1998).
Dalam Product Monograph Levitra (2003) menyebutkan berbagai faktor resiko untuk menderita disfungsi seksual sebagai berikut:
1) Gangguan vaskuler pembuluh darah, misalnya gangguan arteri koronaria.
2) Penyakit sistemik, antara lain diabetes melitus, hipertensi (HTN), hiperlipidemia (kelebihan lemak darah).
3) Gangguan neurologis seperti pada penyakit stroke, multiple sklerosis.
4) Faktor neurogen yakni kerusakan sumsum belakang dan kerusakan saraf.
5) Gangguan hormonal, menurunnya testosteron dalam darah (hipogonadisme) dan hiperprolaktinemia.
6) Gangguan anatomi penis seperti penyakit peyronie (penis bengkok).
7) Faktor lain seperti prostatektomi, merokok, alkohol, dan obesitas.
Beberapa obat-obatan anti depresan dan psikotropika menurut penelitian juaga dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi seksual, antara lain: barbiturat, benzodiazepin, selective serotonin seuptake inhibitors (SSRI), lithium, tricyclic antidepressant (Tobing, 2006).
b) Faktor psikis
Faktor psikoseksual ialah semua faktor kejiwaan yang terganggu dalam diri penderita. Gangguan ini mencakup gangguan jiwa misalnya depresi, anxietas (kecemasan) yang menyebabkan disfungsi seksual. Pada orang yang masih muda, sebagian besar disfungsi seksual disebabkan faktor psikoseksual. Kondisi fisik terutama organ-organnya masih kuat dan normal sehingga jarang sekali menyebabkan terjadinya disfungsi seksual (Tobing, 2006).
Tetapi apapun etiologinya, penderita akan mengalami problema psikis, yang selanjutnya akan memperburuk fungsi seksualnya. Disfungsi seksual pria yang dapat menimbulkan disfungsi seksual pada wanita juga ( Abdelmassih, 1992, Basson, R, et al., 2000).
Masalah psikis meliputi perasaan bersalah, trauma hubungan seksual, kurangnya pengetahuan tentang seks, dan keluarga tidak harmonis (Susilo, 1994, Pangkahila, 2001, 2006, Richard, 1992).
Penyebab dan Penanganan Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual baik yang terjadi pada pria ataupun wanita dapat dapat mengganggu keharmonisan kehidupan seksual dan kualitas hidup, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang baik dan ilmiah.
Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi seksual pada pria dan wanita adalah sebagai berikut (Susilo, 1994; Pangkahila, 2001; Richardson, 1991):
a. Membuat diagnosa dari disfungsi seksual
b. Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
c. Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual
d. Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari pengobatan bedah dan pengobatan non bedah (konseling seksual dan sex theraphy, obat-obatan, alat bantu seks, serta pelatihan jasmani).
Pada kenyataannya tidak mudah untuk mendiagnosa masalah disfungsi seksual. Diantara yang paling sering terjadi adalah pasien tidak dapat mengutarakan masalahnya semua kepada dokter, serta perbedaan persepsi antara pasien dan dokter terhadap apa yang diceritakan pasien. Banyak pasien dengan disfungsi seksual membutuhkan konseling seksual dan terapi, tetapi hanya sedikit yang peduli (Philips, 2000).
Oleh karena masalah disfungsi seksual melibatkan kedua belah pihak yaitu pria dan wanita, dimana masalah disfungsi seksual pada pria dapat menimbulkan disfungsi seksual ataupun stres pada wanita, begitu juga sebaliknya, maka perlu dilakukan dual sex theraphy. Baik itu dilakukan sendiri oleh seorang dokter ataupun dua orang dokter dengan wawancara keluhan terpisah (Barry, Hodges, 1987).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terapi atau penanganan disfungsi seksual pada kenyataanya tidak mudah dilakukan, sehingga diperlukan diagnosa yang holistik untuk mengetahui secara tepat etiologi dari disfungsi seksual yang terjadi, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat pula.
Durank, Mark dkk.2006.Psikologi Abnormal.Buku kedua.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pangkahila. 2007