Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya (Nevid, 2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata, identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri seseorang yang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan.
Identitas jenis kelamin (gender identity): keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense). Didasarkan pada sikap, perilaku, atribut lainnya yang ditentukan secara kultural dan berhubungan dengan maskulinitas atau femininitas. Peran jenis kelamin (gender role): pola perilaku eksternal yang mencerminkan perasaan dalam (inner sense) dari identitas kelamin. Peran gender berkaitan dengan pernyataan masyarakat tentang citra maskulin atau feminim.
Konsep tentang normal dan abnormal dipengaruhi oleh factor social budaya, Perilaku seksual dianggap normal apabila sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan dianggap abnormal apabila menyimpang dari kebiasaan yang ada di masyarakat.
Gangguan Identitas Gender
Criteria diagnostic gangguan identitas gender: Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap gender lain:
1. Berkeinginan kuat menjadi anggota gender lawan jenisnya (berkeyakinan bahwa ia memiliki identitas gender lawan jenisnnya)
2. Memilih memakai baju sesuai dengan stereotip gender lawan jenisnya
3. Berfantasi menjadi gender lawan jenisnya atau melakukan permainan yang dianggap sebagai permainan gender lawan jenisnya.
4. Mempunyai keinginan berpartisipasi dalam aktivitas permainan yang sesuai dengan stereotip lawan jenisnya
5. Keinginan kuat mempunyai teman bermain dari gender lawan jenis (dimana biasanya pada usia anak – anak lebih tertarik untuk mempunyai teman bermain dari gender yang sama)
Pada remaja dan orang dewasa dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya, berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya.
6. Perasaan yang kuat dan menetap ketidaknyamanan pada gender anatominya sendiri atau tingkah lakunya yang sesuai stereotip gendernya.
7. Tidak terdapat kondisi interseks.
8. Menyebabkan kecemasan yang serius atau mempengaruhi pekerjaan atau sosialisasi atau yang lainnya.
9. Gangguan identitas gender dapat berakhir pada remaja ketika anak – anak mulai dapat menerima identitas gender. Tetapi juga dapat terus berlangsung sampai remaja bahkan hingga dewasa sehingga mungkin menjadi gay atau lesbian.
Awal mula Gangguan Identitas Gender
Gangguan identitas gender bermula dari trauma dari orang tua yang berlawan jenis, pergaulan individu, pengaruh media massa. Kaplan (2002), gangguan identitas gender ditandai oleh perasaan kegelisahan yang dimiliki seseorang terhadap jenis kelamin dan peran jenisnya. Gangguan ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanaak saat usia dua hingga empat tahun (Green dan Blanchard dalam Fausiah, 2003).
Nevid (2002) mengemukakan bahwa gangguan identitas gender dapat berawal dari masa kanak-kanak dengan disertai distress terus menerus dan intensif, bersikap seperti lawan jenis dan bergaul dengan lawan jenis, serta menolak sifat anatomi mereka dengan adanya anak perempuan yang memaksa buang air kecil sambil berdiri atau anak laki-laki yang menolak testis mereka.
Ciri-ciri klinis dari gangguan identitas gender (Nevid, 2002):
a) Identifikasi yang kuat dan persisten terhadap gender lainnya: adanya ekspresi yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lain, preferensi untuk menggunakan pakaian gender lain, adanya fantasi yang terus menerus mengenai menjadi lawan jenis, bermain dengan lawan jenis,
b) Perasaan tidak nyaman yang kuat dan terus menerus, biasa muncul pada anak-anak dimana anak laki-laki mengutarakan bahwa alat genitalnya menjijikkan, menolak permainan laki-laki, sedangkan pada perempuan adanya keinginan untuk tidak menumbuhkan buah dada, memaksa buang air kecil sambil berdiri.
c) Penanganannya sama seperti menangani gangguan seksual
Faktor – Faktor Penyebab
Saat ini, masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.
Faktor lain yang dianggap dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki.
Teori belajar menekankan tidak adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki – laki menyebabkan ia tidak mendapatkan model seorang pria.
Teori psikodinamika dan teori belajar lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak dipengaruhi tipe sejarah keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya berperan dalam mengkombinasikan dengan kecenderungan biologisnya. Orang yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan gender yang berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak – anak. Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan feminine dipengaruhi oleh hormone seks fase – fase tertentu dalam perkembangan prenatal.
Terapi
Body Alterations
Pada terapi jenis ini, usaha yang dilakukan adalah mengubah tubuh seseorang agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang terlebih dahulu diharuskan untuk mengikuti psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan (Harry Benjamin International Gender Dysphoria Association, 1998). Perubahan yang dilakukan antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk membuang rambut di wajah, serta pengonsumsian hormon perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan operasi perubahan kelamin.
Keuntungan operasi perubahan kelamin telah banyak diperdebatkan selama bertahun-tahun. Di satu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan sosial yang bisa didapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa pada umumnya transeksual tidak menyesal telah menjalani operasi, serta mendapat keuntungan lain seperti kepuasan seksual yan lebih tinggi.
Ganti kelamin
Sebelum tindakan operasi kelamin ada beberapa hal yang harus diperhatikan individu. Ada beberapa tahap yang harus dialaui sebelum tindakan operasi kelamin dilakukan. Tahap – tahap tersebut adalah:
Memastikan kemantapan dalam mengambil keputusan. Jika terdapat delusi paranoid dalam memutuskan mengganti kelamin, maka ahli bedah harus menolak permintaanya.
Orang yang ingin merubah dari pria menjadi wanita, estrogennya ditingkatkan untuk menumbuhkan karakteristik alat kelamin sekunder wanita. Sedangkan pada wanita yang ingin menjadi pria, hormon androgennya ditingkatkan untuk mengembangkan karakteristik alat kelamin sekunder pria.
Sebelum operasi diwajibkan hidup selama satu tahun sebagai orang dari gender lawan jenisnya untuk memprediksi penyesuaian setelah operasi. Untuk orang yan mengganti kelamin dari pria menjadi wanita, penis dan testis dibuang. Kemudian jaringan dari penis digunakan untuk membuat vagina buatan. Jika dari wanita menjadi pria, ahli bedah membuang organ kelamin internal dan meratakan payudaranya dengan membuang jaringan lemak.
Pengubahan Identitas Gender
Walaupun sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai terapi, ada kalanya transeksual memilih untuk melakukan pengubahan identitas gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada awalnya, identitas gender dianggp mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah. Namun dalam beberapa kasus, pengubahan identitas gender melalui behavior therapy dilaporkan sukses. Orang-orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda dengan transeksual lain, karena mereka memilih untuk mengikuti program terapi pengubahan identitas gender.
Daftar Pustaka
V. Mark Durank & David H. Barlow.2006.Psikologi Abnotmal.Yoryakarta: Pustaka Pelajar
Fausiah, Fitri. (2003). Bahan ajar mata kuliah psikologi abnormal (klinis dewasa). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J, Grebb, Jack A. (2002). Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan psiatri klinis. Jakarta : Binarupa Aksara.
Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly. (2002). Psikologi abnormal jilid dua edisi kelima. Jakarta : Erlangga.