PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA MASA ANAK – ANAK


A. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak

Dari mana timbulnya jiwa keagamaan pada anak? Timbulnya jiwa keagamaan pada anak:

  • Ada Sekolompok ahli yang berpendapat bahwa timbulnya jiwa keagamaan itu dari lingkungan, karena anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religious. Menurut pendapat ini, anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang dan bahkan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri.

Pendapat ini lebih melihat manusia dipandang dari segi bentuknya, bukan dari segi kejiwaannya.

  • Ada pula sekolompok ahli yang berpendapat bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Namun fitrah ini baru berfungsi dikemudian hari setelah melalui proses bimbingan dan latihan.

Apakah fitrah beragama akan berkembang tanpa bimbingan?

Tidak, hal ini sesuai dengan prinsip pertumbuhan “bahwa anak menjadi dewasa, termasuk dalam bidang agama memerlukan bimbingan”. Apa yang mendasari diperlukannya bimbingan untuk mengantarkan orang menjadi dewasa?

1. Prinsip biologis

Anak dilahirkan dalam keadaan lemah, karena itu segala gerak dan tindak tanduknya memerlukan bimbingan dari orang-orang dewasa dilingkungannya.

2. Prinsip tanpa daya

Anak yang baru dilahirkan pertumbuhan fisik dan psikisnya belum sempurna, karena itu anak selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya.

3. Prinsip eksplorasi

Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawa sejak lahir baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Misalnya:

a) Jasmani baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih.

b) Akal dan fungsi-fungsi mental baru akan menjadi berfungsi dengan baik jika diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya (Jalaluddin, 2002:64)


Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan pada anak:

1. Menurut Teori four wishes yang dikemukakan oleh perkembangan jiwa keagamaan anak adalah “rasa ketergantungan (sense of defendnce)”

Menurut teori ini, manusia dilahirkan keduania memiliki empat keinginan:

ü Security: keinginan untuk mendapatkan perlindungan

ü New experience: keinginan untuk mendapat pengalaman

ü Response: Keinginan untuk mendapatkan tanggapan

ü Recognition: keinginan untuk dikenal

Kerjasama dalam rangka memenuhi keinginan-keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan, terutama orang-orang dewasa dalam lingkungannya itu maka terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.

2. Instink keagamaan

Pendapat ini dikemukakan oleh Woodworth, menurutnya, bayi yang dilahirkan sudah memiliki instink, diantaranya instink keagamaan, namun instink ini pada saat bayi belum terlihat, hal itu dikarenakan “beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna”.

Pandangan Woodworth ini mendapat sanggahan dari sekelompok ahli dengan mengajukan argumentasi:

ü Jika anak sudah memiliki instink keagamaan, mengapa orang idak terhayati secara ototmatis ketika mendengar lonceng gereja dibunyikan?

ü Jika anak sudah memiliki instink keagaaan, megnapa terdapat perbedaan agama di dunia ini? Bukankah cara berenang itik dan cara brung membuat sarang yang didasari pada tingkahlaku instingtif akan sama caranya disetiap penjuru duia ini? (Jalaluddin. 2002:65-66)

3. Fitah keagamaan

Pendapat ini berdasarkan konsep Islam yang didasarkan pada hadist Nabi yang berbunyi:

“Setiap anak dialhirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani aau Majusi”.

Fitrah dalam hadist ini diartikan sebagai “potensi”. Fitrah ini baru berfungsi dikmudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap berikutnya. (Jalaluddin 2002:65, Sururin, 2004:48)

Bagaimana proses timbulnya kepercayaan kepada Tuhan dalam diri anak?

  1. Menurut Zakiyyah Darajat, anak mulai mengenal uhan melalui proses:

ü Melalui bahasa, yaitu dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya yang pada mulanya diterimanya secara acuh tak acuh.

ü Setelah itu karena melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah timbul dalam diri anak rasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang haib yang tidak dapat dilihatnya itu (Tuhan).

ü Rasa gelisah dan ragu itu mendorong anak untuk ikut membca dan mengulang kata Tuhan yang diucapkan oleh orang tuanya.

ü Dari proses itu, tanpa disadari anak lambat laun “pemikiran tentang Tuhan” masuk menjadi bagian dari kepribadian anak dan menjadi objk pengalaman agamis.

Jadi pada awalnya Tuhan bagi anak-anak merupakn nama dari sesuatu yang asing yang tidak dikeenalnya, bahkan diragunakan kebaikannya. Pada tahap awal ini anak tidak mempunyai perhatian pada Tuhan, hal ini dikarenakan anak belum mempunyai pengalaman yang mempunyai pengalaman yang membawanya kesana (baik pengalaman yang menyenangkan atau pengalaman yang menyusahkan).

Perhatian anak pada Tuhan tumbuh dan dan berkembang setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekelilingnya tentang Tuhan yang disertai oleh emosi dan perasaan tertentu.

Bagaimana pengalaman awal anak-anak tentang Tuhan?

Menurut Zakiyyah Darajat, pengalaman awal anak-anak tentang Tuhan biasanya tidak menyenangkan, karena Tuhan merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya. Oleh sebab itu maka perhatian anak tentang Tuhan pada permulaannya merupakan sumber kegelisahan atau ketidaksenangannya. Hal inilah yang menyebabkan anak sering bertanya tentang zat, tempat dan perbuatan Tuhan. Pertanyaan itu betujuan untuk mengurangkan kegelisahannyaa. Lalu kemudian sesudah itu timbul keinginan untuk menentangnya atau mengingkarinya.

Jadi, pemikiran tentang Tuhan adalah suatu pemikiran tentang kenyatan luar, sehingga hal itu disukai oleh anak.

Namun untuk melanjutkan pertumbuhan dan menyesuaikan diri dengan kenyataan itu, anak harus menderita dan mendapatkan sedikit pengalaman pahit, sehingga akhirnya ia menerima pemikiran tentang Tuhan setelah diingkariya (Zakiyah Darajat, 2003: 43-45).

  • Menurut Teori Freud, Tuhan bagi anakanak tidak lain adalah orang tua yang diproyeksikan. Jadi Tuhan pertama anak adalah orang tuanya. Dari lingkungan yang penuh kasih saying yang diciptakan olh orang tua, maka lahirlah pengalaman keagamaan yang mendalam.


B. Tahap Perkembangan Beragama pada Anak

Sebagai makhluk Tuhan, potensi beragama sudah ada pada manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa: “Dorongan untuk mengabdi kepada sang pencipta”. Dalam konsep Islam dorongan ini dikenal dengan istilah “Hidayat al Diniyyah” yang berupa benih-benih keberagaman yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Potensi inilah yang menyebabkan manusia itu menjadi makhluk beragama.

Apakah secara empiris manusia itu memiliki potensi beragama?

Ya, ini dapat dibukikan dari hasil kajian yang dilakukan:

1. Edward B. Taylor (Kajian antropologi budaya)

Dia menyebut potensi beragama itu dengan istilah “believe in spiritual being = kepercayaan kepada adi kodrati”. Dorongan ini merupakan kepercayaan/agama pada manusia.

Menurut Taylor, kenyataan adanya “Believe in spiritual being ini ditemukan pada suatu kehidupan yang primitif. Karena kemampuan berfikirnya masih bersifat anthromorphistis, maka kepercayaan kepada adi kodrati itu diwujudkan dalam bentuk benda konkrit seperti patung dll.

2. Stanley Hal

Dia menemukan adanya kecenderungan kepercayaan kepada adi kodrati itu dalam konsep “Totemisme”pada suku Indian. Totem ini pada suku Indian dianggap sebagai binatang yang dipercaya sebagai reinkarnasi leluhur nenek moyang mereka. Binatang ini kemudian dianggap suci dan menjadi lambang ritual keagamaan suku tersebut.

Kentalnya ketertarikan suku Indian kepada konsep totemisme ini menyebabkan:

ü Beberapa suku mengaitkan klan (suku) mereka dengan binatang ini.

ü Nama binatang totem sering diletakkan dibelakang dari masing-masing suku


Sebagai sebuah potensi, lantas bagaimana perkembangan potensi beragama tersebut?

  1. Berdasarka hasil penelitian Ernst Harms

Perkembangan beragama pada anak-anak melalui beberapa fase:

1. Tingkat dongeng (the fairy tale stage, 3 – 6 tahun)

ü Konsep mengenai Tuhan dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.

ü Anak menanggapi agama masih menggunakan konsep fantastic yang diliputi oleh dongeng-dongeng.

ü Perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama dari pada isi ajaran agamanya.

ü Cerita keagamaan akan menarik perhatiannya jika dikaitkan dengan masa kanak-kanaknya.

ü Padangan teologis, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan.

2. Tingkat kepercayaan (the realistic stage)

ü Ide-ide anak tentang Tuhan telah tercermin dalam konsep-konsep yang realistic.

ü Ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, sehingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.

ü Anak mulai tertarik dan senang pada lembaga keagamaan.

ü Pemikiran anak tentang Tuhan sebagai Bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta.

ü Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan logika/akal.

ü Dalam padangan anak, Tuhan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semesta.

3. Tingkat Individu (the individual stage, usia remaja)

Pada tingkat ini anak tlah memiliki kepekaan mosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka.

Konsep keagamaan yang individualis ini dibagi kepada tiga golongan:

a) Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif yang masih sebagian kecil dipengaruhi oleh fantasi.

b) Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal.

c) Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistic, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama (Jalaluddin, 2002: 66-67)

  1. Menurut Imam Bawani perkembangan agama pada masa anak-anak.

Dibagi menjadi 4 bagian:

1. Fase dalam kandungan

Pda fase ini perkembangan agama dimulai sejal Allah meniupkan ruh pada bayi, yaitu ketika perjanjian antara ruh manusia dengan Tuhan (al-A’raf ayat 172).

2. Fase bayi

Pada fase ini belum banyak diketahui perkembanan beragama ana, namun isyarat mengenalkan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadist, seperti anjuran mengazankan/mengikamatkan ketika anak baru lahir.

3. Fase anak-anak

ü Anak mengenal Tuhan melalui ucapan dan perilaku orang dewasa yang mengungkapkan rasa kagum pada Tuhan.

ü Anak mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran agama.

ü Tindakan keagamaan anak didasarkan pada peniruan

4. Fase anak prasekolah

Perkembangan keagamaan anak menunjukkan perkembangan yang semakin realistic (Sururin, 2004: 55-56)

  1. Menurut Zakiyyah Darajat, perkembangan perasaan anak pada Tuhan dapat dibedakan dalam 2 bagian:

1. Usia sebelum 7 tahun

ü Perasaan anak pada Tuhan adalah negative, yaitu takut, menentang dan ragu.

ü Pada usia ini anak berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan, sedangkan gambarannya terhadap Tuhan sesuai dengan emosinya.

ü Dalam pandangan anak bersembunyi Tuhan (Tuhan tidak dapat dilihat) karena sikap Tuhan yang negatif, yaitu Tuhan punya niat jahat yang akan dilaksanakannya.

ü Kepercayaan anak tentang Tuhan, tempat dan bentuk Tuhan didorong oleh perasaan takut dan ingin merasa aman.

2. Uisa 7 tahun keatas

ü Perasaan anak pada Tuhan adalah positif, yaitu: cinta dan hormat.

ü Hubungan dengan Tuhan dipenuhi oleh rasa percaya dan rasa aman.

ü Tidak terlihatnya Tuhan, tidak lagi menyebabkan anak-anak meenjadi takut/gelisah.

ü Anak dapat menerima pemikiran tentang Tuhan adalah dalam rangka untuk menenangkan jiwa dari pertanyaan-pertanyaan, tantangan-tantangan yang kadang tidak dapat dijawab oleh orang dewasa.

ü Pada usia ini anak cenderung menjauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan negative, seperti mematikan, menyakitkan, dan mendatangkan bencana. Jadi kebutuhan anak pada Tuhan tidak sebagai Tuhan yang sangat perkasa bagi alam, tetapi lebih sebagai seorang bapak yang baik dan menjadi teman baginya.

ü Kepercayaan anak pada Tuhan bukanlah merupakan suatu keyakinan, tetapi adalah sikap emosi dimana “Tuhan adalah pemuasan keebutuhansi anak akan seorang plindung”.

ü Sampai kira-kira usia 8 tahun, hubungan anak dengan Tuhan adalah hubungan individual, yaitu: hubungan emosional antara ia dengan sesuatu yang tidak terlihat yang dibayangkan cengan cara sendiri.

ü Sembahyang bagi anak usia ini adalah untuk minta ampun atas kesalahannya atau untuk berterima kasih.

ü Pada usia ini anak tertarik melakukan aktivitas keagamaan di masjid atau tempat ibadah lainnya karena ketertarikan pada pakaian seragam yang berwarna-warni.

ü Pada usia ini anak cenderung mengikuti pengajian jika teman-temannya juga ikut pngajian (Zakiyyah Darajat, 2003: 50-55)


C. Sifat-Sifat Agama pada Anak

Ide keagamaan pda anak tumbuh mengikuti pola “ideal concept in authoristy”, artinya konsep keagamaan anak dipengaruhi oleh factor dari luar diri mereka. Jadi ketaatan anak-anak pada ajaran agama merupakan dampak dari apa yang mereka lihat, mereka pelajari dan dibiasakan oleh orang-orang dewasa atau orang tua di lingkungannya.

Berdasarkan konsep itu maka sifat dan bentuk agama anak-anak dapat dibagi atas:

1. Unreflective (tidak mendalam)

Hal ini ditunjukkan dengan:

Kebenaran ajaran agama diterima anak tanpa kritik, tidak begitu mendalam dan sekedarnya saja. Mereka sudah cukup puas dengan keterangan-keterangan walau tidak masuk akal.

2. Egosenris

Hal ini ditunjukkan dengan:

  • Dalam melaksanakan ajaran agama anak lebih menonjolkan kepentingan dirinya.
  • Anak lebih menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Misalnya: anak berdo’a/sholat yang dilakukan utuk mencapai keinginan-keinginan pribadi.

3. Anthromorphis

Hal ini ditunjukkan dengan:

· Konsep anak dengan Tuhan tmpak seperti menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Dengan kata lain keadaan Tuhan sama dengan manusia, misalnya:

ü Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat orang itu berada dalam tempat yang gelap.

ü Yurga terletak dilangit dan tempat bagi orang yang baik.

ü Tuhan dapat melihat perbuatan manusia langsung kerumah-rumah mereka seperti layaknya orang mengintai.

· Menurut hasil penelitian Praff, anak usia 6 tahun menggambarkan Tuhan seperti manusia yang mempunyai wajah, telinga yang lebar dan besar. Tuhan tidak makan tapi hanya minum embun saja.

Jadi konsep Tuhan dibentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.

4. Verbal dan ritual

Hal ini ditunjukkan dengan:

ü Menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan.

ü Mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan

5. Imitatif

Hal ini ditunjukkan dengan:

Anak suka meniru tindakan keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang dilingkungannya (ortu).

6. Rasa Heran

Ini merupakn sifat keagamaan yang terakhir pada anak-anak. Hal ini ditandai dengan:

Anak mengagumi keindahan-keindahanlahiriah pada ciptaan Tuhan, namun rasa kagum ini belum kritis dan kratif.





Related post: