PERILAKU ATTACHMENT (KELEKATAN) PADA ANAK DAN KEMAMPUANNYA BERELASI PADA MASA DEWASA


Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertamakalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969 (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua.

Bowlby (dalam Haditono dkk,1994) menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai kelekatan. Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan. Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figure lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam Adiyanti, 1985).

Pola relasi antara orang tua-anak pada masa bayi dan kanak-kanak sangat menentukan pola kepribadian dan relasi antar-pribadi pada masa dewasa. Seperti pendapat Arnold Gesel[1], sejak usia satu tahun, anak memiliki pengenalan akan identitas dirinya yang mendalam juga akan menjadi benih pertumbuhan kepribadiannya di masa dewasa. Salah satu unsur pola relasi yang penting antara orang tua-anak pada masa bayi dan kanak-kanak disebut pola pertautan (attachment).


ATTACHMENT BEHAVIOR

Attachment adalah kelekatan. Keterikatan (kasih sayang, simpati) yang kuat terhadap seseorang merupakan hasil dari interaksi atau hubungan interpersonal. Attachment anak terhadap orang tua, terutama ibunya yang mengasuh sudah mulai tumbuh pada saat ia lahir. Interaksi atau hubungan interpersonal ini berpengaruh pada pertumbuhan intelektual dan bahasa, seperti yang dituliskan Helen Bee[2], “…Interpersonal interactions are important for growth of the child’s intellectual skill and language, …”(p.238). Kemampuan intelektual dan bahasa ini merupakan dua unsur dasar kemampuan berelasi sampai dewasa.

Konsep dasar attachment

Bowlby [3], seorang tokoh yang mencetuskan teori ini, di tahun 1950-an menyebutkan 3 konsep dasar attachment, yaitu sebagai berikut,

· Attachment berfungsi sebagai suatu bentuk pertahanan terhadap yang jahat. Prinsip dibalik munculnya attachment adalah kebutuhan akan perasaan aman.

· Perasaan aman yang dihasilkan dari attachment yang positif (secure attachment) memiliki hubungan erat dengan kemampuan untuk mengembangkan kreatifitas dan eksplorasi (menguasai lingkungan). Hasil penelitian dari Heard and Lake, pada tahun 1986, yang dicatat oleh Jerome Holmes[4] menunjukkan bahwa hanya anak-anak yang mendapat pemenuhan kebutuhan attachment, yang memiliki kemampuan untuk mengubah figur attachment-nya ke lingkungan sekitarnya. Sehingga pada masa remaja, anak akan memiliki kemampuan untuk bergaul, mempercayakan diri kepada orang lain, dan memiliki hubungan sosial yang sehat.[5]

· Attachment bukanlah kebutuhan anak yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan anak lebih cepat, tetapi merupakan kebutuhan yang terpendam sepanjang hidup manusia.


TAHAPAN PERKEMBANGAN ATTACHMENT.

Dari banyak penelitian mengenai topik ini, para ahli memiliki kesepakatan bahwa perkembangan attachment terjadi pada tahun pertama hingga anak berusia 18 bulan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh H. Schaffer dan P. Emerson terhadap 60 bayi Skotlandia usia antara usia 1 atau 2 bulan sampai sekitar 18 bulan beserta ibunya[6] didapatkan ada tiga tahapan dasar perkembangan attachment. Yaitu,

A. Indiscriminate attachment

Pada tahap ini bayi dapat memprotes/menyatakan ketidak senangannya ketika ia diturunkan atau dipisahkan dari gendongan atau pelukan. Tapi bayi tidak mempermasalahkan siapa yang menurunkannya, baik yang menurunkan ibunya atau orang lain. Dari pengamatan Schaffer dan Emerson, periode ini akan berlangsung sampai anak berusia sekitar 7 bulan. Pengamat lain mengatakan bahwa periode ini selesai pada anak sampai pada usia sekitar 5 bulan.

B. Specific attachment

Tahap kedua ini dimulai pada saat bayi berusia sekitar 7 bulan atau lebih awal yang akan berlangsung selama 3 sampai 4 bulan atau lebih. Pada masa ini, bayi akan “lekat” (attach) hanya pada satu orang, pada umumnya dengan ibunya. Bayi akan menunjukkan kesedihannya ketika diturunkan atau dipisahkan dari gendongan atau pelukan ibunya dan akan merasa senang jika tetap dalam pelukan ibunya. Hal ini diekspresikan dengan senyuman dan vocalization sebagai tanda atau ungkapan senang atau ketidak senangan mereka[7].

Biasanya pada tahap ini, anak takut dengan orang asing yang nampak pada sekitar satu bulan setelah memasuki tahap spesifik ini.

Setiap bayi memiliki perbedaan ciri ketika memasuki tahapan ini. Pada anak bungsu, menurut pengamatan Schaffer dan Emerson, memiliki strong spesific attachment dimulai pada saat bayi berusia sekitar 22 minggu, tapi ada bayi yang dimulai pada saat usia 1 tahun.

C. Multiple attachment

Setelah beberapa bulan dalam tahap specific attachment, anak mulai menunjukkan attachment-nya pada orang lain. Pertama-tama hanya pada satu orang, kemudian pada beberapa orang sampai anak berusia 18 bulan. Namun, pada anak-anak tertentu, membutuhkan waktu lebih lama.


TIGA POLA INSECURE ATTACHMENT

Mary Ainsworth[8] mengamati lebih jauh tentang berbagai sikap seorang ibu terhadap anaknya berkaitan dengan terbentuknya attachment. Menurutnya, anak yang protes atau menyatakan ketidak senangan terhadap keterpisahan (diturunkan dari gendongan atau pelukan) dan mendapatkan kembali ketentraman dengan hadirnya orang yang meninggalkannya akan membuat anak merasa aman. Namun sekitar dua per-tiga anak tidak menunjukkan pola semacam ini. Pola ini disebut insecure attachment, yang mengakibatkan mereka mengalami hambatan dalam eksplorasi di kemudian hari. Tiga pola insecure attachment yang diamati Ainsworth, adalah sebagai berikut:

A. insecure-avoidant

Anak protes pada keterpisahan sesaat/diturunkan dari gendongan dan ketika ada orang yang memberi perhatian datang atau memeluknya, anak tersebut akan mendekat dengan sikap yang gelisah, gugup, dan takut.

B. insecure-ambivalent

Pada saat anak protes, anak tidak dapat ditentramkan kecuali orang yang memberi perhatian kembali dan anak akan membenamkan diri dalam pangkuan atau melekat erat (seakan tidak ingin lepas lagi).

C. insecure-disorganized,

Sikap anak seperti pola yang pertama dan yang kedua, yang sulit ditentukan untuk masuk kedalam kedua pola tersebut.


SIKAP IBU DAN POLA ATTACHMENT PADA ANAK

Satu kontribusi besar berikutnya dari Ainsworth dan murid-muridnya, ketika mereka mengadakan penelitian untuk menemukan hubungan antara orang tua dan bayinya pada tahun pertama kehidupan bayi. Hal yang utama dari penemuan mereka adalah tanggapan orang tua terhadap bayinya memiliki dampak yang besar, yang ditulis oleh Jerome Holmes, sebagai berikut[9]

The kernel of their findings was that parental responsiveness to infant affect is a key determinant of secure attachment….the mothers of the secure infants pick their babies up more, and generally seem more aware of them and their needs than the parents of insecure children ” (p.8)

Mereka menemukan tiga sikap orang tua atau lingkungan terhadap bayi atau anaknya yaitu, Pertama, memberi respon yang konsisten. Kedua, secara konsisten tidak memberi respon dan Ketiga, memberi respon yang tidak konsisten.

Berdasarkan pengamatan terhadap anak-anak dengan berbagai pola attachment yang negatif diatas, ditemukan adanya berbagai sikap orang tua yang tidak tepat terhadap bayi/anaknya, yang seringkali disebabkan mereka tidak mengalami kepuasan di dalam pernikahan mereka[10] yaitu,

· Orang tua dari anak yang merasa aman, akan memberi respon dengan cepat ketika bayi mereka menunjukkan tanda-tanda distress (menderita, sedih). Mengajak bayinya bermain bersamanya, dan secara umum lebih memperhatikan dan aware akan kebutuhan bayi mereka dari pada sikap ibu dari anak yang merasa tidak aman.

· Orang tua dari anak yang insecure avoidant, bersikap lebih kasar dan hanya menjalankan tugas saja.

· Orang tua dari anak yang insecure ambivalent , cenderung kurang memenuhi kebutuhan anak, seringkali mengabaikan bayi mereka ketika mereka dengan jelas mengalami kesedihan. Dan mengganggu bayi mereka ketika mereka sedang bermain dengan gembira.

· Orang tua dari anak insecure disorganized, cenderung memberi tekanan-tekanan dan memperlakukan anaknya dengan kejam.


ATTACHMENT & KEMAMPUAN MENJALIN PERSAHABATAN

Pembentukan attacment pada masa kecil mempengaruhi kemampuan anak menjalin persahabatan pada masa dewasa. Jeremy Holmes mencatat penelitian yang dilakukan oleh Hasan dan Shaver[11] (1994) tentang tipologi attachment hubungan orang tua-anak dan relasi interpersonal pada masa dewasa, ditulis demikian,

“…the attachment typology of infant-parent relationship to explore intimate relationships between adults. They see Bowlby’s key elements of secure parenting – proximity and responsiveness – as equally applicable to successful adult intimate relationships.” (p.16-17)

Maka dapat dikatakan bahwa, kesuksesan menjalin relasi interpersonal atau persahabatan seiring dengan pola relasi orang tua-anak pada masa anak tersebut masih bayi. Hal ini terjadi karena Attachment adalah kelekatan hubungan emosi yang membentuk kesan yang mendalam. Kesan ini akan tertanam dengan mendalam karena kesan ini terbentuk pada masa bayi dan kanak-kanak, ketika belum banyak kesan yang terdapat di dalam benak mereka, apalagi bila pengalaman yang berulang-ulang terjadi di sepanjang tahun-tahun awal kehidupan mereka. Kesan yang menyakitkan pada masa ini, akan membuat mereka takut membangun persahabatan di kemudian hari karena mereka takut dikecewakan di dalam persahabatan itu. Sebaliknya, kesan yang menyenangkan anak atau Secure attachment yang “dihasilkan” oleh sikap ibu yang secara konsisten memberi respon yang dibutuhkan anak, akan membuat anak hingga dewasa memiliki tiga aspek pola dasar dalam membangun relasi yang efektif.

Pertama, tidak ragu-ragu untuk datang atau bertemu dengan orang lain. Hal ini dapat terjadi karena pengalaman mereka selama ini menyatakan, bahwa orang yang dibutuhkannya akan datang dan bila tidak datang pun mereka memiliki keyakinan bahwa suatu saat akan datang kembali. Apalagi, setelah mereka telah menjadi dewasa muda, yang telah memiliki pemahaman akan banyaknya tipe orang yang mereka temui dan akan lebih mudah paham bila satu saat terjadi penolakan. Penolakan inipun tidak akan membuat mereka menghindari sahabatnya, walaupun mungkin membuat mereka lebih berhati-hati. Karena orang yang memiliki sikap positif akan cenderung untuk selalu terlibat di dalam aktifitas di lingkungannya, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Diane S. Berry and Jane Hansen[12] menyimpulkan,

“…high-positive affect (example, enthusiastic, confident) participants engaged in greater numbers of interactions and spent more total time involved in social activity than did low -positive affect individual

Kedua, perasaan aman. Perasaan ini adalah salah satu penentu kualitas sebuah komunikasi. Ada empat tahapan komunikasi berkualitas yang pada umumnya terjadi. Pertama, percakapan basa-basi. Kedua percakapan yang berisi kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Ketiga, percakapan yang mengekspresikan perasaan. Dan Keempat, mengungkapkan kemauan dan pemikiran-pemikiran yang terdalam. Perasaan aman memungkinkan seseorang berani mengungkapkan kemauan, perasaan, dan pemikiran. Ia tidak merasa malu dan takut ditertawakan ketika mengungkapkan pemikiran, perasaan, dan kemauan dengan kata, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh. Pola attachment seseorang menentukan cara ia bersikap dan menanggapi setiap peristiwa yang ia alami, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Nancy L. Collins[13] menyimpulkan, bahwa “… adult with different attachment styles would explain and interpret events in ways consistent with their beleifs and expectations about themselves and others.” Ketiga, lebih bersikap positif, optimis terhadap diri, dan orang lain juga mampu berkomunikasi dengan penuh percaya diri.[14] Dan cenderung untuk mempertahankan pola attachment yang ia miliki.[15]


RELASI INTERPERSONAL MEMPERBAIKI POLA INSECURE ATTACHMENT

Pengalaman membangun relasi interpersonal di masa remaja dan dewasa dapat memperbaiki pola insecure attachment dalam diri seseorang. Dari pengamatan yang dilakukan para ahli seperti Erikson, Robert Selman menunjukkan bahwa menjalin relasi interpersonal atau persahabatan adalah satu kebutuhan dalam diri setiap orang sejak kanak-kanak. Maka dapat dikatakan, menjalin persahabatan sebenarnya dapat dilakukan secara “alami” oleh siapa saja, juga bagi mereka yang memiliki pola insecure attachment. Memang rasa tidak aman akan menghambat untuk membangun interpersonal, berkomunikasi dan menjalin persahabatan, namun tetap dapat dilakukan. Bila relasi ini dicoba terus menerus, dilatih untuk membangun relasi interpersonal akan dapat berhasil. Hal ini dapat dibuktikan dengan dua penelitian telah dilakukan oleh Steven Asher dan Stephen Nowicki[16] di tempat yang berbeda, yang menunjukkan hal yang sama. Mereka merancang serangkaian pelatihan keterampilan membangun relasi persahabatan bagi anak yang tidak populer, dan program itu telah memperlihatkan keberhasilan.

Bila kemampuan membina persahabatan dapat dilakukan, akan memperbaiki pola attachment-nya, karena perspektif tentang orang lain, lingkungan dan diri sendiri akan makin luas. Dan dengan pola attachment di dalam diri yang baru akan membawa perubahan di dalam membangun relasi dengan orang lain[17] dan memudahkan seseorang untuk menjalin persahabatan. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Hudson, Peyton dan Brian-Maisels[18] menunjukkan, bahwa perkembangan yang sehat di dalam mengembangkan perspektif seorang anak, menghasilkan anak yang lebih ramah, suka menolong dan menunjukkan tingkah laku yang dapat menyelesaikan masalah sosial bila dibandingkan dengan anak-anak yang kurang memiliki ketrampilan mengenal perspektif orang lain.


PENUTUP

Attachment pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi kemampuan anak untuk menjalin persahabatan pada masa dewasa muda. Pola relasi orang tua dan anak seringkali seiiring dengan relasi suami dan istri, apalagi pada relasi suami dan istri yang tidak harmonis. Selain itu, pentingnya pemahaman bagi orang tua tentang pola pengasuhan dan perlakukan yang tepat terhadap anak, karena sikap apapun yang mereka munculkan pada anak akan terpola hingga pada masa dewasa (Maz 127:3; Efesus 6:4). Namun demikian, perasaan tidak aman yang diakibatkan oleh insecure attachment dapat diperbaiki, karena pola attachment positif masih dapat terbentuk pada masa dewasa, apalagi menemukan persahabatan atau lingkungan yang membentuk relasi interpersonal secara sehat dan mendapatkan pelatihan keterampilan berelasi yang efektif.


[1] Arnold Gesell, The First Five Years of Life, New York : Harper & Brother Publishers, 1940.p. 28.

[2] Helen Bee, The Developing Child, London : Harper & Row, Publishers, inc., 1975. p. 238

[3] Jeremy Holmes, Attachment, Intimacy, Autonomy, London : Jason Aronson Inc, 1996, p. 4-6

[4] Ibid.

[5] C. Cybele Raver, “Relation Between Social Contingency in Mother-Child Interaction and 2-Years-Olds’ Social Competence,” Developmental Psychology (1996) Vol.32. No.5, p. 857

[6] Helen Bee, p. 239 – 240.

[7] Jeremy Holmes, p. 4-6

[8] Ibid, p.7-8.

[9] Ibid. p.8

[10]Lawrence A. Kurdek, “Parenting Satisfaction and marital Satisfaction in Mothers and fathers With Young Children” Journal of Family Psychology (1996). Vol. 10.No.3. p. 339.

[11] Jerome Holmes, p. 16-17.

[12] Diane S. Berry and Jane Hansen, “Positive Affect, Negative Affect, and Social Interaction”, Journal of Psychology and Social Psychology (1996) Vol.71.No.4. p. 806.

[13] Nancy L. Collins, “Working Models of Attachment : Implications for Explanations, Emotions, and Behavior,” Journal of Psychology and Social Psychology (1996) Vol.71.No.4. p. 826.

[14] Ibid.

[15] Marie-Cecile O. Tidwell; Harry T.Reis; Philip R. Shaver, “Attachment, Attractiveness, and Social Interaction : A Diary Study” Journal of Personality and Social Psychology (1996) Vol.71, No.4.p. 743.

[16] Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya (Jakarta : Gramedia, 1996), p.357-358.

[17] Sandra D. Wilson, “Finding Hope for Change Recovery From Dysfunctional Families” Christian Counseling Today (Summer 1995), p.24.

[18] Rolf Muuss, p.252.






Related post: