PSIKOLOGI TIMUR


Sebagaimana yang kita ketahui, terdapat banyak teori kepribadian di lingkungan peradaban Barat, begitu pula terdapat banyak psikologi Timur. Kendati terdapat perbedaan-perbedaan besar dalam hal kepercayaaan dan pandangan tentang dunia di antara agama-agama yang mengandung psikologi-psikologi Timur, namun dalam hal ini juga terdapat persamaan diatara keduanya, yakni semuanya berusaha menggambarkan kodrat pengalaman langsung sang pribadi. Dalam hal ini, segala sistemnya berkisar pada teknik-teknik meditasi yang memungkinkan orang semata-mata meneliti arus kesadarannya sendiri, dengan memberinya sejenis jendela yang netral atas aliran pengalamannya. Oleh karean itu, pada akhirnya semua psikologi Timur mengakui bahwa jalan utama ke arah transformasi diri ini adalah meditasi.

Dalam Buddhisme yang sampai saat ini merupakan agama terbesar di dunia, dimana prinsip-prinsip psikologis ini telah dikemukakan oleh pendirinya yakni Buddha Gautama (536-438 SM). Dalam 2500 tahun semenjak ia hidup, wawasan-wawasan psikologis dasarnya telah dikembangkan menjadi sistem-sistem teori dan praktik yang berbeda-beda oleh masing-masing cabang penganut Buddha. Diantara berbagai aliran yang ada dewasa ini, yang paling berpengaruh adalah penganut-penganut Theravada di negara-negara Asia Tenggara, Aliran Ch’an di cina (ditindas sejak komunis berkuasa), Zen di Korea dan Jepang, dan sekte-sekte di Tibet. Sementara itu, dua orang paling terkenal yang berhasil mengkodifikasikan prinsip-prinsip psikologis dalam aliran-aliran yoga Hindu adalah Patanjali (Prabhavanda dan Isherwood, 1969) serta Shankara (Prabhavanda dan Isherwood, 1970). Dalam dunia Islam, para Sufi telah bertindak sebagai para psikolog terapan (Shah, 1961). Diantara orang-orang Yahudi, para Kabbalis merupakan kelompok yang paling memperhatikan transformasi psikologis (Halevi, 1976; Scholem, 1961). Suatu survei yang sangat baik tentang agama-agama, sejarah, dan kepercayaan-kepercayaan terdapat dalam The Religions of Man karya Huston Smith (1958).

Salah satu diantara psikologi-psikologi ini yang paling sistematik dan yang tersusun secara paling rinci adalah Buddhisme Klasik. Diberi nama menurut hari Buddha yang dalam bahasa Pali disebut Abhidhamma (atau Abhidharma dalam bahasa Sansekerta), berarti “ajaran pokok”. Psikologi ini menguraikan wawasan asli dari Buddha Gautama tentang kodrat manusia. (Kamus terbaik yang ada tentang istilah-istilah Abhidhamma adalah karya Nyanatiloka; 1972). Karena psikologi itu berasal dari ajaran-ajaran pokok Buddha, maka Abhdhamma atau suatu psikologi yang sangat serupa dengan itu, merupakan inti dari berbagai cabang Buddhisme.

Pengaruh Psikologi Timur Pada Pemikiran Barat

Walaupun psikologi-psikologi Timur banyak menaruh perhatian pada alam kesadaran dan hukum-hukum yang mengatur perubahannya, psikologi ini juga mengandung teori-teori kepribadian yang cukup jelas. Tujuan dari psikologi-psikologi Timur adalah mengubah kesadaran seseorang agar mampu melampaui batas-batas yang diciptakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang membentuk kepribadian orang itu. Dalam hal ini, setiap tipe kepribadian perlu mengatasi hambatan-hambatan yang berbeda untuk membebaskan diri dari batas-batas ini.

Disamping itu, pendekatan psikologi-psikologi Asia didasarkan pada introspeksi dan pemeriksaan diri sendiri yang menuntut banyak energi, berbeda dengan psikologi-psikologi Barat yang lebih bersandar pada observasi tingkah laku. Setiap kutipan oleh Gardner dan Louis Murphy (1968) dari kitab-kitab suci Asia, memberikan semacam wawasan psikologis, baik suatu pandangan tentang bagaimana jiwa bekerja, suatu teori kepribadian, ataupun suatu model motivasi. Kendati mengakui adanya perbedaan-perbedaan diantara psikologi-psikologi Asia tersebut, namun Gardner dan Louis Murphy (1968) menyimpulkan bahwa psikologi-psikologi itu pada hakikatnya merupakan suatu reaksi terhadap kehidupan yang dilihat sebagai penuh dengan penderitaan dan kekecewaan. Cara umum untuk mengatasi penderitaan yang dianjurkan oleh psikologi-psikologi ini adalah disiplin dan kontrol diri, yang dapat memberikan kepada orang yang mengupayakannya “suatu perasaan ekstase yang tak terbatas dan hanya dapat ditemukan dalam diri yang bebas dari pamrih-pamrih pribadi”. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, minat psikologis di Timur dan Barat “berpadu dengan sangat cepat”.

Selain itu, Alan Watts dalam ”Psychotherapy East and West” (1961) mengakui bahwa apa yang disebutnya “cara-cara pembebasan Timur” adalah mirip dengan psikoterapi Barat, yakni bahwa keduanya bertujuan mengubah perasaan-perasaan orang terhadap dirinya sendiri serta hubungannya dengan orang-orang lain dan dunia alam. Sebagian besar terpai-terapi Barat menangani orang-orang yang mengalami gangguan; sedangkan disiplin-disiplin Timur menangani orang-orang yang normal dan memilih penyesuaian sosial yang baik. Meskipun demikian, Watts melihat bahwa tujuan dari cara-cara pembebasan itu cocok dengan tujuan terapeutik sejumlah teoritikus, khususnya individuasi dari Jung, aktualisasi diri dari Maslow, otonomi fungsional dari Allport, dan diri yang kreatif dari Adler.

Setelah itu, Richard Alpert atau yang lebih dikenal dengan Ram Dass pun berpendapat bahwa meditasi dan latihan-latihan rohani lainnya dapat menghasilkan jenis perubahan kepribadian terapeutik yang tidak dapat dihasilkan oleh obat-obat bius. Ia juga menekankan pada pentingnya pertumbuhan rohani, dan kekosongan hidup jika dijalani tanpa kesadaran rohani.

Pembahasan

Abhidhamma telah berkembang di India selama 15 abad yang lalu, yang merupakan wawasan-wawasan dari Buddha Gautama. Budhisme sendiri berkembang menjadi beberapa aliran, diantaranya ialah Mahayana dan Hinayana. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Bhiku Nyanaponika, seorang sarjana Buddhisme modern, ”Dalam ajaran Buddhisme, pikiran merupakan titik tolak, titik pusat dan juga merupakan pemikiran yang dibebaskan dan dimurnikan oleh seorang Santo, suatu titik kulminasi” (1962, hlm. 12).

A. Unsur-Unsur Kepribadian

Dalam Abhidhamma, kata ”kepribadian” sangat serupa dengan konsep atta, atau diri (self) menurut konsep Barat. Bedanya, menurut asumsi dasar Abhidhamma tidak ada diri yang bersifat kekal atau abadi, benar-benar kekal, yang ada hanyalah sekumpulan proses impersonal yang timbul dan menghilang. Yang tampak sebagai kepribadian terbentuk dari perpaduan antara proses-proses impersonal ini. Dalam hal ini, apa yang kelihatan sebagai ”diri” tidak lain adalah bagian jumlah keseluruhan dari bagian-bagian tubuh, yakni pikiran, penginderaan, hawa nafsu, dan sebagainya. Satu-satunya benang yang bersinambungan atau bersambung-menyambung dalam jiwa adalah bhava, yakni kesinambungan kesadaran dari waktu ke waktu.

Setiap momen yang berturut-turut dalam kesadaran manusia, dibentuk oleh momen sebelumnya, dan pada gilirannya akan menentukan momen-momen yang berikutnya, sehingga semua proses kejiwaan manusia itu berkesinambungan. Menurut Abhidhamma, kepribadian manusia sama seperti sungai yang memiliki bentuk yang tetap, seolah-olah satu identitas, walaupun tidak setetes air pun tidak berubah seperti pada momen sebelumnya. Dala pandangan ini, ”tidak ada aktor yang mampu terlepas dari aksi, tidak ada orang yang mengamati mampu terlepas dari persepsi dan tidak ada subjek sadar di balik kesadaran” (Van Aung, 1972, hlm. 7). Dalam kata-kata Buddha (Samyutta-Nikaya, 1972, 135):

Sama seperti bila bagian-bagian dirangkaikan

Maka timbullah kata kereta perang”,

Demikian juga pengertian tentang adaBila agregat-agregatnya hadir

Yang menjadi fokus studi psikologi Abbidhamma adalah serangkaian peristiwa, yakni hubungan yang terus menerus antara keadaan-keadaan jiwa dan objek-objek indera, misalnya perasaan birahi (keadaan jiwa) pada seorang wanita cantik (objek indera). Keadaan-keadaan jiwa itu selalu berubah dari momen ke momen, dan perubahan itu ternyata sangat cepat. Selain itu, yang menjadi objek psikologi Abhidhamma adalah:

1. Penginderaan dari panca indera

2. Pikiran-pikiran yang dianggap sebagai indera keenam

3. Setiap keadaan jiwa terdiri atas sekumpulan sifat-sifat jiwa, yang disebut faktor-faktor jiwa. Sifat-sifat jiwa ini misalnya cinta, benci, adil, bengis, sosial, dan sebagainya.

Dalam hal ini, faktor-faktor jiwa itu berperan sebagai:

Kunci menuju karma (menurut istilah Barat), kamma (menurut istilah Pali). Sedangkan dalam Abhidhamma, kamma merupakana suatu istilah teknis untuk prinsip bahwa setiap perbuatan dimotivasikan oleh keadaan-keadaan jiwa yang melatarbelakanginya.

Menurut psikologi Timur, suatu tingkah laku pada hakikatnya secara moral adalah netral.

a. Sifat moral tingklah laku ditinjau dari motif-motif yang melatarbelakangi seseorang untuk melakukan perbuatan itu.

b. Perbuatan seseorang memiliki campuran faktor-faktor jiwa negatif.

c. Dhammapada adalah kumpulan sajak yang dahulu diucapkan oleh Budha Gautama, mulai dengan pernyataan ajaran Abhidhamma tentang karma atau kamma:

Segala sesuatu yang terdapat pada kita merupakan akibat dari apa yang telah kita pikirkan: berdasarkan pikiran kita, dibentuk oleh pikiran kita. Apabila seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran jahat, maka perasaan sakit akan mengikutinya, sama seperti roda yang mengikuti kaki lembu yang menghela gerobak......Apabila seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran yang murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, sama seperti bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkannya (Babbitt, 1965, hlm. 3).

B. Macam-Macam Faktor Jiwa

Mengenai faktor-faktor jiwa dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni:

1. Kusula : berarti murni, baik, sehat.

2. Akusula : berarti tidak murni, tidak baik, tidak sehat

Kebanyakan faktor jiwa perseptual, kognitif, dan afektif cocok untuk dimasukkan ke dalam kategori sehat atau tidak sehat. Penilaian tentang ”sehat” atau ”tidak sehat” dicapai secara empiris, berdasarkan pengalaman kolektif sejumlah besar petapa Bbuddhis pertama. Kriterium mengenai faktor jiwa sehat-tidak sehat adalah bahwa apakah suatu faktor jiwa khusus tertentu mempermudah atau mengganggu usaha mereka untuk mengheningkan jiwa dalam samadi (pertapaan). Dalam hal ini, faktor jiwa yang menganggu samadi disebut faktor jiwa tidak sehat. Sedangkan yang mempermudah jalannya untuk mengheningkan jiwa disebut faktor jiwa sehat.

Selain faktor-faktor jiwa sehat dan tidak sehat, terdapat juga tujuh sifat netral yang ada dalam setiap keadaan jiwa, yakni:

· Phasa : appersepsi, adalah kesadaran semata-mata ke suatu objek

· Sanna : persepsi, adalah pengenalan pertama bahwa kesadaran semata-mata pada suatu objek yang tersebut termasuk dalam salah satu indera. Misalnya: penglihatan, pendengaran, dan sebagainya.

· Cetana : kemauan, yakni reaksi terkondisi yang menyertai suatu objek

· Vedana : perasaan, aneka penginderaan yang dibangkitkan oleh objek itu

· Ekaggata : keterarahan kepada suatu titik, yakni pemusatan kesadaran

· Manasikara : perhatian spontan, yakni pengarahan perhatian yang tidak disengaja karena daya tarik dari suatu objek

· Jivitindriya : energi psikis, yang memberi vitalitas dan mempersatukan keenam faktor jiwa lainnya. (Hall, p. 241).

Faktor-faktor tersebut diatas merupakan sejenis kerangka dasar kesadaran tempat tertanamnya faktor-faktor jiwa sehat dan tidak sehat. Namun kombinasi khusus faktor-faktor tersebut berbeda-beda dari momen ke momen.

1. Faktor-faktor Jiwa Tidak Sehat

a. Beberapa contoh faktor tidak sehat pada jiwa dari kelompok kognitif:

· Moha : delusi, bersifat perseptual dan sentral, yakni kegelapan jiwa, penyebab persepsi yang salah tentang objek kesadaran.

· Aditthi : pandangan salah, pemahaman tidak tepat karena pengaruh delusi. Karena pandangan atau pemahaman yang salah inilah, maka semua yang tertuju menjadi tidak menyenangkan. Misalnya, pandangan ”diri” sebgai yang tetap (model Barat), secara Timur hal-hal tersebut adalh aditthi.

· Vicikiccha : kebingungan, mencerminkan ketidakmampuan untuk menentukan atau membuat suatu keputusan yang tepat.

· Ahirika : sikap tidak tahu malu

· Anottapa : tanpa belas kasihan, bengis, kejam, sadis

· Mana : egoisme, egoistis, mementingkan diri sendiri

b. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok afektif, adalah:

· Uddhacca : keresahan, rasa tidak tentram

· Kukkucca : kekhawatiran, yakni keadaan bingung, linglung, penyesalan. Yang berhubungan dengan ketergantungan:

· Lobha : tamak, rakus, serakah

· Macchariya: kekikiran, pelit

· Issa : iri hati, yang menyebabkan keterikatan pada objek

· Dosa : kemuakan, merupakan sisi negatifnya dan selalu berhubungan dengan delusi

· Thina : kontraksi, pengerutan, kejang-kejang, gemetar

· Middha : Kebekuan, sikap dingin

Faktor-faktor diatas tersebut menyebabkan keadaan jiwa menjadi kaku dan tidak fleksibel. Apabila faktor-faktor negatif ini menonjol, maka jiwa dan tubuh seseorang cenderung menjadi lamban.

2. Faktor-faktor Jiwa Sehat

Setiap faktor yang tidak sehat ditentang oleh suatu faktor yang sehat. Dalam hal ini, cara untuk mencapai keadaan jiwa yang sehat adalah menggantikan faktor-faktor yang tidak sehat dengan kutub sebaliknya. Prinsip ini mirip dengan ”reciprocal inhibition” (hambatan timbal balik)yang digunkan dalam ”systematic desentization”, dimana pengendoran (relaxation) menghambat lawan fisiologisnya, yakni tegangan (Wolpe, 1958). Untuk setiap faktor sehat tertentu ada dalam suatu keadaan jiwa, maka faktor tidak sehat yang ditekannya tidak akan dapat muncul.

· Berikut adalah faktor-faktor jiwa sehat yang terpenting, antara lain:Panna : pemahaman, insight, lawan dari delusi; persepsi yang jelas tentang objek sebagaimana adanya. Dimana Panna dan elusi tidak dapat hadir secara bersamaan.

· Sati : sikap penuh perhatian, mind fulness, pemahamannya yang jelas dan kontinyu pada objek. Dimana Panna dan Sati ini menyebabkan orang menjadi selalu tenang dan dapat menekan semua faktor tidak sehat.

· Hiri : rendah hati, menghambat tidak tahu malu.

· Ottappa : sikap penuh hati-hati, sikap tanpa penyesalan

· Cittujjukata: kejujuran, menilai secara tepat

· Saddha : kepercayaan, yakni kepastian berdasarkan pada persepsi yang tepat. Kombinasi dari hiri, ottappa, cittujjukata dan sadha, bekerja sama untuk menghasilkan perbuatan kebajikan yang diukur dari norma pribadi maupun norma sosial.

· Alobha : ketidakterikatan, kebebasan, kemerdekaan

· Adosa : ketidakmuakan, kesiapsiagaan untuk menghadapi apapun

· Tatramajjhata: sikap tidak memihak, tidak pilih kasih

· Passadhi : sikap tenang

· Ahuta : kegembiraan

· Muduta : luwes, fleksibel

· Kammantaka: mampu adaptasi dan menyesuaikan diri

· Paqunnata : kecakapan

C. Dinamika Kepribadian

Dinamika kepribadian adalah gerak kepribadian yang terjelma dalam tingkah laku, baik yang nampak maupun tidak nampak dan terjadi karena interaksi antara faktor-faktor jiwa sehat dan tidak sehat. Jika terjadi dominasi dari faktor-faktor sehat atau tidak sehat tertentu, akan menghasilkan tipe-tipe kepribadian atau tingkah laku tertentu pada individu yang bersangkutan.

Beberapa contoh interaksi berbagai faktor jiwa dan bagaimana prilaku yang terjadi, atau menyebabkan sifat-sifat tingkah laku tertentu adalah sebagai berikut:

· Kelompok faktor tidak sehat yang terdiri dari ketamakan, kekikiran, irihati, dan kemuakan dilawan oleh faktor-faktor ketidakterikatan (alobha), adosa (ketidakmuakan), tatramajjhata (tidak memihak), dan passadhi (sikap tenang), maka akan mencerminkan ketenangan fisik dan jiwa yang terjadi karena berkurangnya perasaan keterikatan.

· Sikap-sikap alobha, adosa, tatramjjhata, dan passadhi menggantikan sikap rakus atau sebaliknya, sikap menolak, dengan sikap penuh perhatian terhadap apa saja yang mungkin timbul dalam kesadaran seseorang, yang menyebabkan timbulnya sikap menerima apa adanya.

· Faktor-faktor sikap egois, irihati, kemuakan, menyebabkan orang haus atau mendambakan pekerjaan yang terpandang, tinggi dan mewah, atau irihati terhadap orang lain yang mempunyai pekerjaan.

· Sebaliknya, sikap-sikap tenang, bebas, ketidakmuakan, netral, menyebabkan orang mempertimbangkan keuntungan-keuntungan berupa upah dan prestasi dengan keinginan-keinginan seperti tekanan dan ketegangan yang lebih besar serta menilai secara adil. Sedangkan sikap netral memandang seluruh situasi dengan tenang.

· Jika faktor-faktor kegembiraan (ahuta), luwes/fleksibel (muduta), dan kecakapan (paqunata) muncul pada prilaku, maka seseorang akan berpikir dan bertindak dengan leluasa dan mudah, mewujudkan ketrampilan-ketrampilannya secara maksimal.

· Faktor tersebut menekan faktor-faktor kontraksi dan kebekuan yang tidak sehat itu, yang menguasai jiwa dalam keadan-keadaan tertentu seperti depresi. Dalam kehidupan sehari-hari, faktor sehat tersebut menyebabkan orang dapat menyesuaikan diri secara fisik dan psikis terhadap keadaan-keadaan yang senantiasa berubah serta dapat menghadapi tantangan-tantangan manapun yang mungkin timbul.

D. Psikodinamika Kepribadian

Psikodinamika kepribadian dapat terjadi karena interaksi antar faktor-faktor jiwa dengan mekanisme sebagai berikut:

· Faktor-faktor jiwa yang sehat dan tidak sehat saling menghambat

· Tetapi tidak selalu terdapat hubungan satu lawan satu antara sepasang faktor-faktor sehat dan tidak sehat.

· Kehadiran yang satu menekan faktor tandingannya.

· Dalam beberapa hal satu faktor sehat akan menghambat sekumpulan faktor tidak sehat, misalnya, ketidakterikatan mampu secara sendirian menghambat ketamakan, kekikiran, irihati dan kemuakan.

· Faktor-faktor kunci tertentu juga mampu menghambat sekumpulan faktor tandingan secara keseluruhan, misalnya jika terjadi delusi, maka tidak satupun faktor baik dapat timbul dan hadir secara bersamaan.

· Karma seseoranglah sebagai penentu, apakah ia akan mengalami keadaan jiwa sehat atau keadaan jiwa tidak sehat.

· Suatu kombinasi faktor merupakan hasil dari pengaruh-pengaruh biologis dan pengaruh-pengaruh situasi disamping juga merupakan pindahan pengaruh dari keadaan jiwa sebelumnya. Faktor-faktor tersebut biasanya timbul sebagai suatu kelompok, baik positif maupun negatif.

· Dalam setiap keadaan jiwa tertentu, faktor yang membentuk keadaan jiwa tersebut muncul dengan kekuatan-kekuatan yang berbeda.

· Faktor apa saja yang paling kuat, akan menentukan bagaimana seseorang mengalami dan bertindak dalam suatu momen tertentu

· Meskipun mungkin semua faktor buruk hadir, namun keadaan yang dialami akan sangat berbeda, tergantung pada apakah misalnya ketamakan atau kebekuan yang mendominasi jiwa.

· Hierarki kebutuhan dari faktor-faktor tersebut menentukan apakah keadaan spesifik itu akan menjadi positif atau negatif.

· Jika faktor tertentu atau sekumpulan faktor seringkali muncul dalam keadaan jiwa seseorang, maka faktor tersebut akan menjadi sifat kepribadian.

· Jumlah keseluruhan faktor-faktor jiwa yang sudah menjadi kebiasaan pada seseorang, menentukan sifat-sifat kepribadiannya.

Daftar sifat-sifat kepribadian menurut faktor-faktor jiwa sehat dan tidak sehat, sebagai berikut:

Faktor jiwa yang sehat

Faktor jiwa yang tidak sehat

a. Perseptual (kognitif)

1. Pemahaman (insight)

2. Sikap penuh perhatian

3. Sikap rendah hati

4. Sikap penuh hati-hati

5. Kepercayaan

b. Afektif

1. Ketenangan

2. Ketidakterikatan

3. Ketidakmuakan

4. Kenetralan

5. Kegembiraan

6. Fleksibilitas

7. Kemampuan adaptasi

8. Kecakapan

9. Kejujuran

Delusi

Pandangan yang salah

Sikap tidak tahu malu

Kecerobohan

Egoisme

Keresahan

Ketamakan

Kemuakan

Irihati

Kekikiran

Kekhawatiran

Pengerutan (kontraksi)

Kebekuan

Kebingungan

E. Tipe-Tipe Kepribadian

Mengenai bagaimana timbulnya beberapa tipe kepribadian menurut ajaran abhidhamma, adalah sebagai berikut:

· Bahwa tipe-tipe kepribadian menurut Abhidhamma, secara langsung diturunkan dari prinsip bahwa faktor-faktor jiwa muncul dalam kekuatan yang berbeda-beda. Jika jiwa seseorang tetap dikuasai oleh suatu faktor, maka hal ini akan mempengaruhi kepribadian, motif-motif dan tingkah lakunya.

· Keunikan pola faktor-faktor jiwa setiap orang menimbulkan perbedaan individual dalam kepribadian melampaui kategori-katergori kasartipe-tipe pokok kepribadian.

· Motif pada manusia berasal dari analisis mengenai faktor-faktor jiwa dan pengaruh faktor-faktor tersebut pada tingkah laku. Motif itu menentukan keadaan jiwa seseorang untuk mencari sesuatu atau menjauhinya. Hal ini disebabkan karena keadaan-keadaan jiwa tersebut membimbing kepada perbuatannya. Misalnya, jiwa manusia dikuasai oleh ketamakan, hal ini akan menjadi menonjol, dan orang akan bertingkah laku sesuai motif tadi, yakni berusaha memperoleh objek ketamakannya. Jika egoisme merupakan suatu faktor jiwa yang kuat, maka orang tersebut akan berbuat dengan cara yang selalu untuk meningkatkan dirinya. Dengan kata lain, setiap tipe kepribadian menjadi tipe motifnya juga.

· Buku Visuddhimagga (Buddhaghosa, 1976), merupakan pedoman untuk meditasi sesuai dengan ajaran Abhidhamma pada abad ke V SM. Dalam pedoman ini terdapat bahagian untuk mengenal tipe-tipe utama kepribadian, karena setiap orang harus diperlakukan sesuai dengan sifat-sifatnya. Salah satu metode yang disarankan guna menilai tipe kepribadian adalah dengan mengamati secara seksama cara bergerak dan berdiri. Misalnya:

a. Orang yang kuat nafsunya atau senang kenikmatan, jalannya anggun

b. Orang yang penuh kebencian, suka menyeret kakinya jika berjalan

c. Pada orang yang dikuasai delusi, jika berjalan cepat langkahnya.

Contoh lain yang diberikan oleh Vajiranana (1962), sebagai berikut:

”Orang yang kuat nafsunya, jejak kakinya terbelah di tengah. Orang yang tidak ramah, jejak kakinya membentuk garis ke belakang. Sementara jejak kaki orang yang dikuasai delusi, kelihatan terburu-buru ditapakkan. Sedangkan Buddha Gautama meninggalkan jejak kaki yang sempurna karena jiwanya tenang dan badannya pun seimbang”.

Tipe-tipe manusia yang tercantum dalam buku Visudhimagga adalah sebagai berikut:

1. Tipe orang suka kenikmatan: Berpenampilan menarik; sopan dan menjawab dengan hormat jika disapa. Jika tidur selalu mengatur tempat tidurnya secara cermat, membaringkan tubuhnya dengan hati-hati; dan tak banyak bergerak waktu tidur.

· senang melakukan tugas-tugas dengan seni, rapi, sangat berhati-hati. Selain itu berpakaian rapi dan bagus. Jika makan menyukai makanan yang empuk dan disajikan dengan cara mewah, kemudian makan dengan perlahan, sedikit-sedikit dan sangat menikmati cita rasa.

· jika melihat objek yang menyenangkan, akan berhati-hati untuk mengaguminya, terpesona oleh tindakan, dan tidak memperhatikan kekurangannya. Selalu ada rasa sesal jika meninggalkan objek yang indah.

· Sisi negatifnya: tipe ini suka berlagak, suka menipu, tamak, tidak mudah puas, penuh nafsu dan sembrono.

2. Tipe orang pembenci:

· Berdiri dengan kaku, tempat tidur dibereskan dengan serampangan dan tergesa-gesa, tidur dengan badan tegang, dan marah jika dibangunkan.

· jika bekerja orang dengan tipe ini kasar dan sembrono; jika menyapu berbunyi keras dan gaduh. Jika berpakaian ketat dan tidak rapi. Senang pada makanan pedas dan asam, makan dengan tergesa-gesa tanpa memperhatikan cita rasa, meski tidak suka makanan yang hambar

· Tidak tertarik pada objek-objek yang indah; memperhatikan kekurangan sekecil apapun; sementara itu mengabaikan kebaikan-kebaikannya; sering marah-marah, penuh kebencian, tidak mau menunjukkan rasa terima kasih, mudah iri hati dan kikir.

3. Tipe Orang delusi:

Pakaiannya compang-camping, benangnya berseliweran, kasar seperti rami, berat dan tidak enak dipakai.

· Tempat tidur tidak rapi, suka tidur terlentang, bangun dengan lamban, dan menggerutu penuh keluh kesah.

· Sebagai pekerja orang tipe ini tidak terampil dan jorok; jika menyapu dengan kaku dan serampangan, serta tidak bersih.

· Tidak peduli dengan makanan, dan akan makan apa sajayang ada; orang dengan tipe ini adalah pemakan yang ceroboh, memasukkan suapan yang besar-besar ke mulut dan mengotori muka dengan makanan.

· Mangkuknya dari tanah liat yang buruk atau mangkuk logam yang berat, bentuknya tidak serasi, memuakkan, tidak rata dan tidak ada di desa sekitarnya.

· Desa yang cocok adalah desa yang tidak teratur, orangnya lalu lalang seolah-olah tidak melihatnya

· Orang yang menyalaminya adalah orang-orang yang kasar, kotor, tak sedap dipandang mata, makanan kotor, berbau dan menjijikan

· Orang tipe ini tidak mempunyai ide baik atau jelek pada suatu objek, tetapi percaya saja apa yang dikatakan oleh orang lain, lalu turut memuja atau mencelanya

· Sering berkelakuan malas, kaku, kacau, mudah menyerah dan bingungan, serta dapat juga keras kepal dan bandel.

· Dalam buku Visuddhimagga, selanjutnya menetapkan kondisi-kondisi optimal yang harus disiapkan untuk orang-orang dengan masing-masing tipe tersebut diatas adalah, apabila mereka mulai bermeditasi. Tujuannya adalah untuk mengalahkan gejala-gejala psikologis yang dominan dan dengan demikian menjadikan jiwa mereka seimbang, sehingga dapat disebut manusia yang harmonis. Sebaliknya, kondisi-kondisi untuk tipe orang penuh kebencian, semuanya dibuat serba enak dan semudah mungkin. Sedangkan untuk tipe delusi, segala sesuatunya harus dibuat sederhana dan jelas, menyenangkan serta enak, seperti kondisi untuk tipe penuh kebencian.

Dengan demikian, untuk setiap kasus diatas, lingkungan disesuaikan dengan tipe-tipe manusia dengan maksud menghambat faktor-faktor jiwa yang biasanya menguasai masing-masing tipe kepribadian: orang yang rakus susah menemukan objek ketamakannya, orang yang penuh kebencian sulit menemukan objek untuk direndahkan, sedangkan untuk orang yang dikuasai delusi, segala sesuatunya dibuat jelas. Program lingkungan yang dirancang untuk meningkatkan kesehatan jiwa ini merupakan pendahulu, disebut ”terapi lingkungan” (milieu therapy). Dalam hal ini, Buddha juga melihat bahwa tipe orang-orang yang berbeda akan menyukai tipe meditasi yang berbeda-beda, maka ia merancang berbagai metode meditasi yang disesuaikan dengan tipe-tipe kepribadian yang berlainan.

F. Kepribadian Sehat dan gangguan jiwa

Definisi Operasional kepribadian, dapat dirumuskan sebagai beirkut:

a. Pribadi sehat: Tidak ada faktor-faktor tidak sehat atau selalu ada faktor sehat

b. Jiwa terganggu: Ada faktor jiwa tidak sehat, dimana gangguan jiwa timbul karena faktor tidak sehat menguasai kejiwaan seseorang

c. Kriterium untuk kesehatan jiwa: Adanya faktor-faktor yang sehat dan ketiadaan faktor-faktor yang tidak sehat dalam sistem pengelolaan sumber daya psikologis seseorang

Berikut ini contoh faktor-faktor sehat, antara lain:

· Karuna: Kebaikan hati yang penuh kasih

· Mudita: merasakan nikmat dalam kebahagiaan orang lain

· Dalam kitab suci Buddha, pernah disebutkan bahwa: ”semua orang yang tertarik hal-hal duniawi adalah gila”.

· Annusaya: kecenderungan-kecenderungan laten dari jiwa tidak sehat

· Meditasi : sarana menuju kepribadian sehat

Selanjutnya, tujuan perkembangan psikologis dalam Abhidhamma adalah meningkatkan jumlah keadaan-keadaan yang sehat dan dengan demikian mengurangi keadaan-keadaan yang tidak sehat dalam jiwa seseorang. Disamping itu, pada puncak kesehatan jiwa sama sekali tidak ada faktor-faktor yang yang tidak sehat muncul dalam jiwa seseorang. Meskipun setiap orang terdorong untuk mencari hal yang ideal ini, namun sudah pasti hal tersebut jarang tercapai.

G. Tentang Mimpi

Abhidhamma mengatakan bahwa mimpi adalah sifat istimewa lain dari arahat/santo (masyarakat Barat). Ada empat macam tipe mimpi pada manusia, yakni:

1. Mimpi yang disebabkan oleh sejenis gangguan pada oragan atau otot, dan biasanya menyangkut suatu perasaan fisik yang menakutkan, misalnya jatuh, terbang, atau dikejar-kejar harimau. Bermacam-macam mimpi buruk termasuk tipe mimpi ini.

2. Mimpi yang ada hubugannya dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang pada siang harinya, dan menggemakan pengalaman-pengalaman yang sudah berlalu tersebut. Mimpi semacam ini kerap terjadi.

3. Mimpi tentang suatu peristiwa aktual sebagaimana peristiwa itu terjadi, mirip dengan prinsip sinkronitas pada pendapat C.G. Jung.

4. Mimpi yang bersifat waskita (clairvoyant), suatu ram,alan yang tepat tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi. Seorang arahat/santo bermimpi, maka mimpinya itu selalu bersifat waskita (Van Aung, 1972).

Sang Buddha sendiri mahir dalam menginterpretasikan lambang-lambang dalam mimpinya, meskipun tidak ada sistem yang formal untuk analisis simbolik dalam Abhidhamma. Dalam hal ini, Buddha Gautama juga pernah mengalami mimpi sebelum menerima pencerahan atau sinar Buddha. Mimpi tersebut meramalkan pencerahan Buddha Gautama dalam mendapatkan Boddhi.

Tingkat kepribadian arahat pada Abhidhamma ini, tidak ada dalam teori kepribadian psikologi Barat. Tingkat arahat ini merupakan hal yang cukup umum pada psikologi timur, terutama dalam ajaran olah kejiwaan di Indonesia. Oleh karena itu, arahat dapat dikatakan semacam Santo di masyarakt Barat, yakni predikat bagi rohaniawan kristiani. Pada arahat yang sangat istimewa, merupakan protitipe kepribadian orang yang tidak ada pada kepribadian prototipe di Barat.

Perubahan kepribadian yang radikal pada taraf arahat semacam itu melampaui tujuan-tujuan dan harapan-harapan psikoterapi Barat. Dalam hal ini, konsep arahat merupakan sesuatu yang ideal bagi kebanyakan orang, namun terasa terlampau baik untuk diwujudkan. Selain itu, arahat sebagai model pribadi sehat adalah memiliki banyak sifat yang mereka asumsikan intrinsik dalam kodrat manusia. Mungkin ide pribadi arahat semakna dengan konsep Maslow atau Rogers sebagai pribadi yang dapat teraktualisasi penuh.

Kesimpulan

Psikologi Abhidhamma pada hakikatnya bersifat fenomenologis, yakni suatu teori deskriptif tentang keadaan-keadaan internal. Hanya orang-orang yang telah menghayati latihan yang dipersyaratkan dan pengalaman sesudahnya akan benar-benar dapat menguji teori tersebut. Abhidhamma, ketika membahas keadaan-keadaan di luar kesadaran dalam meditasi, juga merupakan ”ilmu tentang keadaan-khusus” menurut definisi yang dikemukakan Tart (1972): pokok pengetahuan yang diperoleh lewat analisis, eksperimen, dan komunikasi dengan suatu keadaan khusus dalam hal ini, keadaan bermeditasi. Bahaya utama dari teori-teori fenomenologis dan ilmu-ilmu pengetahuan tentang keadaan khusus adalah penipuan diri sendiri. Seseorang mungkin merasa yakin bahwa pengalamannya begini atau begitu, sedangkan sesungguhnya lain; sepanjang tidak ada bukti lain untuk mengoreksi orang tersebut, maka kesalahannya akan terus dipertahankan.

Karena alasan ini, suatu teori seperti Abhidhamma ini membutuhkan pengujian-pengujian terhadap hipotesis-hipotesisnya sejauh prediksi-prediksinya memang dapat diverifikasikan dari segi pandangan pengamat dari luar (Barat). Hal ini relatif sulit dilakukan terhadap perubahan-perubahan dari faktor-faktor jiwa seseorang yang bersifat terus menerus dari saat ke saat dan tidak kentara. Akan tetapi ada kemungkinan menguji gambaran-gambaran Abhidhamma tentang perubahan-perubahan yang terjadi akibat keterpusatan perhatian pada satu titik di satu pihak, atau akibat sikap penuh perhatian yang bersifat sistematik di pihak lain. Dalam hal ini, gambaran-gambaran Abhidhamma tentang jhana adalah keadaan-keadaan di luar kesadaran yang hanya terjadi selama praktik meditasi itu sendiri. Sementara sifat-sifat arahat mencerminkan pengaruh-pengaruh sifat, yakni perubahan-perubahan kepribadian yang mengiringi peralihan ke keadaan di luar kesadaran yang berlangsung lama, yang terus bertahan terlepas dari meditasi itu sendiri.




Related post: