EKSPRESI EMOSI DAN AUTISTIK: Memetakan Ekspresi Emosi yang Dapat Dikenali pada Anak-Anak Autis


Autism berasal dari kata auto yang berarti terikat sendiri. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002), autism diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi autistik, didefinisikan sebagai terganggu jika berhubungan dengan orang lain. Individu dengan autistik seakan-akan hidup dalam dunia sendiri.

Sebuah novel melukiskan Autisme sebagai, “.... sepertinya ada ‘duniaku’ dan ‘dunia’ (Williams, 2004). Autistik ini menarik untuk dipelajari mengingat jumlah anak yang didiagnosis sebagai autistik meningkat dari tahun ke tahun. Frugteveen (2000) mengemukakan pada awalnya hanya terdapat 1 : 10.000, pada tahun 2000 terdapat 1 : 1.500 anak dengan autistik. Walaupun belum ada data resmi mengenai jumlah anak yang didiagnosis sebagai autistik, namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan bahwa pada tahun 2004 di Indonesia terdapat 475.000 anak dengan ciri-ciri autistik (Kompas, 20 Juli 2005).

Simtom dan Penyebabnya

Diagnostic Statistical Manual IV (DSM-IV) mengelompokkan autistik kedalam Autism Spectrum Disorder (ASD). Individu dengan autistik mengalami gangguan kapasitas pemahaman sosial, yang biasanya diikuti dengan adanya kesulitan dalam berkomunikasi dan memroses informasi yang ditangkap oleh alat indera (Siegel, 2003). Hambatan ini menjadikan individu dengan autistik, menyandang simtom objektif, dimana simtom yang dialami hanya dapat diamati oleh orang lain saja (Tilton, 2004). Simtom objektif ini berbeda dengan penderita gangguan psikologis yang umumnya mengalami simtom subjektif dimana individu dapat mengalami dan merasakan hambatan yang dialami.

  • Lihat Jurnal lengkapnya dengan mengklik Disini!!!
  • Di Amerika Serikat anak autistik ini tidak disebut dengan penderita atau mengalami autistik tetapi mereka lazim disebut individu dengan autistik (pada anak disebut children with autism). Tiga simtom utama yang dapat dijadikan pedoman dalam mendiagnosis ASD ini adalah hambatan dalam hubungan sosial, komunikasi sosial, dan kemampuan berpikir imakinatif (Sicile-Kira, 2004). Apakah penyebab autism masih belum diketahui dengan pasti. Pada awalnya, beberapa buku sempat mengemukakan pengasuhan ibu yang kurang hangat sebagai penyebab utama sehingga menyebabkan anak-anak autis ini menarik diri dan sibuk dengan dunianya sendiri (Stacey, 2003). Teori Refrigerator Mother yang dikembangkan oleh Bruno Bettelheim (dalam Jacobsen, 2004) mengemukakan bahwa autistik disebabkan oleh pengasuhan ibu yang kurang hangat. Teori ini sangat pada akhir tahun 50-an hingga pada akhirnya agak melemah gaungnya seiring dengan terbitnya buku Bernard Rimland pada tahun 1964 (dalam Ginanjar, 2007) yang memaparkan tentang adanya gangguan susunan saraf pusat pada anak-anak dengan autistik. Tiga lokasi yang diduga berbeda polanya dibandingkan dengan anak normal adalah sirkuit batang otak-serebrum, sistem limbik, dan sirkuit korteks serebri (Minshew, dalam Schopler & Mesibov, 1992).

    Kondisi inilah yang disinyalir berkaitan dengan gangguan pada perkembangan kognitif, bahasa, emosi, dan interaksi sosial. Merespon tidak konsistennya hasil riset mengenai penyebab ASD ini, Peeters (2004) mengemukakan bahwa autistik merupakan gangguan dengan penyebab multifaktor, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah berbagai kondisi yang mempengaruhi dan mengganggu proses perkembangan otak, baik itu terjadi sebelum, selama maupun setelah bayi lahir.

    Emosi & Autism

    Emosi merupakan respon individu terhadap benda, orang, dan situasi. Respon ini dapat menyenangkan atau positif tetapi dapat juga tidak menyenangkan atau negatif (Ekman, 1999). Secara fisiologis, simtem limbik yang terdapat di dalam susunan syaraf manusia sering dikaitkan dengan emosi ini (Kotter, et.al., 1997) sehingga gangguan pada sistem limbik dapat mengakibatkan kesulitan mengendalikan emosi. Moetrasi (dalam Azwandi, 2005) memberikan contoh reaksi mudah mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa tanpa stimulus yang jelas sebagai akibat dari adanya gangguan pada sistem limbik. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut adalah contoh reaksi emosi yang berujud perilaku sebagai akibat gangguan sistem limbik ini.

    Bidang fungsional dari syaraf pusat yang juga berpengaruh adalah pemrosesan sensorik. Individu yang mengalami gangguan pemrosesan sensorik tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan menafsirkannya dari berbagai sudut pandang. Pemrosesan emosional dapat dikacaukan oleh mereka yang terlampau reaktif atau kurang reaktif. Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan kesalahan dalam menafsirkan informasi emosional yang diperoleh dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat (Greenspan dan Weider, 2006). Penelitian-penelitian berkaitan dengan aspek emosi individu dengan autistik ini sudah banyak dilakukan (Schultz, 2005).

    Temuan-temuan sebelumnya memperlihatkan adanya indikasi kelemahan penyandang autis untuk mengenali kandungan emosi dari stimulus yang dihadapi. Bahon-Cohen et al (dalam Castelli, 2005) yang menemukan kelemahan yang spesifik pada pengenalan ekspresi terkejut (belief-based expression) dibanding emosi senang dan sedih (reality-based expression). Castelli menambahkan bahwa anak dengan autistik mengalami kesulitan dalam mengenali emosi orang lain sehingga mereka tidak mampu mengekspresikan emosinya, apalagi melakukan kontak emosi dengan orang lain.

    Hasil yang berkebalikan dilaporkan oleh Castelli (2005) dalam penelitiannya yang lain. Ia menemukan juga bahwa anak dengan autistik dapat mengenali emosi dasar (Happines, Anger, Sadness, Surprise, Fear, Disgust) melalui ekspresi wajah, tidak hanya pada saat mencocokkan gambar ekspresi wajah, tetapi juga saat memberikan nama pada masing-masing ekspresi wajah tersebut. Beberapa stimulus yang mengundang respon bagi anak-anak autistik dapat berupa benda maupun peristiwa. Namun, adanya gangguan pemrosesan pada anak autistik dapat mengakibatkan reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan kebingungan dan ketakutan.

    Dalam beberapa penelitian mengenai emosi pada anak autis didapatkan beberapa stimulus yang menimbulkan respon emosi adalah benda-benda yang ada di dalam kehidupan mereka sehari-hari (Greenspan dan Wieder, 2006). Ditemukan bahwa benda-benda lebih banyak direspon daripada orang-orang yang ada di dalam kehidupannya (Peeters, 2004), respon anak autis terhadap benda-benda tampak pada keinginannya untuk mengambil dan membawa benda tersebut kemana mereka pergi. Apabila mereka dipisahkan dari benda-benda tersebut maka akan terjadi penolakan dan marah. Selain marah, anak-anak dengan autistik biasa juga melampiaskan dengan cara menyakiti diri sendiri seperti, membenturkan kepala atau menarik rambut sendiri (Azwandi, 2005).





    Related post: