Apakah budaya? Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang telah ditanyakan dan dicari jawabnya sejak era Ibnu Khaldun sampai saat ini. Seolah-olah jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah ada, atau mungkin ketika ditemukan jawabannya oleh seseorang, maka yang didefinisikan itu (budaya) lantas berubah. Oleh karenanya orang tak pernah sampai pada keputusan final yang disepakati oleh semua orang. Apalagi budaya dilihat dari kacamata berlainan tergantung yang melihatnya. Alhasil konsep budaya berbeda-beda tergantung siapa yang mendefinisikan konsep tersebut.
Dalam buku-buku pengantar antropologi selalu disebutkan hasil temuan Kroeber & Kluckhon yang mengidentifikasi definisi budaya. Mereka mencatat sekurang-kurangnya terdapat 169 definisi berbeda. Hal itu menunjukkan betapa beragamnya sudut pandang yang digunakan untuk melihat budaya. Masing-masing disiplin ilmu memiliki sudut pandangnya sendiri. Bahkan di dalam satu disiplin ilmu terdapat perbedaan karena pendekatan yang digunakan berbeda. Dalam disiplin ilmu psikologi misalnya, mungkin saja mereka yang tertarik dengan persoalan emosi akan mendefinisikan berbeda dengan mereka yang tertarik pada persoalan kesehatan mental.
Salah satu definisi konsep budaya adalah yang dikemukakan Koentjaraningrat (2002) yang mendefinisikannya sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Definisi tersebut mendominasi pemikiran dalam kajian-kajian budaya di Indonesia sejak tahun 70-an, sejak buku ‘Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan’ diterbitkan.
Budaya dalam definisi diatas berarti mencakup hampir keseluruhan dimensi kehidupan manusia. Asalkan sesuatu yang dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai budaya. Hanya sebagian kecil dimensi manusia yang tidak dicakup dalam konsep budaya, yakni yang terkait dengan insting serta naluri. Hal serupa dikemukakan oleh Van Peursen (1988) yang menyatakan kebudayaan sebagai proses belajar yang besar.
Sedemikian luasnya konsep budaya, maka untuk memahaminya konsep tersebut kemudian dipecah-pecah ke dalam unsur-unsurnya. Koentjaraningrat (2002) memecahnya ke dalam 7 unsur, yakni sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara keseluruhan.
Definisi lainnya diberikan oleh Herskovits, yang mendefinisikan budaya sebagai hasil karya manusia sebagai bagian dari lingkungannya (culture is the human-made part of the environment). Artinya segala sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan manusia, baik hasil itu abstrak maupun nyata, asalkan merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial, maka bisa disebut budaya. Tentu saja definisi ini juga sangat luas. Namun definisi tersebut digunakan oleh Harry C. Triandis, salah seorang pakar psikologi lintas budaya paling terkemuka, sebagai dasar bagi penelitian-penelitiannya (lihat Triandis, 1994) karena definisi tersebut memungkinkannya untuk memilah adanya objective culture dan subjective culture. Budaya objektif adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk nyata, seperti alat pertanian, hasil kesenian, rumah, alat transportasi, alat komunikasi dan sebagainya. Sedangkan budaya subjektif adalah segala sesuatu yang bersifat abstrak misalnya norma, moral, nilai-nilai, dan lainnya.
Dari lingkungan psikologi, budaya juga memperoleh banyak definisi. Tiga diantara definisi yang ada tertulis pada awal artikel ini (yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai analogi dari budaya, atau bahasa simbolik dari budaya ketimbang sebuah definisi). Misalnya Triandis memandang budaya memiliki kerja yang persis sama seperti halnya memori bagi individu. Kita tahu bahwa memori adalah bagian yang sangat vital dalam kehidupan seorang individu. Tanpa memori seorang individu tidak pernah bisa belajar apapun juga. Hal itu berarti kematian bagi manusia, karena tidak ada satupun ketrampilan untuk hidup yang dapat dikuasai. Memorilah yang menentukan segala pikiran dan perilaku manusia. Demikian juga masyarakat bisa tumbuh dan berkembang karena adanya budaya. Tanpanya, tidak akan ada masyarakat. Itu artinya tidak ada juga yang namanya manusia seperti diri kita sekarang.
Shinobu Kitayama menganalogikan peran budaya bagi manusia seperti peran air bagi ikan. Tanpa air ikan mati, manusia pun akan menjadi bukan manusia tanpa budaya. Sebagaimana air menentukan kehidupan ikan, budaya menentukan seperti apa kehidupan yang dijalani manusia. Air yang berbeda akan membuat ikan berperilaku beda. Demikian juga budaya yang berbeda akan membuat manusia berbeda.
Analogi dari Hofstede sangat menarik. Ia memakai perumpamaan komputer untuk menjelaskan peran budaya bagi kehidupan manusia. Software, kita tahu adalah program yang membuat sebuah komputer bekerja. Tanpa software, komputer hanya seonggok benda mati yang tidak berguna. Software-lah yang menentukan kerja komputer. Jadi pastilah Hosftede ingin menegaskan betapa pentingnya budaya ketika ia menganalogikan budaya sebagai ‘software of the mind.’ Budaya adalah penggerak manusia. Tanpanya, manusia sekedar makhluk tanpa makna.
Dari tiga analogi budaya yang dikemukakan oleh ilmuwan psikologi diatas, terlihat betapa pentingnya sebuah budaya. Ketiganya mengatakan kepada kita bahwa aspek psikologis manusia tidak dapat dilepaskan dari budaya. Seperti juga yang diungkapkan Matsumoto (2002) 'culture played as basic and important a role in understanding and contributing to human behavior as did any other influences on our lives, and to gradually understand its pervasive and profound influence on psychological processes in all areas of functioning.' Sesuatu yang sedikit ironis jika mengingat kecenderungan etnosentrik dalam perkembangan ilmu psikologi. Hampir semua yang berasal dari Amerika Utara dan Eropa Barat nyaris selalu diklaim bernilai universal (lihat Smith & Bond, 1994). Untunglah saat ini terjadi kecenderungan dimana budaya sangat diperhatikan. Triandis (2002) misalnya menegaskan bahwa psikologi sosial hanya bermakna bila berlaku lintas budaya.
Triandis (1994) mencatat sekurangnya ada tiga ciri dari definisi-definisi budaya yang ada, yakni bahwa budaya terbentuk melalui interaksi yang berkesinambungan yang saling mempengaruhi dan terus menerus berubah (adaptive interactions), merupakan sesuatu yang ada pada seluruh kelompok budaya bersangkutan (shared elements) dan dialihkan dari satu waktu ke waktu berikutnya, dari generasi ke generasi (transmitted accross time periods and generations). Van Peursen (1988) menjelaskan bahwa proses pengalihan itu dimungkinkan melalui proses belajar sebab adanya fasilitas bahasa. Tanpa bahasa, proses pengalihan itu tidak akan terjadi.
Dari keterangan diatas, saya kira cukup terang pada kita bahwasanya sebuah konsep budaya mestilah berarti aktivitas. Budaya bukanlah sesuatu yang statik. Van Peursen (1988) menegaskan kepada kita bahwa budaya semestinya diperlakukan sebagai kata kerja, bukannya kata benda. Sebab budaya terus menerus berubah. Bahkan meskipun itu adalah sebuah tradisi. Lihatlah sekeliling kita, adakah tradisi yang tidak berubah sama sekali?
Ratner (2000), salah seorang pakar psikologi budaya menyusun bagaimana seharusnya sebuah konsep budaya. Ia memproposisikan empat buah prasyarat bagi sebuah konsep budaya yang baik, yakni:
a. Mendefinisikan sebab musabab dari fenomena budaya.
b. Mengidentifikasi subkategori dari fenomena-fenomena budaya
c. Mengidentifikasi bagaimana fenomena-fenomena itu saling berhubungan
d. Menerangkan hubungan budaya dengan fenomena lain, seperti biologi dan ekologi.
Empat syarat konsep budaya yang dikemukakan Carl Ratner diatas, menekankan pada fenomena budaya sebagai unsur dari budaya. Lalu apa sebenarnya fenomena budaya? Ratner (2000) mengemukakan adanya lima fenomena budaya yang utama (bandingkan dengan unsur budaya yang dikemukakan Koentjaraningrat), yakni:
1. Aktivitas budaya (misalnya pengasuhan anak dan pendidikan anak, pembuatan kebijakan, pemeliharaan kesehatan, dan sebagainya). Melalui aktivitas budaya, manusia berupaya untuk survive dan berkembang.
2. Nilai-nilai, skema, makna, dan konsep budaya. Misalnya, makna waktu dan umur berbeda-beda antar budaya.
3. Artifak fisik yang dikontruksi dan digunakan bersama, seperti alat-alat rumah tangga, buku, rumah, senjata dan sebagainya.
4. Fenomena psikologis (emosi, persepsi, motivasi, penalaran logis, intelejensi, memori, kesehatan mental, imajinasi, bahasa dan kepribadian yang dibentuk secara kolektif)
5. Agensi. Fenomena budaya dibentuk dan terus diubah oleh manusia sehingga manusia berperan sebagai agensi. Manusia yang menjadi agensi ini secara langsung membentuk fenomena budaya yang mana dia juga dipengaruhi oleh aktivitas budaya, nilai-nilai, artifak dan psikologi.
Kelompok Budaya
Apakah batas-batas dari suatu budaya? Apakah batas geografi, seperti negara, provinsi, etnik, ataukah batasan bahasa? Yang mana sebenarnya yang disebut sebagai sebuah budaya sehingga dapat dibedakan dengan budaya lainnya?
Pertanyaan diatas sangatlah sulit dijawab dengan kategori kaku karena budaya sesuatu yang sangat kompleks. Apakah budaya jawa itu adalah yang dijalankan oleh orang-orang jawa di pulau jawa? Bagaimana dengan orang jawa yang menjalankan kehidupan seperti orang jawa akan tetapi tempat hidupnya ada di Sumatra, atau bahkan di Suriname sana? Sangat sulit untuk menunjuk mana yang merupakan budaya tertentu.
Kategori yang sering digunakan untuk merujuk kelompok budaya adalah etnisitas dan bahasa. Sebuah kelompok etnik diposisikan sebagai satu kelompok budaya. Demikian juga masyarakat yang menggunakan bahasa khasnya sendiri diperlakukan sebagai satu kelompok budaya khusus. Asumsinya mendasarkan pada pendapat Jacques Lacan, yang menyatakan bahwa manusia terkungkung pada bahasa yang digunakannya. Bahasa adalah penentu budaya manusia. Dunia dipahami manusia dari kelompok budaya berbeda secara berbeda karena bahasa yang digunakan untuk memahaminya juga berbeda. Oleh karena itu orang minang, meskipun dilahirkan di luar Sumatera Barat, namun sepanjang ia dibesarkan dengan bahasa ibu bahasa minangkabau, maka ia semestinya dimasukkan dalam kelompok budaya minangkabau. Sebaliknya apabila dia dibesarkan dengan bahasa ibu bahasa jawa, maka semestinya ia dikelompokkan ke dalam kelompok budaya jawa, meskipun ibu bapanya orang minang. Lantas bagaimana bila ibu minang, bapak jawa dan sang anak dibesarkan dengan bahasa indonesia, apakah kemudian sang anak menjadi kelompok budaya indonesia dan tidak menjadi minang ataupun jawa?
Pada umumnya penelitian psikologi lintas budaya dilakukan lintas negara atau lintas etnis. Artinya sebuah negara atau sebuah etnis diperlakukan sebagai satu kelompok budaya. Dari sisi praktis, hal itu sangat berguna. Meskipun hal tersebut juga menimbulkan persoalan, apakah sebuah negara bisa diperlakukan sebagai satu kelompok budaya bila didalamnya ada ratusan etnik seperti halnya indonesia? Dalam posisi seperti itu, penggunaan bahasa nasional yakni bahasa indonesia menjadi dasar untuk menggolongkan seluruh orang indonesia ke dalam satu kelompok budaya.
Pada akhirnya tidak ada kategori kaku yang bisa digunakan untuk melakukan pengelompokan budaya. Apakah batas-batas budaya itu ditandai dengan ras, etnis, bahasa, atau wilayah geografis, semuanya bisa tumpang tindih satu sama lain atau malah kurang relevan.
Hubungan Psikologi dan Budaya
Pada awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002) misalnya, menegaskan bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya.
Sebenarnya bagaimana hubungan antara psikologi dan budaya? Secara sederhana Triandis (1994) membuat kerangka sederhana bagaimana hubungan antara budaya dan perilaku social:
Ekologi - budaya - sosialisasi - kepribadian – perilaku
Sementara itu Berry, Segall, Dasen, & Poortinga (1999) mengembangkan sebuah kerangka untuk memahami bagaimana sebuah perilaku dan keadaan psikologis terbentuk dalam keadaan yang berbeda-beda antar budaya. Kondisi ekologi yang terdiri dari lingkungan fisik, kondisi geografis, iklim, serta flora dan fauna, bersama-sama dengan kondisi lingkungan sosial-politik dan adaptasi biologis dan adaptasi kultural merupakan dasar bagi terbentuknya perilaku dan karakter psikologis. Ketiga hal tersebut kemudian akan melahirkan pengaruh ekologi, genetika, transmisi budaya dan pembelajaran budaya, yang bersama-sama akan melahirkan suatu perilaku dan karakter psikologis tertentu.
Ratusan definisi budaya yang ada tidak bisa dianggap yang satu lebih benar daripada yang lainnya. Masing-masing definisi memiliki kekuatannya masing-masing. Oleh karena itu penggunaan definisi budaya semestinya dilihat dari tingkat kegunaannya bagi tujuan yang dikehendaki. Triandis (1994) mencontohkan dengan definisi budaya yang digunakan B.F. Skinner, seorang behavioris, yakni ‘budaya adalah seperangkat aturan penguatan (a set of schedules of reinforcement)’. Definisi tersebut bernilai optimal bagi pendekatan yang dilakukan Skinner.
Oleh Achmanto Mendatu
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat (2002). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Matsumoto, D. (2002). Culture, psychology, and education. In W. J. Lonner, D. L. Dinnel, S. A.
Hayes, & D. N. Sattler (Eds.), Online Readings in Psychology and Culture (Unit 2, Chapter 5), (http://www.ac.wwu.edu/~culture/index-cc.htm), Center for Cross-Cultural Research, Western Washington University, Bellingham, Washington USA
Ratner, C. (2000). Outline of Coherent, Comprehensive Concept of Culture : The Problem of Fragmentary Notions of Culture. Cross-Cultural Psychology Bulletin, 35 : 5-11
Segall, M.H., Dasen, P.R., Berry, J.W., & Poortinga, Y.H. (1999). Human Behavior in Global Perspective : An Introduction to Cross-Cultural Psychology. New York : Pergamon Press.
Smith, P.B., & Bond, M.H. (1994). Social Psychology Across Cultures : Analysis and Perspectives. Boston : Allyn and Bacon.
Triandis, H.C. (1994). Culture and Social Behavior. New York : McGraw-Hill.
Triandis, H. C. (2002). Odysseus wandered for 10, I wondered for 50 years. In W. J. Lonner, D. L. Dinnel, S. A. Hayes, & D. N. Sattler (Eds.), Online Readings in Psychology and Culture (Unit 2, Chapter 1), (http://www.ac.wwu.edu/~culture/index-cc.htm), Center for Cross-Cultural Research, Western Washington University, Bellingham, Washington USA.
Van Peursen, C.A. (1988). Strategi Kebudayaan (terj. Dick Hartoko). Yogyakarta : Kanisius