Psikologi Perkembangan (Pengantar)


BAB I.

SEJARAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

A. PENDAHULUAN

Sejak saat konsepsi, saat mana sel telur dan sel sperma bersatu untuk membentuk suatu kehidupan baru, maka terjadilah perubahan-perubahan secara terus-menerus, yang disebabkan karena adanya saling pengaruh-mempengaruhi – antara proses biologis tertentu dengan masukan (input) berupa pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Kapan proses tersebut berakhir, tidak dapat ditentukan dengan jelas, namun banyak pendapat menyatakan bahwa kematian yang merupakan titik akhir dari proses tersebut.

Perubahan-perubahan itu terjadi baik dalam aspek fisik maupun psikis dan perubahan-perubahan ini tidak selalu dengan mudah tampak oleh pengalamn kita. Misalnya saja, perubahan fisik dapat kita amati dengan mudah. Contoh: Bagaimana perubahan seorang bayi yang tiak berdaya menjadi seorang anak yang lincah, kemudian menjadi remaja yang aktif, selanjutnya menjadi seorang yang dewasa. Sebaliknya perubahan psikis tidak mudah diamati dan dijelaskan. Hal ini meliputi perkembangan seseorang anak untuk dapat berbicara, berkomunikasi dengan orang lain dan keteramplan-keterampilan intelektual lainnya. Dengan adanya perubahan-perubahan fisik dan psikis (kematangan mental), maka secara bertahap terjadilah perubahan-perubahan dalam tingkah laku sosial seorang anak serta pengalaman emosionalnya.

Psikologi perkembangan yang merupakn cabang dari ilmu psikologi, mempelajari perubahan perubahan ini, artinya mempelajari semua perubahan-perubahan dalam aspek fisik, psikis dan sosial yang terjadi sepanjang hidup (life span), dari sejak konsepsi hingga kematian.

Secara tradisional jalannya perkembangan hidup manusia dianggap sebagai suatu garis kurva, dimana proses perkembangan itu berjalan dengan cepat selama masa pranatal, masa bayi, masa anak remaja, kemudian terjadi suatu plateau yang menggambarkan suatu stabilitas selama masa dewasa dan akhirnya terjadi penurunan pada masa tua.

Apa gunanya mempelajari perkembangan hidup manusia? Mempelajari perkembangan manusia, tidak saja menarik – karena dapat memberikan pengetahuan tentang sesuatu yang belum kita ketahui, melainkan juga dapat memberikan informasi-informasi yang berharga mengenai proses-proses psikologis dasar dalam pengamatan, berpikir, belajar dan sosialisasi. Dengan mengetahui proses-proses dasar ini kita harapkan dapat mempelajari bagaimana terjadinya suatu penyimpangan dalam perkembangan dan bagaimana menyusun suatu program treatment yang dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut. Selain itu juga untuk mencegah terjadinya masalah-masalah yang serupa pada anak maupun dewasa lainnya. Sebaliknya pengetahuan kita tentang terjadinya perkembangan yang baik dari seorang anak menjadi seorang dewasa yang matang, sangat berguna untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam praktek pengasuhan anak (child-rearing practices).

Sudah sejak berabad-abad lamanya manusia ingin mengatahui kekuatan-kekuatan yang mendasari perkembangan individu, terutama mengenai perkembagan psikologisnya sehingga banyak terdapat spekulasi-spekulasi mengenai proses terjadinya perubahan-perubahan tersebut selama perkembangan hidup manusia. Demikian juga mengenai asal-usul terjadinya perbedaan-perbedaan individual dalam hal kepribadian maupun kemampuan-kemampuannya, yang membuat setiap individu menjadi unik dan berbeda dari individu lainnya.

B. Latar Belakang Sejarah

Pada mulanya spekulasi tentang perkembangan manusia menjadi menjadi domain dari para filosof. Plato (427 – 347 SM) mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan individual mempunyai dasar genetis. Potensi individu dikatakannya sudah ditentukan oleh faktor keturunan dan benih-benih untuk kemampuannya kelak, telah ada dalam pikiran (mind) anak sejak lahir. Bakat-bakat atau benih-benih tersebut dapat dikembangkan melalui pengasuhan dan pendidikan. Dalam hal ini negara bertugas untuk mengidentifikasi bakat setiap individu sedini mungkin, kemudian menyediakan kesempatan dan sarana pendidikan yang sesuai, sehingga kelak dapat secara efektif memenuhi perannya dalam masyarakat.

Dalam bukunya “Republic” (380 SM), Plato mengusulkan adanya suatu masyarakat ideal yang terdiri dari tiga kelas. Pada tingkat yang terendah terdapat pedagang, produsen dan mereka ini berperan dalam menjalankan kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat. Kelas selanjutnya terdiri dari golongan polisi, tentara dan petugas-petugas sipil yang mengatur ketertiban masyarakat dan melindunginya terhadap ancaman bahaya-bahaya dari luar. Pada kelas tertinggi duduk para unsur pemerintah yang bertugas memerintah dengan bijaksana.

Dalam mengejar idealismenya, Plato menyusun suatu program, dimana peranan keluarga dikesampingkan, dengan cara membuat klinik-klinik dan panti-panti asuhan milik negara, yang akan mengasuh dan mendidik anak-anak yang terpilih sebagai calon-calon manusia dewasa yang akan berperan dalam masyarakat dikemudian hari (yang berbakat).

Meskipun Plato tidak memberikan bukti yang menunjang langsung dalam pekulasinya tentang determinan genetik dari perkembangan, namun jelas nampak bahwa anak merupakan miniatur orang dewasa. Hal ini tampak dari anggapannya bahwa semua keterampilan, kemampuan dan pengetahuan yang manifes (tampil) dikemudian hari setelah dewasa, telah ada sejak lahir (bersifat innate), sedangkan pendidikan menarik potensi itu keluar, tetapi tidak ada sesuatu yang baru ditambahkan oleh pendidikan, perkembangan dianggap sebagai suatu pertumbuhan semata, yaitu proses penambahan secara kuantitatif. Dengan demikian angapan bahwa anak merupakan miniatur orang dewasa mengandung arti bahwa anak berbeda secara kuantitatif dari orang dewasa, dan tidak secara kualitatif. Pandangan ini tercermin dalam banyak lukisan-lukisan kuno, dimana proporsi tubuh anak disamakan dengan orang dewasa, juga model pakaiannya.

Seperti kita ketahui, waktu baru lahir, ukuran panjang kepala seorang bayi kira-kira seperempat dari panjang tubuhnya, sedangkan pada orang dewasa perbandingan ukuran kepala dengan ukuran tubuh, kurang dari 1 : 7. Lukisan kuno yang menggambarkan proporsi tubuh anak sama dengan orang dewasa, tentunya bukan karena kurangnya keterampilan atau teknik menggambar dari para pelukisnya, mengingat mereka dapat menghasilkan karya-karya yang besar. Lebih berat dugaan, bahwa hal tersebut menggambarkan bahwa pelukis diabad pertengahan tidak menggambar apa yang mereka lihat pada anak, melainkan apa yang mereka pikirkan (what they belief) tentang anak, yaitu sebagai miniatur orang dewasa.

Anggapan tersebut mermbawa berbagai implikasi yang penting, antara lain misalnya dibidang pendidikan, ialah bahwa proses-proses yang mendasari cara berfikir dan perbuatan anak, dianggap sama seperti mendasari proses berpikir dan perbuatan orang dewasa. Dengan demikian bila anak berpikir atau berbuat menyimpang dari standar orang dewasa, anak tersebut dianggap sebagai bodoh atau tolol, dan harus diperlakukan sesuai dengan orang dewasa. Begitu pula apabila anak melanggar norma-norma sosial dan moral maka dianggap sebagai perbuatan yang jahat dan patut untuk dijatui hukuman seperti yang diberikan kepada orang dewasa.

Anggapan bahwa anak mempunyai kebutuhan-kebutuhan fisik, psikologis dan pendidikan yang khusus baru muncul pada abad ke-17 dan ke-18, saat mana anak tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang lucu dan menyenangkan, melainkan sebagai suatu makhluk yang memerlukan bantuan dan bimbingan. Jadi bilamana orang dewasa ingin memperbaiki tingkah laku anak, pertama kali harus mengerti mereka terlebih dahulu.

Pada permulaannya, harapan mengerti anak-anak digantungkan pada filosof, tetapi pada pertengahan abad ke-19 muncul suatu pendekatan baru dalam mencoba mengerti masa anak-anak. Dengan demikin spekulasi abstrak tentang sifat anak, diganti dengan usaha empiris untuk mencatat dan mempelajari tingkah laku serta perkembangan anak. Masa itu dianggap sebagai saat terbitnya psikologi perkembangan yang kentemporer. Mengenai hal ini kita akan kembali menguraikannya dalam halaman berikut.

Pada abad ke-17, seorang filosof Inggris, John Locke (1632 - 1704), mengemukakan bahwa pengalaman (nurture) merupakan faktor yan paling menentukan dalam perkembangan seorang anak. Ia beranggapan bahwa peranan alam (nature) atau sifat bawaan terhadap perkembangan anak berakhir sejak saat kelahiran. Ia menolak atau tidak mengakui adanya kemampuan bawaan (innate knowedge). Locke mengemukakan istilah “tabula rasa” atau kertas yang masih kosong mengibaratkan jiwa seorang bayi yang baru lahir.

Anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Bagaimana isi kejiwaan anak tergantung pada bagaimana bentuk dan corak kertas itu ditulis atau apa yang dituliskan adalah pengalaman-pengalaman anak selama is dibesarkan. Pengalaman yang akhirnya menjadi suatu pengatahuan, menurut pendapatnya hanya diperoleh melalui pengindraan; dari pengalaman sensorik, terbentuklah “simple idea” dan asosiasi simple idea dengan simple idea yang lain membentuk suatu "complex ideas”. John Locke juga beranggapan bahwa anak-anak hanya berbeda dari orang dewasa secara kuantitatif, seperti halnya pada Plato , meskipun ia menolak tentang innate dan perkembangan yang ditentukan secara genetik. Bahwa ada paralelisme antara proses yang mendasari tingkah laku anak dan orang dewasa.

Hal ini tergambar dalam kutipan karyanya dibwah ini:…ood ang avil, reward and punishment are the only motives to rational creatures; these are the pur and the reins where by all mankind is set t work, and guided and therefore they are to be made use of to children too for I advice their parents and governors always to carry too this in mind, that children are to be treated as rational creatures….(Kessen 1965 : 61).

Salah seorang dari filosof-filosof yang pertama-tama mengusulkan teori bahwa anak-nak berbeda secara kualitatif dari orang dewasa adalah J.J.Rousseu (1712 - 1778), seorang filosof Prancis. Ia sama sekali menolak anggapan bahwa anak merupakan orang dewasa yang tidak lengkap dan memperoleh pengetahuan melalui cara berpikir orang dewasa. Sebaliknya ia beranggapan bahwa sejak lahir, anak adalah makhluk yang aktif, suka bereksplorasi, dan bukannya ia memperoleh pengetahuan dalam bentuk yang sudah tertentu. Pengetahuan itu dibentuk oleh dirinya sendiri, dengan caranya sendiri, melalui interaksinya dengan lingkungan. Rousseau beanggapan bahwa bila dibiarkan secara wajar, maka perkembangan akan berjalan melalui tahapan-tahapan yang teratur urutannya, dan pada setiap tahapan perkembangan, individu merupakan makhluk yang lengkap/utuh dan terintegrasi. Dalam bukunya “Emile”, Rousseau menyatakan bahwa tugas orang tua dan pendidik adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa, sehingga memungkinkan perkembangan yang telah diatur oleh alam itu berjalan secara spontan dan tidak dirintangi oleh campur tangan orang dewasa. Ia menolak pendapat umum bahwa masa anak merupakan masa persiapan untuk memasuki masa dewasa semata-mata yang memerlukan campur tangan orang dewasa untuk persiapan tersebut. Campur tangan orang tua dan pendidik yang berpandangan demikian hanya akan merusak jalannya perkembangan yang alamiah, yang akan timbul dengan sendirinya (dibiarkan).

Dalam hal ini Rousseau menggambarkan anak sebagai suatu “noble savage”, yang telah dibekali dengan pengertian norma tentang yang benar dan yang salah oleh alam, sehingga ia akan dapat berkembang dengan baik. Frustrasi yang kemudian dijumpainya dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan akibat dari adanya pembatasan-pembatasan yang diperoleh dalam proses sosialisasi.

Disini terlihat bahwa konsep perkembangan dari Rousseau sangat berbeda dari John Locke, tetapi ia tidak menganggap anak sebagai suatu wadah yang kosong, kedalam mana dituangkan pengetahuan-pengetahuan oleh orang dewasa. Anak mempunyai peranan lebih aktif dan kreatif dalam perkembangannya.

Tulisan-tulisan Rousseau mempunyai pengaruh besar dalam falsafah pendidikan. Pendidik-pendidik seperti Pestalozzi, Montessori, dan Dewey banyak berhutang budi kepadanya. Juga metode-metode kontemporer dalam pendidikan terutama pada pendidikan awal yang lebih menekankan hal pertemuan diri (self discovery), dan bukannya metode didaktif mengajar yang kuno, bersumber pada buah pikiran Rousseau. Dalam psikologi perkembangan dewasa ini (kontemporer) juga dapat dilihat pengaruh Rousseau dalam tulisan-tulisan Jean Peaget, psikolog Swiss yang terkenal. Karya dan teori Peaget mengenai perkembangan akan kita bahas lebih lanjut dalam bab yang akan datang.

BAB II.

AHLI-AHLI YANG MEMELOPORI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DAN RUANG LINGKUP PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

A. Dasar-Dasar Pembentukan Psikologi Ilmiah

Gambaran tentang masa anak-anak dan ciri perkembangan psikologis yang diungkapkan oleh Plato, Locke dan Rousseau, pada dasarnya bersifat spekulatif. Mereka tidak mengajukan bukti-bukti atas dasar obsrvasi pada anak-anak sebagai penunjang teoriya dan memang tidak terpikirkan untuk melakukan hal tersebut.

1. Pengaruh Darwin

Observasi langsung terhadap perkembangan anak yang sungguh-sungguh baru dimulai pada abad ke-19, yang dirangsang oleh publikasi karya Dawin yaitu “The Origin of the Species” tahun 1859 dan “Descent of Man” tahun 1871. Dalam karangannya Darwin mengemukakan adanya suatu evolusi dari spesies dan juga evolusi dari tingkah laku, yang kemudian dikenal dengan sebutan teori evolusi dari Darwin, juga dikemukakan bahwa anak dipandang sebagai suatu sumber yang kaya akan informasi tentang sifat dan ciri-ciri manusia.

Sebagai akibatnya, selama bagian kedua abad ke-19, sejumlah ahli menerbitkan biografi bayi yang didasari oleh observasi terhadap perkembangan anak-anaknya sendiri. Tahun 1877 Taine melaporkan tentang perkembangan bahasa seorang anak. Darwin sendiri mempublikasikan buku harian mengenai perkembangan anaknya. Masih banyak lagi ahli-ahli lain yang berbuat demikian, antara lain Wilhelm Preyer (1888), ahli faal dari Jerman dengan bukunya “The Mind of the Child” yang mendeskripsikan perkembangan anak selama 3 tahun pertama hidupnya.

Walaupun biografi-biografi bayi ini memberikan sumbangan yang penting pada studi mengenai perkembangan manusia, namun mempunyai beberapa kelemahan, ialah:

o Anak-anak yang dijadikan objek observasi adalah anak-anak dari orang-orang terkemuka, sehingga tingkah laku yang diperhatikan tidak dianggap mewakili anak-anak lain pada umumnya.

o Hasil observasi sering kali tidak obejktif, karena pada sejumlah penulis ada kecenderungan subjektif dalam melihat dan mengambil ksimpulan dari apa yang dilihat.

o Observasi yang dilakukan sering bersifat selektif, tidak teratur dan tidak sistematis. Misalnya: yang dicatat hanya yang kebetulan memberi kesan (impresi) pada observasi, pada saat-saat yang tertentu saja.

o Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan pembuat biografi tersebut adalah orang tua yang bangga akan anaknya, sehingga tidak luput dari adanya kesepihakan-kesepihakan (biasa).

Meskipun buku harian biografi tersebut kurang dianggap valid sebagai sumber data perkembangan manusia, tidak berarti metode buku harian tidak berguna. Banyak psikolog dewasa ini yang menganggap bahwa masih merupakan sumber informasi yang penting tentang data-data perkembangan, terutama dalam aspek tingkah laku motorik,, sebagai data normatif maupun individual.

2. Pengaruh Wundt

Kejadian penting lain yang terjadi pada abad ke-19 adalah tumbuhnya psikologi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Ditandai dengan didirikannya laboratorium psikologi pertama di Leipzig than 1879 oleh Wilhelm Mundt (1832 – 1920). Wundt mencoba menganalisa mind (pikiran) menjadi unsur-unsurnya, seperti persepsi, ingatan, misalnya dan usaha menemukan cara bagaimana unsur-unsur tersebut saling berhubungan. Untuk itu dia menjelaskannya dengan hukum asosiasi. Metode yang digunakan adalah metode introspeksi, yang dilakukan secara terkontrol dilaboratorium.

Pengaruh Darwin dan Wundt nampak pada G.Stanley Hall (1844 – 1924). Ia adalah orang Amerika yang mnjadi murid Wundt di Lipzig. Dari Darwin dia mengambil pandangan tentang adanya rekapitulasi dalam perkembangan manusia dan ia menyatakan bahwa perkembangan individu mencerminkan perkembangan species, artinya merupakan pengulangan (rekapitulasi) dari perkembangan sepecies melalui beberapa tingkatan evolusi. Ia memperluas konsep rekapitulasi, yaitu meliputi baik perkembangan kebudayan maupun biologis pada manusia.

Contoh: Aktivitas bermain dari anak-anak merupakan ulangan dari evolusi kultural dari manusia dan bahwa perubahan ciri bermain anak karena pertambahan usia, mencerminkan pula perkembangan kebudayaan manusia. Oleh sebab itu Stanley Hall menjadi terkenal dengan teori rekapitulasinya.

Karena pengalamannya di Leipzig, maka Hall mencoba pula mengetahui struktur pikiran dari anak-anak (pengaruh Wundt). Bersama murinya, Clark, ia melakukan sejumlah penelitian tentang permainan anak dan “isi pikiran anak” di Universitas Masschusetts. Juga mengumpulkan data-data perkembangan dari anak-anak, remaja, orang tua, guru yang cukup besar samplenya, melalui metode kuesioner. Karyanya menonjol dalam hal observasi sistematik terhadap proses perkembangan.

Metode yang digunakannya telah menggantikan pendekatan-pendekatan sebelumnya, yaitu pendekatan filsafat dan biografi. Dengan demikian ia dianggap sebagai pendiri psikologi perkembangan di Amerika Serikat.

B. Awal Psikologi Perkembangan Modern

Studi sistematis tentang perkembangan anak baru mulai berkembang pada bagian abad pertama abad ke-20. Usaha-usaha awal kebanyakan berupa penelitian yang deskriptif sifatnya. Data-data normatif dikumpulkan untuk menentukan urutan-urutan (sequence) dalam perkembangan fisik dan motorik.

Contoh: diuraikan kapan anak itu tengkurap, duduk tanpa bantuan, berdiri, berjalan, dan sebagainya. Kapan anak bisa meraih benda, memegangnya atau menggenggam benda kecil hanya dengan telunjuk dan ibujarinya, dan seterusnya.

Sehubungan dengan itu banyak diterbitkan skema-skema perkembangan tingkah laku yang mendeskripsikan perkembangan tertentu yang dicapai anak-anak pada usia dan tahap yang berbeda-beda (Gesell dan Amatruda, 1941).

Kecenderungan untuk mendeskripsikan gejala-gejala perkembangan manusia secara hati-hati dan mendetail tersebut diatas, merupakan suatu fase tahapan penting dalam perkembangan suatu disiplin ilmu. Namun tujuan ilmu pengetahuan tidak sekedar mendeskripsikan suatu gejala, tetapi juga memberikan penjelasan tentang gejala tersebut. Untuk penjelasan tersebut diperlukan seperangkat prinsip-prinsip teoritis yansg dijadikan dasar bagi observasi yang telah dilakukan . Penjelasan (reasoning) teoritis itu kurang menjadi perhatian dalam psikologi perkembangan selama dekade pertama abad ini.

Situasinya berubah setelah J.B.Watson sekitar tahun 1930-an memperkenalkan teori behaviorisme dalam psikologi anak. Ia mencoba menggunakan prinsip-prinsip clasical conditioning untuk menjelaskan perkembangan suatu tingkah laku. Dikatakannya bahwa prinsip-prinsip conditioning dan prinsip-prinsip belajar dapat diterapkan pada semua perkembangan psikologis. Karya Watson ini merangsang timbulnya teori-teori perkembangan yang bertentangan. Dalam kurung waktu yang sama mulai terlihat pula pengaruh Sigmund Freud dalam psikologi prkembangan. Dalam kunjungannya ke Amerika (1909), atas undangan G. Stanley Hall, Freud dalam ceramahnya memberikan penjelasan yang panjang lebar tentang teori psianalisisnya, dimana ditekankan bahwa pengalaman basa bayi dan anak-anak mmpunyai pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan kepribadian dan tingkah laku orang dewasa. Mula-mula teorinya banyak ditentang oleh para psikologi perkembangan, dan baru sekitar tahun 1930-an dilakukan usaha yang sungguh-sungguh dalam bentuk penelitian tentang aspek perkembangan dari teorinya.

Meskipun ada pengaruh dari Watson, Freud dan tokoh-tokoh lain namun penelitian-penelitian dibidang psikologi masih tetap bersifat deskriptif sampai tahun 1930-an. Barangkali oleh sebab itu minat terhadap psikologi perkembangan menjadi berkurang, demikian pula publikasi-publikasi yng berkaitan dengan topik-topik perkembangan berkurang menjadi setengahnya disekitar tahun 1938 – 1949. tetapi penurunan itu ternyata hanya temporer (sementara), sebab sekitar tahun 1950-an psikologi perkembangan memasuki periode baru dalam tahap perkembangan dan pertumbuhannya, dan terus berlangsung hingga sekarang.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pengaktifan kembali bidang studi ini, ialah:

1. Terjadinya perubahan orientasi dalam riset-riset psikologi perkembangan, yang menjadi eksperimental sifatnya (Wohlwill, 1973). Teknik pengukuran dan teknik pengontrolan dalam eksperimen yang telah terbukti sangat berhasil digunakan dalam bidang psikologi eksperimen umum mulai digunakan dalam psikologi perkembangan. Juga terjadi peralihan dalam fokus penyelidikan, yaitu dari studi mengenai perkembangan tingkah laku secara umum menjadi penelitian eksperimental terhadap masalah-maslah khusus, misalnya: perkembangan proses-proses persepsi, problem solving, attention, dan sebagainya. Perubahan ini lebih mendekatkan psikologi perkembangan kepada bidang psikologi pada umumnya, tidak lagi berpusat pada studi anak yang kadang-kadang mempunyai cara pendekatan tersendiri, yang berbeda dengan alur berpikir psikologi pada umumnya.

2. Faktor kedua adalah penemuan kembali hasil-hasil karya Jean Peaget. Peaget secara terus menerus aktif melakukan penyelidikan-penyelidikan mengenai perkembangan kognisi pada anak-anak, dari bayi sampai remaja dan atas dasar itu menyusun suatu teori yang komprehensif mengenai perkembangan kognisi. Peaget menolak pandangan ekstrim kaum behavioris yang menganggap perkembangan individu seluruhnya ditentukan oleh pengaruh lingkungan. Juga menolak pandangan ekstrim lainnya yang beranggapan bahwa perkembangan ditentukan oleh struktur genetik yang bersifat bawaan (innate). Menurut Peaget, perkembangan terjadi sebagai hasil interaksi yang tetap (konstan) antara individu disatu pihak dan tuntutan lingkungan di lain pihak. Dikatakannya bahwa individu selalu mengadakan adaptasi untuk mempertahankan keseimbangan antara dirinya dengan lingkungan. Karya Peaget pada permulaannya ditrbitkan dalam bahasa Prancis yang sulit dan rumit sehingga meskipun ia sudah menulis sejak tahun 1920-an namun baru pada pertengahan tahun 1950-an buku-bukunya diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan sejak itu pengaruhnya mendominasi psikologi perkembangan. Meskipun demikian tetap ada ketidak sesuaian pendapa/paham mengenai intepretasi yang dilakukan terhadap penemuan-penemuan dan teori Peaget kelihatannya akan tetap menjadi fokus riset dan diskusi diwaktu mendatang (Bryant, 1974).

3. Faktor ketiga yang mendorong kebangkitan kembali psikologi perkembangan adalah adanya minat baru terhadap asal usul tingkah lak (origin of behavior), yang ditandai dengan meningkatnya studi riset yang menyangkut bayi-bayi. Hal ini dimungkinkan, sebagian, oleh tersedianya alat-alat yang makin peka dan canggih dan teknik pencatatan (recording) yang makin baik. Misalnya: adanya perangkat-perangkat elektronik dan fotografik yang digunakan dalam studi mengenai perkembangan persepsi bayi. Umumnya studi yang dilakukan ialah untuk menentukan secara lebih tepat respons-respons atau keterampilan-keterampilan apa saja yang ada pada bayi sejak lahir dan apakah respons-respons ini bisa diubah melalui conditioning dan reinforcement. Pertanyaan-pertanyaan macam ini, yang hingga kini, yang hingga terus dicarikan jawabannya melalui usaha-usaha penelitian dewasa, dimana tujuannya ialah mencari variabel-varibel apa yang mempengaruhi perkembangan individu.

Disamping peningkatan penelitian-penelitian yang orientasinya eksperimental dewasa ini, ada kecenderungan pula untuk kembali menggunakan teknik observasi, terutama studi tentang perkembangan sosial pada bayi – bayi berbeda dengan dahulu, teknik observasi yang digunakan – sekarang lebih modern dan bukan lagi observasi deskriptif. Terlihat dari uraian diatas bagaimana perkembangan studi tentang perkembangan manusia, dimulai dari jaman Plato yang masih spekulatif tujuannya, sampai menjadi psiklogi perkembangan modern dewasa ini. Perkembangan tersebut telah membuat terjadinya area-area penelitian yang bersifat khusus, seperti antara lain prkembangan persepsi, perkembangan kognisi, bahasa, afeksi, masing-masing dengan cara penelitiannya sendiri-sendiri.

C. Ruang Lingkup Psikologi Perkembangan

Sebelum kita membahas teori-teori yang dipakai dalam psikologi perkembangan, ada baiknya kita menyimak kembali defenisi psikologi perkembangan dan ruang lingkup psikologi perkembangan.

Psikologi perkembangan adalah sub-disiplin dari ilmu psikologi. Ilmu psikologi sendiri didefenisikan sebagai studi sistematik tentang proses bertingkah laku (behavioral processes).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa psikologi pekembangan adalah studi sistematik tentang perkembangan proses bertingksah laku (Mc Gurk,1975). Tetapi defenisi ini masih bersifat sangat umum.

Seperti kita ketahui, perkembangan tingkah laku dapat ditinjau dari dua sudut/cara, yaitu:

1. Secara filogenetik --- mempelajari perkembangan perilaku dari satu species ke species yang lain dalam arti species yang masih primitif menuju ke species yang lebih berkembang.

2. Secara ontogenetik --- Mempelajari perkembangan perilaku dari seorang individu sepanjang hidupnya (life span), yang berarti dari sejak konsepsi sampai saat kematian.

Tinjauan secara ontogenetik ini merupakan ruang lingkup (domain) dari psikologi perkembangan dewasa ini.

Memang orang dapat mengajukan argumentasi bahwa untuk setiap species dapat dilakukan suatu studi tentang perkembangan perilakunya, sehingga dengan demikian akan terdapat psikologi perkembangan yang berbeda-beda untuk setiap species yang kita kenal. Namun psikologi perkembangan dewasa ini pada umumnya hanya mengenai studi tentang perkembangan perilaku ontogenesis pada manusia. Dikatakan pada umumnya, karena ada juga beberapa psikolog yang melakukan studi tentang proses perkembangan pada speies lain yang merupakan suatu studi perbandingan perkembangan (comparative) pada species-species yang berbeda, dengan tujuan untuk mendapatkan “insight” mengenai proses perkembangan pada manusia (mislnya H. Werner).

Jadi defenisi psikologi perkembangan yang tepat dan spesifik adalah “studi sistematik tentang perkembangan perilaku manusia secara ontogenetik”, yaitu untuk mengerti proses-proses yang mendasari perubahan-perubahan yang terjadi, baik perubahan dalam tingkah laku maupun dalam kemampuan, yang berkaitan dengan bertambahnya usia.

Dengan demikian tugas seorang psikolog perkembangan adalah:

1. Mengidentifikasi dan mendesripsikan gejala-gejala perkembangan, yaitu perubahan tingkah laku dan kemampuan yang berkaitan dengan bertambahnya usia.

2. Memberikan suatu penjelasan tentang gejala-gejala yang diidentifikasi tersebut.

Perlu diingat bahwa usia bukanlah suatu penyebab dari perubahan tingkah laku, melainkan suatu indeks, dimana suatu proses psikologi tertentu dapat terjadi. Proses-proses psikologi ini meliputi proses kematangan, proses fisiologis dan pengalaman memang berubah seiring dengan pertambahan usia, namun hanya semata-mata karena memerlukan waktu untuk munculnya. Dengan perkataan lain, penjelasan disini bukan berkenaan dengan masalah usianya, melainkan berkenaan dengan variabel-variabel yang membatasi sifat perubahan tingkah laku yang nampak terjadi dengan bertambahnya usia.

D. Peranan Suatu Teori

Untuk menjelaskan suatu gejala perkembangan diperlukan uatu teori. Bagaimanakah suatu teori itu terbentuk?

Pembentukan suatu teori meliputi 4 proses, yaitu:

o Melakukan observasi

o Membentuk hipotesis

o Menguji hipotesis

o Mengadakan penelitian

Apabila kita mengobservasi suatu gejala, maka kita akan mendeskripsikan gejala tersebut, didasari oleh pengetahuan kita yang telah ada mengenai gejala tersebut, Maka tersusunlah usatu hipotesis tentang mengapa gejala-gejala tersebut terjadi.

Tahap berikutnya adalah menguji validitas/kebenaran hipotesis, dengan cara melakukan suatu eksperimen. Apabila hasil eksperimen tersebut mendukung hipotsis itu, maka hipotesis tersebut dapat diterima, artinya diangap benar (mungkin untuk sementara waktu). Sebaliknya bila hasil tidak mendukung, maka hipotesis itu ditolak, kemudian akan dicoba membuat hipotesis lain yang lebih terperinci atau lebih luas. Selanjutnya hipotesis baru itu diuji lagi. Proses ini disebut proses evaluasi. Suatu teori terbentuk apabila sejumlah hipotesis yang saling berkaitan, yang berasal dari suatu pronsip umum yang sama, secara tetap diuji validitasnya melalui empiri (dalam eksperimen-eksperimen).

Contoh: masalah belajar

Anak usia 3 – 4 tahun diberi tugas mencari objek dalam salah satu dari 3 kotak tertutup yang ukurannya berurutan; dalam hal ini objek selalu ada dalam kotak besar. Setelah mengadakan beberapa beberapa percobaan si anak belajar mengerti dimana benda itu berada.

Eksperimen berikutnya: setelah anak menguasai tugas tersebut, kepada mereka diberikan lagi tugas semacam, namun sekarang ukuran kotak yang terkecil adalah sama dengan ukuran kotak terbesar dalam eksperimen terdahulu. Ternyata mereka mengalami kesukaran untuk memindahkan proses belajarnya yang terdahulu kedalam situasi yang baru. Mereka cenderung memilih kotak yang terkecil (yaitu kotak terbesar dari eksperimen terdahulu),. Kelihatannya pada eksperimen pertama/situasi pertama mereka bereaksi terhadap ukuran absolut kotak bukannya terhadap hubungan volume antara ketiga kotak. Oleh karena itu, pada eksperimen kedua ini mereka tetap bereaksi atas dasar ukuran absolut, suatu respon yang mendapatkan reward terdahulu. Tetapi anak yang lebih tua dapat bereaksi dengan benar pada eksperimen kedua ini, yaitu berespon pada ukuran relatif, yang berarti memilih kotak terbesar, setelah mereka juga melakukan tugas yang benar pada eksperimen pertama (Keunne, 1946). Mengapa anak yang lebih tua dapat berhasil?

Hipotesis:

Anak lebih besar lebih cenderung menggunakan bahasa untuk menjembatani (mediate) tingkah lakunya (verbal meditation). Kelihatannya mereka selalu mengingatkan diri pada kalimat “kotak yang terbesar”, pada kedua eksperimen tesebut. Anak 3 – 4 tahun kelihatannya bertingkah laku mengacu pada ukuran absolut dari bendanya, diasosiasikan dengan reward masa lalu, dan tidak menggunakan bahasa. Seperti seharusnya, hipotesis tentang verbal meditation ini perlu dites kebenrannya/validitasnya.

Caranya ialah: apabila anak prasekolah yang kemampuan bahasanya telah mencukupi atau yang telah menguasai bahasa dapat diajar untuk menggunakan kata-kata sebagai media/jembatan tingkah lakunya seperti halnya anak yang lebih tua dapat melakukannya secara spontan, maka mereka akan berspons atas dasar hubungan (relational) dan tidak atas dasar keadaan absolut. Setelah bermcam-macam eksperimen yang berhubungan dengan hal tersebut dilakukan dan pada keseluruhannya cenderung mendukung hipotesis tersebut, maka teori mediation dalam belajar pada anak-anak dapat diterima.

Dengan demikian fungsi suatu teori adalah:

1. Mengatur dan mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan yang ada dalam suatu bidang tetentu dan meberikan penjelasan/keterangan tentang fakta-fakta yang diobservasi dalam bidang tertentu.

2. Teori berfungsi mencerminkan suatu realitas. Suatu teori tidak mendeskripsikan realitas, melainkan merupakan suatu representasi/penyajian yang membantu kita mengerti tentang realitas.

3. Teori tidak pernah benar atau salah. Teori lebih dianggap sebagai cara yang bermamfaat dalam menyajian suatu realitas.

4. Teori yang baik dapat menjadi panduan untuk penelitian lebih lanjut dan sebagai konsekuensinya akan memunculkan informasi-inormasi baru.

Kelihatannya proses pembentukan teori sederhna seperti diuraikan diatas. Dalam kenyataannya ada suatu interaksi yang ajeg (konstan) antara teori, observasi dan eksperimen. Teori yang dianut seseorang akan mempengaruhi observasi yang dilakukan, dan metode yang digunakan untuk menguji hipotesis (yang digunakan dari observasi atau diturunkan dari teori). Selanjutnya setiap asumsi/dugaan mengenai sifat dari fenomen yang ada harus dijelaskan, akan mempengaruhi macam teori yang akan dipilih.

Oleh karena itu dalam mempelajari perkembangan mnusia penting sekali untuk selalu menyadari adanya bermacam-macam alternatif asumsi tentang sifat perkembangan itu sendiri, karena perbedaan yang ada antara alternatif-alterntif konsep perkembangan, mempunyai implikasi terhadap macam teori yang sesuai untuk menjelaskan proses-proses perkembangan.

BAB III.

PRINSIP-PRINSIP PERKEMBANGAN

Istilah “perkembangan” (developmnt) sering bercampur baur dengan “pertumbuhan” (growth). Walaupun kedua istilah tersebut nampaknya mempunyai gejala yang sama yaitu “perubahan” tetapi kenyataannya berbeda.

Pertumbuhan (growth) digambarkan sebagai perubahan yang menyangkut segi kuantitatif. Misalnya sebagai contoh adalah peningkatan dalam ukuran struktur fisik, disini terjadi perubahan menjadi besar, sehingga ukuran berubah: tidak hanya menyangkut segi fisik yang nampak sja tetapi juga organ-organ didalam dirinya. Keadaan perubahan ini biasanya dapat diukur.

Sehubungan dengan pertumbuhan otak, maka kemungkinan anak untuk mengalami peningkatan kemampuan belajar, mengingat dan menalar bertambah pula. Jadi dapat dikatakan, bahwa perubahan aspek mental sejalan dengan perubahan fisik.

Perkembangan (development), digambarkan sebagai perubahan yang menyangkut segi kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan merupakan suatu rangkaian perubahan yang bersifat progresif, teratur dan berkesinambungan serta akumulatif.

Pengertian progresif berarti perubahan mempunyai arah maju dan bukan mundur.

Pengertian teratur dan berkesinambungan berarti dalam perkembangan terdapat hubungan antara setiap tingkat perkembangan dengan tingkat selanjutnya.

Setiap perubahan yang terjadi tergantung pada perubahn sebumnya dan sebliknya akan mempengaruhi perubahan yang akan datang.

1. Beberapa Prinsip Perkembangan

Perkembangan merupakan hasil interaksi antara maturasi dan belajar.

Pengertian maturasi ditujukan kepada kesiapan yang dimiliki anak dan diperoleh dari dalam dirinya. Biasanya maturasi ini yang membatasi perkembangan.

Sedangkan belajar ditujukan kepada aktivitas yang berasal dari latihan dan usaha. Belajar diperoleh dari luar diri , berhubungan dengan lingkungan dimana ia berada.

Beberapa bentuk belajar, adalah:

o Imitasi --- belajar dengan meniru tingkah laku orang lain secara sadar.

o Identifikasi --- Belajar dengan mengambil sikap, nilai tingkah laku dari orang yang dikasihi/disenangi secara mendalam.

o Latihan --- belajar melalui pengulangan-pengulangan, disini ada suatu aktivitas yang terseleksi, terarah dan bertujuan.

o Trial dan error --- belajar dengan mencoba-cobakan sebagai strategi.

Kurangnya kesempatan pada seseorang untuk belajar, menyebabkan seseorang tidak dapat mengaktualisasikan kesiapan yang dimilikinya, sehingga menampakkan suatu perkembangan yang terlambat.

Adanya intraksi antara maturasidan belajar menyebabkan adanya variasi dalam pola perkembangan.

2. Pola-Pola Perkembangan

Pola perkembangan dapat bersifat umum dan khusus.

Pola perkembangan umum: adanya dasar-dasar, pola-pola yang berlaku umum sesuai dengan jenisnya. Jadi disini ada suatu persamaan dalam pola perkembangan sesuai jenisnya.

Pola perkembangan khusus: berlaku karena adanya perbedaan individu.

Dalam pola-pola perkembangan ini terdapat beberapa karakteristik:

o Pola perkembangan mempunyai persamaan dan dapat diramalkan

Dalam hal ini setiap makhluk hidup akan mengikuti suatu pola tertentu dengan jenisnya.

Misalnya: Perkembangan fisik

Terdapat dua hukum yang berlaku dalam pertumbuhan fisik:

ü Hukum Cephalocaudal --- perkembangan yang dimulai dari kepala kearah kaki.

ü Hukum proximidistal --- perkembangan yang dimulai dari tengah mengarah kesamping.

o Perkembangan terjadi dari umum ke khusus

Pada setiap aspek perkembangan terjadi proses perkembangan, dimulai dari hal-hal yang umum secara perlahan meningkat ke hal-hal yang khusus.

Misalnya: Reaksi takut; bayi pertama kali akan bereaksi takut terhadap objek/orang asing dengan reaksi umum. Kemudian pada usia-usia selanjutnya reaksi takut ini akan lebih khas/spesifik yang akan ditandi dengan bentuk-bentuk tingkah laku tertentu antara lain: lari, menangis, bersembunyi dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian diatas, maka didalam perkembangan terjadi suatu differensiasi (differensiasi = pengkhususan dan penghalusan dari fungsi-fungsi psiklogis).

o Perkembangan berjalan secara kontinu dan diskontinu

Perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung secara terus menerus dari tahapan satu ketahapan perkembangan berikutnya dengan cara-cara yang sama disebut kontinuitas. Biasanya menyangkut perubahan yang kuantitatif.

Perubahan yang terjadi tampak/tampil sebagai perubahan seolah-olah terpotong pada tahap-tahap berikutnya disebut diskontinuitas. Biasanya menyangkut perubahan yang kualitatif. Contoh: pada aspek kognitif: pada anak-anak cara berpikir konkret tetapi pada orang dewasa berpikir abstak, misalnya matematika.

3. Ada Perbedaan Individual dalam Perkembangan

Penyebab perbedaan adalah karena interaksi antara faktor dalam diri individu (potensi) dan faktor luar diri individu (misalnya lingkungan rumah menyebabkan perbedaan dalam pola asuhan, suasana rumah dan lingkungan tempat tinggal mempengaruhi cara belajar/pengalaman anak). Membicarakan faktor lingkungan yang lebih luas maka lingkungan kebudayaan dapat mempengaruhi pola asuhan secara umum yang akhirnya mempengaruhi pembentukan tingkah laku individu secara umum dalam satu kebudayan tertentu.

4. Ada Periode-Periode dalam Pola Perkembangan

Menurut Hurlock perkembangan manusia terbagi atas:

o Periode pranatal (dari konsepsi sampai 9 bulan dalam kandungan / 0 – 9 bulan janin)

o Periode infancy (dari lahir sampai 2 minggu / lahir – 2 minggu)

o Periode bayi (dri 2 minggu sampai 2 tahun).

o Periode Anak (dari 2 tahun sampai 11/12 tahun).

o Periode remaja (dari 12 tahun sampai 21 tahun).

o Periode dewasa (21 tahun sampai 60 tahun).

o Periode tua (60 tahun sampai meninggal).

Setiap periode mempunyai ciri-ciri tersendiri yang memberi keunikan pada periode tersebut.

Dalam periode perkembangan tersebut beberapa periode ditandai oleh adanya suatu “equilibrium” dan periode lain ditandai oleh adanya suatu “disequilibrium”. Pada kenyataan equilibrium, nampak individu dapat menysuaikan diri dengan lingkungan. Pada keadaan disequilibrium, nampak individu sulit menyesuaikan dengan lingkungan.

16 tahun

12 – 15 tahun

7 tahun

5½ - 6 tahun

4 tahun

4½ tahun

3 tahun

2½ tahun

2 tahun

18 bulan

Equilibrium Disequilibrium

5. Ada Tugas-Tugas Perkembangan pada Setiap Periode Perkembangan

Tugas perkembangan: Tugas-tugas yang harus dipenuhi oleh individu dalam suatu periode perkembangan tertentu. Biasanya tugas-tugas tersebut merupakan kecakapan dan pola-pola tingkah laku tertentu yang merupakan harapan dari suatu masyarakat dalam suatu kebudayaan tertentu. Berdasarkan uaraian diatas maka tugas-tugas perkembangan jelas sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kebudayan (yang kadang-kadang berubah).

Kegagalan dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan akan mengakibatkan timbulnya perasaan tidak bahagia dan mempersulit pelaksanaan tugas-tugas perkembangan periode selanjutnya.

Tujuan memahami/mengenal tugas perkembangan:

o Sebagai petunjuk bagi orang tua dan pendidik lainnya dalam membimbing anak didiknya.

o Bagi diri individu sendiri, sebagai penuntun/petunjuk untuk mengetahui apa yang harus dilakukan pada periode-periode tertentu.

Usia dimana individu diharapkan dapat menyesuaikan tugas-tugas tadi disebut “critical age” (masa kritis).

6. Setiap Area/Aspek Perkembangan Memiliki Potensi “Berbahaya” yang bersifat:

Misal:

o Pranatal

ü Fisk perkembangan yang tidak seimbang, keguguran.

ü Psikologik: Maternal stress.

o Aspek motorik

ü Kaku

ü Perkembangan yang terlambat karena kerusakan otak.

BAB IV.

PENELITIAN DALAM PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

Pada permulaan sekali, cabang psikologi yang mempelajari karakteristik tingkah laku anak (misalnya ciri-ciri aspek emosi, bicara, motorik, dan lain sebagainya) dikenal sebagai “psikologi anak”. Mempelajari karakteristik tingkah laku pada usia berbeda, tidaklah membuat para psikolog anak merasa puas, dengan mana mereka tidak dapat memahami bagaimana proses tingkah laku tersebut terjadi dan penyebab perubahan tingkah laku itu. Keadaan ini menyebabkan adanya perubahan objek studi, dari “psikologi anak” berubah menjadi “perkembangan anak” dengan titik utama mempelajari pola perkembagan anak.

“Perkembangan anak” pun mengalami suatu perluasan , dimana para ahli melihat adanya suatu kaitan antara periode dibawah periode anak dan periode diatas periode anak. Hal ini menyebabkan adanya pergeseran objek studi yang makin luas, sehingga “perkembangan anak” berkembangan menjadi “psikologi perkembangan”

Sebagai konsekuensi pergeseran objek studi ini, maka terjadi pula perluasan dalam minat, orientasi dalam teori, metode, strategi dan konsep mengenai “strategi penelitian” dan “metode peneitian” yang digunakan dalam psikologi perkembangan.

A. Strategi Penelitian

Terdapat 2 strategi penelitian yang digunakan dalam psikologi perkembangan:

1. Cross-sectional

Strategi penelitian dengan menggunakan beberapa kelompok usia berbeda dalam satu saat tertentu.

Contoh:

30 anak usia 3 tahun - anak berbeda

30 anak usia 4 tahun - dilakukan satu kali observasi/pencatatan

30 anak usia 5 tahun

Keuntungan strategi cross sectional

o Sample banyak

o Biaya lebih murah

o Waktu singkat (dilakukan satu kali saja)

o Menggambarkan katakteristik pada usia yang berbeda

Kerugian strategi cross sectional

o Hanya menggambarkan tipe karakteristik, bukan proses

o Tidak dapat memperhitungkan perbedaan individu

o Tidak memperhitungkan adanya perubahan kebudayaan/lingkungan yang dapat terjadi setiap saat.

2. Longitudinal

Strategi penelitian dengan menggunakan kelompok anak yang sama pada jangka waktu tertentu.

N = 30 (anak yang sama)

3 tahun 4 tahun 5 tahun 12 tahun

Keuntungan strategi longitudinal

o Sampel sedikit

o Dapat menganalisa proses perkembangan anak

o Memberikan kesempatan untuk menganalisa efek lingkungan terhadap perubahan tingkah laku dan kepribadian.

o Dapat mempelajari peningkatan dalam pertumbuhan

Kerugian Strategi longitudinal

o Biaya mahal

o Sample susah dicari

o Waktu terlalu lama

o Memerlukan banyak peneliti yang kemungkinan memiliki pengalaman yang berbeda-beda.

o Data terlalu luas sehingga kadang-kadangsukar dipegang

o Setip strategi dapat menggunakan macam-macam metode (teknik) secara bervariasi

B. Metode Penelitian

Terdapat 4 metode dasar yang digunakan alam psikologi perkembangan, yaitu:

  1. Metode obsevasi
  2. Metode eksperimen
  3. Metode klinikal studi
  4. Metode tes psikologi

1. Metode Observasi

Adalah pengumpulan data melalui pengamatan yang dilakukan secara sistematis. Metode observasi terbagi atas:

a. Metode naturalistic observation

Metode naturalistic observation: pencatatan data mengenai segala tingkah laku yang terjadi sehari-hari secara alamiah/wajar. Dalam metode ini tidak digunakan suatu alat tertentu atau manipulasi daripada tingkah laku yang muncul.

Metode ini terbagi atas:

o Diary description

Metode ini yang paling tua digunakan oleh psikolog anak pada tahun 1920 – 1930. Pada diary description ini biasanya segala gejala tingkah laku dicatat dengan lengkap. Pencatatan ini merupakan biografi subjek, dapat dilakukan orang lain yang dekat dengan subjek atau subjeknya sendiri.

Contoh:

Darwin (1877)

Selama 7 hari setelah kelahiran, bayi kami telah memperlihatkan tingkah laku refleks yang beraneka ragam dengan baik, misalnya bersin, batuk, menggeliat, mengisap dan tentu saja berteriak. Pada hari ke 7, saya mencoba menyentuh telapak kakinya dengan ujung kertas, anak tersebut menarik kakinya serta mengerutkan ujung-ujung jari kakinya seperti anak-anak yang lebih tua darinya bila disentuh telapak kakinya.

8 januari 1985

Aku bersama sahabatku pergi menonton film dibioskop menteng, mengenai film Romeo dan Juliet. Film tersebut sangat indah --- dstnya.

o Specimen description

Metode ini dikembangkan oleh Barker & Wright (1955). Specimen description ini adalah pencatatan segala tingkah laku secara terperinci dalam satu jangka waktu tertentu dan mengenai satu periode/situasi tertentu, sehingga sering dikenal sebagai behavior episode (unit tingkah laku yangdigambarkan pada satu situasi tertentu).

Contoh:

Observasi: Interaksi antara ibu dan Reni pada waktu makan siang.

ü Text Box:       Reni minta susuText Box:       Interaksi antara ibu & ReniReni mengatakan kepada ibunya “ibu, saya mau susu”

ü Dia melihat kepada ibunya selama ia berbicara.

ü Ibunya berjalan kelemari es, membukanya dan mengambil botol susu.

ü Text Box:     Reni minta juiceReni berteriak “sekarang mau juice”.

ü “Tidak Reni, disini tidak ada juice” jawab ibunya.

ü “Ibu dapat membuatnya” teriak Reni.

ü Text Box:  Ayah datang“Tidak Reni, bagaimana kalau susu coklat” kata ibu.

ü “tidak” jawab Reni “mau juice”.

ü Ayah datang dan bertanya pada ibu “apa yang terjadi bu?”

ü Ibu menjawab “Reni mau susu sekarang ganti juice”.

ü Reni melihat kepada ayahnya dan menangis.

o Event sampling

Uraian/gambaran mengenai beberapa action dalam satu bentuk tingkah laku tertentu. Tingkah laku ini dicatat secara mendetail. Biasanya dengan cara ini dapat diketahui dengan jelas.

ü Sebab-sebab timbulnya tingkah laku.

ü Bagaimana bentuk action dari tingkah laku tersebut.

ü Akibatnya

ü Penyelesaiannya.

Contoh:

§ Menulis segela gejala tingkah laku yang trjadi:

Misalnya: Mengobservasi A di lapangan bermain. Dicatat tingkah laku A yang muncul selama bermain di lapangan bermain.

§ Membuat tally tiap action dalamsatu kelompok action yang menunjukkan tingkah laku tertentu.

Misalnya: Tingkah laku agresif

- Action memukul

- Action menendang

- … dan sebagainya

o Time sampling

Pencatatan data tentang segala tingkah laku yang muncul dalam satu jangka waktu/interval waktu tertentu. Dalam time sampling ini, pencatatan tingkah laku dapat menggunakan frekuensi atau lamanya tingkah laku berlangsung.

Dibawah ini beberapa contoh:

Contoh 1:

Mengamati gejala-gejala tingkah laku yang muncul dalam jangka waktu/interval waktu tertentu. Mengamati gejala tingkah laku selama 3 hari, tiap 30’ perhari, 1 hari; 10 session.

- waktu Gejala-gejala

30’ (I) - A membaca, menulis, tanpa bicara

- A membawa buku kemuk kelas dan menyimpannya dimeja guru

Contoh 2:

Interval waktu

- Mengamati tingkah laku memukul.

- Dalam tiap menit selama 1 jam

09.00 – 09.05 (I) tidak ada kejadian memukul

09.25 (II) A memukul guru bila diminta pekerjaannya, hal terjadi sebanyak 5 kali selama 5 menit

Contoh 3:

- Frekuensi berapa kali A mengasah pensilnya selama 1 jam pelajaran.

- Diamati selama 5 hari.

Tingkah laku mengasah pensil

Hari Frekuensi

I 5 kali

II 3 kali

III 6 kali

IV 2 kali

V 1 kali

Contoh 4:

Duration:

- Mengamati berapa lamia A mendengarkan musik dalam 1 hari.

- Diamati selama 3 hari.

Tingkah laku mendengarkan musik

Hari lama

I 30’

II 30’

III 20’

b. Metode controled observasion

Dalam menggunakan controlled obsevation ini biasanya dilakukan pengontrolan terhadap lingkungan dimana tingkah laku yang sedang diobservasi terjadi. Biasanya observasi dilakukan dalam ruang observasi dengan menggunakan one way mirro. yang penting perlu diingat bahwa metode ini dilakukan manipulasi tingkah laku tertentu.

2. Metode eksperimen

Metode yang menggunakan independent variabel (variabel bebas) dan dependent variabel (variabel terikat).

Di sini justru hendak melihat efek independent variabel terhadap suatu tingkah laku tertentu (dependent variabel) dalam satu kondisi terkontrol.

Metode eksperimen ini dapat dilakukan dalam laboratorium atau diluar laboratorium (yang dikenal sebagai kuasi eksperimen).

3. Metode klinikal study

Metode clinikal study ditujukan kepada interaksi antara subjek dan pemeriksa/eksperimenter dalam suatu relasi yang kontinu dan intensive.

Suatu interaksi ini dapat saja dilakukan dalam suasana wajar, eksperimen, pemeriksaan.

4. Metode test psikologi

Dalam penelitian ini digunakan tes-tes psikologi yang telah distandardisasikan.

Tes-tes ini dapat meliputi kepribadian, bakat, motivasi dan fungsi-fungsi psikologi lainnya.

C. Tujuan Penggunaan Metode Penelitian

Seluruh metode yang telah disebutkan diatas mempunyai satu atau beberapa tujuan yang diuraikan dibawah ini:

o Memperoleh data normatif.

o Mencapai data sistematis (data yang digunakan untuk menyokong teori).

o Mencapai idioghraphic data-data yang digunakan untuk melihat perbedaan individu yang tampil dalam satu kelompok.

BAB V.

BEBERAPA TEORI DALAM ILMU PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

A. Teori-Teori Perkembangan Manusia

Konsep perkembangan mengandung arti adanya perubahan-perubahan yang progresif yang terjadi sebagai hasil kematangan dan pengalaman. Apa yang berubah? Yang berubah adalah seluruh yang ada pada manusia dan perubahan ini merupakan suatu proses yang kompleks yang mengintegrasikan seluruh struktur tersebut. Artinya perubahan ini menyangkut struktur fisik dan neurologik, tingkah laku dan sifat-sifat (traits) yang berjalan secara teratur dan terus menerus. Dikatakan progresif, oleh karena pada 20 tahun pertama kehidupan, perubahan-perubahan itu biasanya menghasilkan cara-cara bereaksi yang lebih baik/maju, yaitu dalam bentuk tingkah laku yang lebih sehat, lebih terorganisasi, lebih kompleks, stabil dan efisien.

Sebagai contoh: Kemajuan dari merangkak keberjalan, dari mengoceh keberbicara, dari cara berpikir konkrit keberpikir abstrak. Dalam hal ini berjalan, berbicara dan berpikir secara abstrak merupakan cara berfungsi yang lebih adekuat.

Timbul pertanyaan, apakah perubahan yang terus menerus ini makin lama makin mendekati suatu goal/tujuan yang ideal? Pendapat umum mengatakan bahwa tingkah laku pada tingkatan yang lebih lanjut dianggap lebih matang dibanding dengan tingkatan sebelumnya, dan masa dewasa dianggap memiliki taraf kematangan yang paling tinggi. Oleh karena itu, kematangan fungsi-fungsi dan struktur-struktur pada masa dewasa dianggap sebagai tujuan ideal dari perkembangan. Pendapat umum tersebut mengundang timbulnya beberapa teori dalam psikologi perkembangan.

Tujuan psikologi perkembangan adalah:

1. Mengerti perubahan-perubahan yang terjadi sejalan dengan bertambahnya usia, yang nampaknya universal, maksudnya, perubahan-perubahan yang terjadi berlaku untuk semua anak, tanpa melihat latar belakang budaya dimana/tempat mereka tumbuh menjadi besar.

2. Menjelaskan perbedaan-perbedaan individual dalam tingkah laku.

3. Mempelajari pengaruh koteks atau situasi dimana tingkah laku-tingkah laku itu muncul.

Ketiga hal tersebut semuanya diperlukan untuk perkembangan manusia. Namun sering terjadi penekanan hanya pada salah satu faktor, hal mana tergantung pada orientasi teoritik peneliti dan macam pertanyaan yang ingin dijawab.

Perbedaan orientasi atau pandangan menampilkan perbedaan pula dalam asumsi/anggapan tentang sifa-sifat manusia dan akhirnya akan menghasilkan teori perkembangan yang berbeda pula. Perbedaan pandangan ini menggambarkan perbedaan-perbedaan secara jujur antar ilmuan mengenai bagaimana mengambil kesimpulan tentang informasi-informasi yang ada.

Terdapat 3 teori dasa yang membicarakan manusia, yaitu:

- Teori psikoanalisa dari Freud

- Teori kognitif dari Peaget

- Teori belajar

1. Teori Psikoanalisa dari Freud

Teori psikoanalisa berasal dari pengalaman Freud dalam menangani orang-orang dewasa yang mengalami frustasi dan gangguan. Pada dasarnya, konsep Freud tentang manusia bersifat naturalistik, dimana dikatakan sebagian besar tingkah laku manusia itu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang tidak disadari (kekuatan-kekuatan bawah sadar). Ia berpandangan bahwa tujuan perkembangan adalah terbentuknya kepribadian dewasa yang matang, bebas dari rasa cemas (anxiety) yang tidak sadar, mampu mencintai dan bekerja secara konstruktif dan mampu mengadakan hubungan yang sehat dengan manusia lain.

Menurut Freud, kepribadian manusi terdiri dari 3 struktur yaitu Id, Ego, dan Superego. Dalam perkembangan seorang individu, ketiga sruktur ini muncul menurut keurutan dan tahapan tertentu. Tahap yang terendah dari tahapan kepribadian ialah Id yang merupakan kumpulan energi biologis yang berkaitan dengan dorongan yang bersifat primitif dan instinktif. Seorang bayi yang baru lahir oleh karena dikuasai oleh Id. Dorongan dasar yang paling penting bagi manusia adalah libido atau dorongan seks yang sekaligus merupakan sumber dari tingkah laku, perasaan dan pikiran. Id bekerja berdaarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle) yang menuntut pemuasan dorongan dengan segera. Oleh karena itu seorang bayi yang tidak dapat mengadakan toleransi terhadap frustasi, sehingga bilamana ia mengalami frustasi (keinginan yang terhambat), maka akan terjadi suatu eksplosi energi, misalnya marah sambil menjerit-jerit, tanpa mempedulikan tuntutan lingkungan atau realitas.

Tetapi dengan perkmbangan seorang bayi, terutama ketika ia mulai dapat membedakan dirinya dan dunia luar, yaitu sekitar usia 2 – 3 tahun, mulailah struktur kepribadian yang kedua, yaitu Ego berkembang. Ego adalah aspek kepribadian yang mempunyai fungsi eksekutif dan bertindak sebagai penengah antara tuntutan Id dan tuntutan dari lingkungan/kenyataan realitas.Ego brgunsi sebagai pelepasan energi agar tejadi keseimbangan antar dorongan (Id) dan kenyataan. Dikatakan Ego bekerja atas dasar prinsip realitas (reality principle). Dengan prinsip ralitas ini anak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial budaya. Prinsip tersebut juga menyebabkan anak-anak yang lebih besar dan orang-orang dewasa menjadi mampu menunda suatu kebutuhan apabila realitas (lingungan) tidak atau belum mengizinkan/memungkinkan.

Struktur kepribadian yang ketiga adalah Superego, yang mulai berkembang sekitar usia 4 – 6 tahun. Superego atau kata hati itu merupakan suatu aspek legislatif dan yudikatif dari kepribadian.superego merupakan gudang dari larangan-larangan dan sanksi-sanksi yang diinternasilsasikan, bila larangan yang nyata, maupun yang tidak nyata/imajiner, yang ditujukan terhadap pemuasan langsung dorongan-dorongan instinktif, hal mana dilarang oleh budaya tempat individu itu dibesarkan. Superego terbentuk seacra tidak sadar melalui pengalaman masa kecil, terutama hasil pendidikan dari orangtua. Setelah dewasa, kepribadian seseorang tergantung dan saling mempengaruhi (interplay) yang dinamis antara Id, Ego, dan Superego.

Antara Id dan Superego selalu terjadi konflik, karena Id selalu menuntut pemuasan langsung suatu dorongan, sedangkan Superego menghambat dorongan tersebut. Ego berfungsi mengadakan kopromi antara Id dan Superego, yaitu dorongan-dorongan primitif dari Id dan larangan-larangan Superego, disamping juga antara keduanya antara keduanya dengan dunia luar. Penyesuai diri tergantung pada kekuatan Ego dan Superego, dan keduanya ini tergantung pula pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak selama fase perkembangan yang dialaminya.

Freud melukiskan perkembangan dari segi zone-zone tubuh yang memberikan kenikmatan libidial, dimana pada tahapan-tahapan perkembangan yang berbeda-beda, pusat kenikmatan terletak pada zone tubuh yang berbeda pula. Freud menggambarkan 5 fase dengan zone-nya masing-masing:

1. Fase Oral (0 - 1½ tahun)

Selama satu tahun pertama kehidupan, aktivitas bayi berpusat pada daerah sekitar mulut (mengisap, menggigit). Kenikmatan diperoleh dari mulut, bibir dan rongga mulut.

2. Fase anal (1½ - 3 tahun)

Selama tahun kedua sumber kenikmatan dan kegairahan bergeser/beralih dari daerah mulut ke daerah anal. Pada saat ini anak sangat menyenangi aktivitas dan stimulasi didaerah anal (buang air besr dan kecil) oleh karena itu toilet-training, seyogyanya dimulai pada fase ini.

3. Fase phallic (3 – 4 tahun)

Sekiar usia 2 – 4 tahun anak akan memasuki masa phallic. Sumber kenikmatan libidial beralih kedaerah genital. Pada fase inilah mulai muncul apa yang disebut oedipal conflict (kinflik oedifus), dimana anak jatuh cinta pada orang tua berlawanan jenis, dan ingin mengadakan hubungan intim dengannya. Namun kesadaran akan perasaan tersebut menimbulkan pula perasaan takut dan cemas akan hukuman dari orang tua sejenis. Pada anak laki-laki timbul castrasi anxiety atau takut dikastrasi oleh ayahnya, sedangkan anak perempuan yang merasa telah dikastrasi (karena tidak mempunyai penis) takut ibunya akan memotongnya lebih lanjut. Untuk anak laki-laki maupun anak perempuan konflik oedipus ini akan diselesaikan dengan cara mengidentifikasikan dirinya dengan orang tua sejenis, dengan mana si anak percaya bahwa dengan demikian ia telah menekan/merepress keinginan yang tidak wajar yang telah menimbulkan konflik itu.

4. Fase laten (4 atau 5 – 12 tahun)

Dari usia ±5 tahun sampai hampir memasuki periode remaja, (5 – 12 tahun) anak-anak berada dalam fase laten, dimana mereka relatif tenang, tidak ada masalah-masalah baru yang berkaitan dengan seksualitas. Masa ini ditandai dengan perkembangan ego yang pesat, terutama dari segi intelektual dan keterampilan-keterampilan sosial.

5. Fase genital

Fase genital merupakan fase akhir perkembangan psikoseksual. Pada periode ini dorongan seksual dibangkitkan kembali dan mulai berkembang ke arah sikap dan perasaan seksual yang dewasa.

Hasil akhir perjalanan yang berhasil/suskses melewati tahap-tahap perkembangan psikoseksual tersebut ialah terbentuknya individu dewasa yang matang kepribadiannya, dimana Ego yang kuat dapat menjamin kepuasan dorongan dasar dari Id yang sesuai dan realistis, dibawah pengawasan Superego yang moderat. Inilah adalah perkembangan yang ideal; tidak jarang perkembangan itu berakhir dengan kurang memuaskandan terbentuklah suatu kepribadian yang lain. Dari sini terlihat bahwa Freud memandang anak sebagai makhluk yang pasif, karena setiap perkembangan individu ditentukan oleh pengalaman-pengalaman selama melewati setiap fase psikoseksual.

Setiap fase/tahap perkembangan menurut Freud memberikan sejumlah kmungkinan-kemungkinan dan masalah-masalah yang akan mempengaruhi perkembangan berikutnya. Contoh: selama fase oral bayi tergantung pada orang lain dalam pemenuhan dan pemuasan dorongan-dorongan dasarnya. Apabila pengalaman-pengalaman pada masa ini memuaskan, maka hal ini akan merupakan dasar dari pembentukan hubungan-hubungan dimasa yang akan datang. Sebaliknya jika dorongan-dorongan dasar ini tidak terpuaskan, maka akan mendasari terbentuknya pesimisme kelak. Bila suatu kebutuhan tidak terpuaskan, maka akan timbul frustrasi pada fase-fase perkembangan akan menghambat proses kematangan dan besar kemungkinan akan terjadi suatu fiksasi. Suatu fiksasi dapat terjadi pada setiap fase perkembangan dan hal ini terjadi apabila dorongan dasar terhambat atau sebaliknya terlalu terpuaskan (dimanjakan dalam pemuasannya), Keduanya dapat menghambat perkembangan. Fiksasi pada setiap fase memberikan akibat yang berbeda-beda bagi perkembangan kepribadian anak. Fiksasi pada fase oral bisa menimbulkan pesimisme pada masa dewasa atau alkoholisme atau kesukaan makan yang berlebih-lebihan (glutony). Fiksasi pada fase anal mungkin sebagai akibat konflik antara orang tua dan anak dalam hal toilet training dapat menimbulkn sikap-sikap kepala batu, kejam, kikir, obsesif pada masa dewasa. Fiksasi pada masa phallic menyebabkan gangguan-gangguan neurotik pada masa dewasa.

Fiksasi: perkembngan seolah-olah terhenti pada suatu fase perkembangan. Disini terdapat kebiasaan-kebiasaan dan pola-pola penyesuaian diri yang bersifat kekanak-kanakan yang tetap dipergunakan pada masa dewasa.

Teori Freud dikatakan bersifat dinamis dan juga pasif. Dikatakan dinamis, karena ia menggambarkan perkembangan didasari adanya berbagai kekuatan yang berbeda, yaitu Id, Eg, Superego yang saling bergulat untuk menguasai/mengatur kepribadian. Dikatakan pasif, karena dalam pergulatan tersebut si anak sendiri hanya mengambil peran yang kecil. Sepanjang proses perkembangan si anak pasif dan menjadi korban situasi/keadaan. Nasibnya ditentukan atau tergantung pada perlakuan-perlakuan yang diterimanya dari orang lain.

2. Teori Kognitif dari Jean Peaget

J.Peaget menggambarkan perkembangan sebagai proses yang mempunyai arah. Dikatakanya bahwa tujuan ideal dari perkembangan individu ialah memperoleh struktur-struktur psikologik yang diperlukan agar individu dapat berpikir logis dan abstrak mengenai hal-hal atau situasi-situasi aktual maupun hipotetik (siatuasi yang dihadapi saat ini maupun yang akan dihadapi nanti). Teori Peget terutama didasarkan pada perubahan-perubahan ontogenetis dari kondisi-kondisi yang diperlukan untuk perkembangan fungsi kogniti, mulai saat kelahiran sampai permulaan masa adolesen.

Dalam teorinya Peaget menganggap peranan nature (bawaan) dan nurture (lingkungan) penting dalam perkembangan manusia, demikian pula interaksi antar keduanya sangat berperan. Oleh karena itu konsep-konsepnya tentang perkembangan sering pula disebut konsep interaksionis.

Seperti juga Freud, teori Peaget tentang perkembangan manusia berakar pada kerangka biologik. Setiap organisme memiliki struktur dan organisasi. Agar dapat mempertahankan diri, organisme harus mengadaptasikan struktur yang ada kepada tuntutan lingkungan. Adaptasi adalah suatu fungsi biologik. Bilamana anak berkembang, fungsi-fungsi akan tetap, tetapi struktur-struktur akan berubah secara sistematik. Perubahan dalam struktur itulah yang disebut perkembangan.

Peaget menerapkan prinsip-prinsip biologik dalam mempelajari perkembangan intelek. Selain struktur dan fungsi juga memakai istilah isi (content) yaitu stimuli dan reaksi yang teramati (observable).

Contoh: “Seorang bayi melihat kerincingan lalu meraih dan memegangnya”.disini alat atau means (melihat, meraih, memegang) dihubungkan dengan tujuan akhir atau the end (memegang benda ditangan) oleh struktur dari peristiwa tersebut. Peaget menyebut “hubungan” tersebut sebagai struktur. Fungsi dari aktivitas bayi itu disebut adaptasi, yaitu asimilasi/perpaduan masukan-masukan dan mengakomodasikan/menyesuaikan satu unsur terhadap unsur lainnya.Sedangkan isi ialah semua masukan dan keluaran (input dan out put), yaitu data-data dari peristiwa tersebut yang bukan termasuk struktur.

Dikenal adanya 2 fungsi dasar yaitu adaptasi dan organisasi. Adaptasi ialah menyesuaikan pikiran dengan dirinya sendiri. Jadi dengan mengadakan adaptasi, struktur-struktur yang ada dirubah dan terbentuk struktur-struktur baru.

Selanjutnya adaptasi mengandung 2 aspek yaitu:

o Asimilasi : Proses dimana individu mengatasi situasi-situasi dan persoalan-persoalan baru dengan menggunakan struktur-struktur yang ada pada dirinya (yang telah dipunyainya) tanpa merubahnya.

o Akomodasi: Proses yang terjadi pada individu dimana struktur-struktur yang ada/yang dipunyai mengalami perubahan agar dapat mengatasi tuntutan lingkungan. Melalui akomodasi terjadilah diferensiasi dalam struktur-struktur yang ada dan timbul struktur-struktur baru.

Asimilasi dan akomodasi saling berkaitan, kedua proses tersebut terjadi selama hidup dalam setiap tingkah laku dan dalam fungsi-fungsi intelektual. Akomodasi dan asimilasi disebut functional invariants karena kedua-duanya merupakan ciri semua sistem biologik. Tanpa menghiraukan perbedaan isi-isi dari sistem-sistem tersebut.

Teori Peaget menggambarkan manusia yang aktif, yang terus menerus mengadakan adaptasi dalam interaksinya dengan lingkungan. Interaksi yang aktif dengan lingkungan ini merupakan inti dari perkembangan.

Struktur intelek menurut Peaget terdiri dari skema (schemes) dan operasi (operation). Ini telah disebut terdahulu, perkembangan kognitif terdiri dari serentetan perubahan-perubahan tersebut adalah struktur.

Cara ini dapat digeneralisasikan kepada isi-isi yang lain (dapat digunakan dalam konteks yang lain). Contoh: dari contoh tadi, bayi yang “melihat kerincingan dan menangkapnya” dapat juga melakukan hal yang sama terhadap benda-benda kecil lainnya. Jadi skema “lihat dan tangkap” dapat diasimilasikan pada berbagai objek, yang dibantu pula oleh/dengan proses akomodasi. Ada kemungkinan terjadinya interaksi antar skema-skema, artinya skema-skema tersebut diasimilasikan satu dengan yang lain.

Suatu skema dapat berbentuk sederhana, dapat pula kompleks. Dalam bentuk yang paling sederhana ialah refleks (refleks mengisap, melihat, ‘grasping’) jadi lebih bersifat motorik. Dalam bentuknya yang lebih lanjut (advanced) menjadi skema kompleks dan lebih bersifat ‘mental’ yang setara dengan ‘strategi’, dugaan. Rencana dan lain-lain.

Operation merupakan tindakan dalam diri individu yang merubah objek dan menambah pengetahuan yang dimiliki. Operation merupakan struktur mental yang lebih tinggi, yang belum ada pada waktu bayi lahir, dan baru terbentuk pada masa anak (±7 – 12 tahun). Operation adalah cara untuk mengenal objek yang mmpunyai ciri ‘reversible’ (kebalikan). Contoh: aturan-aturan dalam berhitung mengandung berbagai operation, misalnya penjumlahan adalah kebalikan dari pengurangan; perkalian adalah kebalikan dari pembagian. Untuk mengerti soal-soal berhitung tersebut digunakan operational thinking. Pada anak-anak usia 4 – 5 tahun, operational thinking ini belum berkembang, sehingga mereka belum dapat berhitung. Pada mereka ini juga belum dikenal konsep ‘invariance’ (tidak berubah/tetap).

Beberapa aspek kognitif dari Peaget digambarkan sebagai berikut:

Fungsi Struktur

(Invarian/tak berubah (varian/berubah dalam

dalam segala tahap dan isi) segala tahap dan isi)

Organisasi Adaptasi

Asimiliasi Akomodasi Skema Skema Skema Skema

Gambar: hubungan-hubungan antar konsep

Cat: tanpa asimilasi tidak akan ada akomodasi. Akomodasi adalah perubahan suatu struktur diperlukan agar asimilasi dan beberapa pola stimulus baru/asing dapat terjadi. Jadi keduanya merupakan satu kesatuan.

Peaget membagi perkembangan dalam 4 tahapan:

1. Tahap sensorimotor (0 – 2 tahun)

2. Tahap praoperation (2 – 7 tahun)

3. Tahap conrete operation (7 – 11 tahun)

4. Tahap formal operation (11 – 16 tahun)

Tahap perkembangan tersebut menggambarkan bagaimana cara-cara anak memperoleh pengetahuan (knowledge).

1. Tahap Sesnsorimotor (0 – 2 tahun)

Dalam periode ini satu-satunya cara anak memperoleh pengetahuan ialah melalui aktivitasnya. Ia hanya dapat mengetahui dunia melalui aktivitas yang dilakukan terhadapnya. Aktivitas kognitif selama periode ini didasarkan pada pengalaman langsung melalui inderanya; aktivitas ini merupakan intraksi antar indera-indera dan lingkungan. Mereka melihat, mendengar, mencium, meraba dan mengecap suatu objek dan mengetahui tentang objek tersebut. Tetapi disini belum ada kaitannya dengan konsep bahasa, karena pada anak belum ada konsep tentang objek permanent (benda tetap ada meskipun tidak terlihat atau terpegang). Bagi anak saat ini, bila ia tidak melihat atau memegang benda itu berarti benda itu tidak ada. Tetapi setelah usia 8 bulan mulailah anak secara bertahap memperoleh konsep tentang objek secara penuh, melalui proses tindakan (action), interaksi, asimilasi, dan akomodasi dimana ia tahu bahwa benda itu tetap ada setelah mana waktu dan ruang, walaupun ia tidak melihat dan memegangnya.

Bila anak sudah mulai memiliki konsep tentang benda dan seiring dengan itu mulai memperoleh bahasa/mempelajari bahasa (sekitar usia 2 tahun), kejadian itu merupakan akhir dari periode sensorimotor.

2. Tahap Praoperation (2 – 7 tahun)

Karakteristiknya:

o Cara berpikir anak lebih didasarkan pada persepsi daripada konsep-konsep.

o Anak belum mengenal konsep Invariance dari benda.

o Cara berpikir anak masih egosentris.

3. Periode concrete operation (7 – 11 tahun)

Karakteristiknya:

  • Anak sudah mampu melakukan reversible operation (misal: pengurangan adalah kebalikan dari penjumlahan).
  • Anak sudah mengenal invariance.
  • Anak sudah mengenal konsep seriation (rangkaian). Contoh: anak sudah dapat menyusun rangkaian balok-balok dari ukuran yang paling besar sampai yang paling kecil.

Pada periode konkrit operation ini anak sudah mengerti hubungan antar unsur satu dengan unsur lainnya, seperti pada contoh diatas, anak sudah mengerti bahwa balok A lebih besar dari balok B dan balok B lebih besar dari balok C, dst, sehingga ia dapat menyusun seriation. Namun pada masa ini anak masih membutuhkan objeknya secara konkret (baloknya ada) agar dapat berpikir secara logis. Oleh sebab itu periode ini disebut conctere operation. Apabila anak harus menyelesaikan problem serupa secara verbal (tanpa ada bendanya konkret), maka ia akan mengalami kesulitan. Misalnya: “Bila Tati lebih putih dari Ani dan Tuti lebih hitam dari Nina”, siapakah yang paling hitam itu? Pertanyaan semacam ini tidak dapat dijawab anak pada periode ini, kecuali apabila ketiga orang tersebut dihadapkan pada si anak secara konkret.

4. Periode operation formal (11 – 16 tahun)

Karakteristiknya:

o Anak sudah dapat berpikir secara abstrak, tanpa melihat situasi/benda konkretnya.

o Anak mampu menghadapi persoalan-persoalan yang sifatnya hipotesis. Ia mengerti dan dapat menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang ada.

Contoh: Gagak adalah burung dan burung adalah binatang, maka gagak adalah biatang.

Jika kita membandingkan teori Freud dengan J.Piaget, maka tampak persamaan dan perbedan:

Persamaannya adalah:

Ø Keduanya beranggapan bahwa perkembangan akan berjalan dari tingkat kematangan fungsional yang lebih rendah ke yang lebih tinggi.

Ø Keduanya menafsirkan perkembangan sebagai hal yang mempunyai arah dan progresif.

Ø Keduanya melihat tingkah laku anak pada dasarnya adalah berbeda dari orang dewasa.

Ø Keduanya melihar bahwa tingkah laku anak kecil yang lebih tua dan karenanya membutuhkan penjelasan yang berbeda tentang prosesnya.

Ø Keduanya membuat teori yang terperinci tentang tahap-tahap (stages) perkembangan dimana setiap tahapan perkembangan berbeda secara kualitas dengan tahapan yang mendahuluinya.

Perbedaannya adalah:

Ø Freud memandang anak sebagai makhluk yang pasif, yang dibentuk oleh pengalaman, sedangkan Piaget menganggap anak sebagai makhluk yang aktif, dalam arti aktif mencari informasi/stimulusi dan aktif dalam memproses infromasi tersebut.

Ø Menurut Freud dunia anak telah tersedia/disajikan, berupa kekuatan-kekuatan sosial maupun psikologis, yang memberikan bekas yang tetap pada kepribadian anak. Menurut Piaget, dunia eksternal anak dibentuk sendiri oleh anak dan tidak tersaji begitu saja.

B. Teori Belajar

Pengertian Belajar

Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dan dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan dan pengalaman. Jadi dapat kita katakan, belajar merupakan perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman, bukan perubahan yang disebabkan oleh kematangan, (misalnya urutan perkembangan motorik anak dari duduk, merangkak, berjalan; kemampuan ini lebih dipengaruhi oelh kematnagan anak dari pada belajar) dan perubahan fisiologik yang dipengaruhi oleh obat atau keadaan lelah.

Membicarakan teori belajar ada tiga pendekatan dalam memperlajari masalah belajar, dua diantaranya menekankan asosiasi dengan kondisioning dan yang lainnya menekankan perubahan tingkah laku melalui obsevasi. Pendekatan yang menggunakan prinsip asosiasi adalah classical conditioning dan operant conditioning.

Sebelum membahas kedua pendekatan tersebut, lebih baik dibahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan assosiasi. Assosiasi adalah hubungan antara dua kejadian dalam waktu dan ruang.

1. Classical Conditioning

Bapak dari classical conditioning adalah Ivan Petro Vich Pavlov, seorang phisiologist dari Rusia. Dikatakan classical conditioning karena adanya pembentukan asosiasi antara suatu stimulus yang bersifat netral dengan tingkah laku refleks (tingkah laku refleks adalah suatu respon yang tampil dengan sendirinya bila menerima stimulus yang tepat, misalnya mata kemasukan debu akan mengedip untuk menghindari debu) pada organiseme secara berulang-ulang.

Dalam eksperimen classical conditioning terdapat beberapa unsur, yaitu:

a. Unconditioned stimulus (UCS), yaitu stimulus yang secara wajar dan otomatis menimbulkan suatu respon pada organisme.

b. Conditioned stimulus(CS), yaitu timulus yang netral yang tidak menimbulkan suatu respon wajar dan otomatis pada organisme.

c. Unconditioned Response (UCR), yaitu respon yang secara wajar dan otomatis ditimbulkan oleh unconditioned stimulus.

Bagan classical conditioning:

Asosiasi

Bel ------------------------------ Makanan ---------------------- Air liur

(CS) (UCS) (UCR)

Pada tahapan ini, bel dibunyikan terlebih dahulu, setelah interval waktu tertentu makanan diberikan. Makanan menimbulkan air liur. Percobaan ini dilakukan berkali-kali. Akhirnya pada tahap selanjutnya, hanya mendengarkan bel saja sudah keluar air liur.

Bagan menjadi demikian:

Bel ------------------------------- air liur

(CS) (UCR)

Disini air liur menjadi conditioned response dalam classical conditioning, UCR dan CR selalu merupakan response yang sama jenisnya.

J.B.Watson, seorang ahli behaviorisme dari Amerika mengadakan esksperimen yang menggunakan prinsip ini, dalam pencapaian rasa takut yang bersifat irasional.

o Kelinci ----------------Bunyi Gong -----------------------Perasaan takut

(CS) (UCS) (UCR)

o CS dam UCS dipasang berkali-kali akhirnya

Kelincin ------------------------------perasaan takut

(CS) (CR)

o Lama kelamaan anak tersebut tidak hanya takut pada kelinci tetapi pada semua benda yang berbulu putih. Disini Watson menambahkan, adanya asosiasi yang tetap dapat menimbulkan generalisasi pada setiap stimulus yang serupa. Jadi yang dimaksud dengan generalisasi adalah kecendserungan organiseme untuk memberikan respons tidak saja pada stimulus khusus terhadap mana ia dilatih, tetapi juga terhadap stimulus lain yang berhubungan/hampir serupa.

2. Operant Conditioning

Operant conditioning ini juga menggunakan prinsip asosiasi dan kadang-kadang sering dikenal dengan istilah instrumental conditioning.

H.F.Skinner, adalah seorang ahli yang memperkenalkan konsep operant conditioning. Dalam operant conditioning ini tingkah laku timbul karena konsekuensi tingkah laku tersebut.

Eksperimen Skinner

Tikus Lapar -------------------Menekan -----------------------Makanan

Tombol asosiasi (reinforcement)

Jadi, dalam operant conditioning tingkah laku terjadi karena ada reinforcement (penguat). Reinforcement adalah suatu stimulus yang memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang kita kehendaki.

Disatu pihak pada classical conditioning, penguatan dilakukan berulang-ulang akan menghasilkan respon (tingkah laku), tapi pada operant conditioning terjadi sebaliknya, respon atau tingkah laku yang menimbulkan penguatan. Jadi individu harus melakukan sesuatu. Dengan kata lain, individu adalah alat untuk menimbulkan penguatan.

Terdapat beberapa perbedaan antara classical conditioning dengan opreant conditioning:

Classical conditioning Operant conditioning

1. Tingkah laku bersifat pasif 1. Tingkah laku berifat aktif

2. Asosiasi antara stimulus dan 2. Asosiasi antara respon dan akibat respon respon

3. Respon merupakan tingkah laku yang 3. Respon belum tentu didahului oleh

biasa timbul bila ada stimulus stimulus dari luar

tertentu mendahuluinya

4. Frekuensi terjadi respon dipengaruhi oleh 4. Frekuensi terjadi respon ditentukan

frekuensi stimulus yang menimbulkan oleh akibat respon tersebut

Pemberian reinforcement (penguat) dapat diatur dalam perlbagai jadwal.

1. Continous reinforcement (CRF): yaitu pemberian reinforcement secara terus menerus.

2. Partial reinforcement: yaitu pemberian reinforcement hanya sebagian saja

Partial reinforcement terbagi atas kategori, yaitu:

a. Interval schedules: Pengaturan pemberian reinforcement berdasarkan lamanya tenggang waktu respons mendapatkan reinforcement bila tenggang waktu telah tercapai.

o Fixed interval (FI): Bila tenggang waktu dari satu reinforcement ke reinforcement selanjutnya tetap.

o Varied interval (VI): Bila tenggang waktu dari satu reinforcement ke reinforcement selanjutnya bervariasi.

b. Ratio schedules: Pengaturan pemberian reinforcement berdasarkan jumlah respon yang tidak mendapat rinforcement

o Fixed ratio (FR): Bila jumlah respon yang tidak mendapat reinforcement tetap. Misalnya: setelah 10 respon mendapatkan 1 reinforcement.

o Varied ratio (VR): Bila jumlah respon yang tidak mendapatkan reinforcement bervariasi. Misalnya: pada percobaan I, setelah 5 respon mendapatkan 1 reinforcement, pada percobaan II, setelah 10 respon mendapatkan 1 reinforcement, dst.

Bentuk Reinforcement

Bentuk reinforcement yang dikenal adalah reinforcement positif (positive reinforcement) dapat berupa reward, dan reinforcement negatif (negative rreinforcement) dapat berupa stimulus yang menyakitkan.

Akibat reinforcement negatif ini dapat menimbulkan tingkah laku active avoidance (menghindar) atau escape (melarikan diri).

Hubungan antara reinforcement negatif dengan punishment: kedua istilah tersebut tampaknya serupa tapi sebenarnya berbeda.

Persamaan dan perbedaan reinforcement negatif dan punishment

Reinforcement negatif punishment

Persamaan:

ü Stimulus yang diberikan menyakitkan stimulus yang diberikan menyakitkan

Perbedaan:

ü Stimulus dapat diberikan sebelum bertingkah Stimulus diberikan sesudah bertingkah

laku atau sesudah bertingkah laku. Laku.

ü Meningkatkan tingkah laku yang dikendaki/ Menghilangkan tingkah laku yang tidak

tidak dilakukan. dikehendaki.

3. Observation Learning

Dalam observation learning seseorang mempelajari suatu tingkah laku melalui imitasi (modeling).

BAB VI.

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN

A. Periode Pranatal

(Dari saat konsepsi - 9 bulan dalam kandungan).

Periode pranatal merupakan periode yang pertama dalam kehidupan manusia. Periode ini dimulai dari saat konsepsi dan berakhir pada saat kelahiran (± 9 bulan). Suatu kehidupan dimulai ketika sel telur dan sel sperma bertemu, yang dikenal dengan istilah konsepsi.

Pada saat konsepsi terdapat 4 hal penting yang menentukan suatu kehidupan individu, yaitu:

o Penentuan bakat bawaan

Bakat bawaan yang diperoleh individu pada saat konsepsi akan membatasi perkembangan individu kelak.

o Menentukan jenis kelamin

Penentuan jenis kelamin diperoleh ketika saat konsepsi.

o Jumlah anak yang dilahirkan

Apakah bayi yang akan dilahirkan itu kembar atau tidak, ditentukan pada saat konsepsi.

o Posisi anak

Posisi anak dalam keluarga ditentukan pada saat konsepsi. Apakah ia merupakan anak I, II atau terakhir akan menentukan cara orang tua memperlakukan diri anak tersebut.

Karakteristik Periode Pranatal

Periode pranatal merupakan periode yang singkat dalam kehidupan manusia. Periode pranatal merupakan periode yang penting karena:

1. Bakat/bawaan yang ditentukan pada saat konsepsi akan menjadi dasar bagi perkembangan selanjutnya ditentukan pada periode ini.

2. Kondisi ibu sangat mempengaruhi perkembangan janin. Kondisi ibu pada saat ini yang baik dapat membantu perkembangan bakat dan potensi anak, sedangkan kondisi yang tidak baik dapat menghambat bahkan merusak perkembangan selanjutnya.

3. Pada periode ini terjadi perkembangan yang lebih cepat dibandingkan periode-periode kehidupan lainnya.

4. Pada saat ini calon orang tua menentukan sikapnya terhadap anak yang akan lahir. Sikap ini akan mempengaruhi cara mereka mengasuh anaknya, terutama pada periode permulaan dari kehidupan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Periode Pranatal

1. Usia Ibu

Penelitian dibidang kedokteran mengenai angka kematian bayi dan ibu, ternyata menunjukkan adanya angka kematian bayi dan ibu yang tinggi, bila ibu melahirkan anak pertama sebelum umur ibu mencapai 20 tahun atau diatas 35 tahun. Disamping kematian, juga kemungkinan besar melahirkan anak-anak yang terbelakang.

2. Makanan Ibu

Ibu yang hamil harus memilih makanan yang bergizi bila menghendaki kelahiran bayi yang sehat. Kurangnya makanan yang bergizi, misalnya kekurangan protein, pada ibu hamil, terutama pada 1 – 5 bulan kehamilan, dapat mempengaruhi perkembangan janin didalam kandungan, misalnya saja dapat menyebabkan bayi menjadi terbelakang (mental retarded) atau bayi yang lahir premature.

3. Keadaan Emosi Ibu

Walaupun tampaknya tidak ada hubungan langsung antara ibu dan susunan syaraf janin, keadaan emosi ibu dapat mempengaruhi reaksi dan perkembangan janin.

Telah terbukti bahwa keadaan emosi ibu, seperti marah, takut dan cemas akan menimbulkan reaksi pada susunan syaraf otonom, yaitu melepaskan beberapa zat kimiawi kedalam aliran darah. Hal ini akan merangsang kelenjar endokrin, terutama adrenals dan jumlah hormon. Metabolisme dalam tubuh pun akan mengalami perubahan.

Jelasnya komposisi perubahan darah dan zat kimiawi dibawa ke plasenta, dan menyebabkan perubahan sistem sirkulasi pada janin. Perubahan ini akan mengganggu perkembangan janin. Berdasarkan penelitian telah dibuktikan, bahwa gerakan-gerakan tubuh janin meningkat beberapa ratus prsen bila ibu berada dalam keadaan emosional.

Hal lain, ketegangan emosi yang dialami ibu akan mempengaruhi kelahiran kelak. Lebih jauh lagi biasanya keadaan emosi ibu selama mengandung dapat mempengaruhi sikapnya menghadapi bayi yang dilahirkan nanti.

4. Obat-Obatan

Obat-obatan yang dimakan ibu hamil dapat mempengaruhi perkembangan janin dalam kandungan. Yang terkenal adalah Thalidomide, bayi yang lahir mengalami cacat berat, misalnya cacat fisik, yaitu kerusakan pada anggota badan, meliputi tangan dan kaki

Pada ibu-ibu yang kecanduan obat, akan melahirkan bayi dengan keadaan kecanduan obat pula. Bayi-bayi ini akan memperlihatkan kegelisahan, badannya gemetaran dan seringkali muntah.

5. Sinar Rontgen (X Ray)

Penyinaran dengan sinar-X pada ibu yang mengandung tidak akan membahayakan janin, bila diberikan dalam jumlah kecil. Tetapi bila terlalu sering akan mengakibatkan cacat mental atau fisik.

6. Penyakit Ibu yang Diderita Ketika Mengandung

Telah terbukti melalui penelitian bahwa keadaan ibu sakit dapat mempengaruhi perkembangan janin. Pada ibu yang menderita syphilis, ada kemungkinan terjadi abortus, bayi yang dilahirkan lemah, cacat fisik atau cacat mental. Rubella (German Measles) yang diperoleh ketika kehamilan 1 – 4 bulan, dapat merusak perkembangan fetus, dan mengakibatkan bayi lahir bisu tuli, terbelakang atau menderita penyakit katarak. Ibu yang menderita diabetes, seringkali melahirkan anak cacat fisik yang meliputi sistem pernafasan dan peredaran darah.

Saat Kelahiran

Bisanya bayi dilahirkan setelah berada dalam kandungan selama kurang lebih 9 bulan (280 hari) sesudah konsepsi. Bayi yang dilahirkan paling sedikit 2 minggu lebih dini dari waktu yang diperkirakan disebut premature. Sedangkan bayi yang dilahirkan, 2 minggu atau lebih, terlambat dari waktu yang diperkirakan disebut bayi postmature.

Bentuk-Bentuk Kelahiran

Terdapat 5 bentuk kelahiran:

1. Kelahiran spontan

Keadaan kelahiran normal, yaitu apabila posisi kepala terlebih dahulu keluar pada waktu melahirkan.

2. Kelahiran sungsang

Keadaan kelahiran, dimana posisi bokong atau kaki terlebih dahulu keluar pada waktu melahirkan

3. Kelahiran melintang

Keadaan kelahiran, dimana letak bayi melintang dalam uterus, yang memerlukan penanganan khusus pada waktu melahirkan.

4. Kelahiran dengan instrumen

Keadaan kelahiran dengan menggunakan alat/instrumen untuk mengeluarkan bayi. Biasanya bayi dikeluarkan dengan menggunakan alat/instrumen bila bayi terlalu besar atau dalam keadaan posisi yang tidak memungkinkan lahir spontan.

5. Operasi Caesar

Bila bayi menunjukkan indikasi akan mengalami kesulitan dalam kelahiran, maka biasanya akan mengatasi keadaan ini dilakukan suatu operasi yang dikenal sebagi operasi caesar.

B. Periode Infancy

(dari lahir – 2 minggu)

Periode infancy merupakan periode yang paling pendek dibandingkan periode-periode perkembangan lainnya. Periode ini berlangsung sejak kelahiran hingga bayi berumur 2 minggu.

Periode ini merupakan penyesuaian diri, dimana bayi harus menyesuaikan diri terhadap kehidupan baru diluar rahim ibunya, dimana bayi hidup selama 9 bulan.

Karakteristik Periode Infancy

Periode infancy merupakan periode penyesuaian yang radikal.

Seperti diketahui, kelahiran merupakan suatu interupsi pada pola perkembangan yang telah dimulai sejak konsepsi. Dengan adanya kelahiran berarti ada suatu peralihan dari lingkungan di dalam kandungan, ke lingkungan di luar kandungan. Peralihan ini menuntut penyesuaian diri si bayi.

Penyesuaian yang dilakukan bayi adalah terhadap:

· Perubahan suhu udara (temperatur)

Dalam kandungan ibu, bayi mengalami temperatur yang konstan, sedangkan diluar kandungan, kemungkinan temperatur dapat berubah-ubah.

· Pernafasan

Selama dalam kandungan, bayi bernapas melalui ari-ari (plasenta). Sedangkan pada saat kelahiran ari-ari dipotong, maka bayi harus bernapas sendiri.

· Pengisapan dan menelan

Sebelum kelahiran, janin harus menerima makanan dengan cara mengisap dan menelan.

C. Periode Bayi

(2 minggu – 2 tahun)

Periode bayi mulai dari 2 minggu sesudah kelahiran hingga usia 2 tahun.

Karakteristik Periode Bayi

1. Periode bayi merupakan periode pertumbuhan dari perkembangan yang cepat.

Bayi pada periode ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikologik yang cepat. Hal mana menyebabkan suatu perubahan, tidak hanya meliputi penampilan tetapi juga kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Seorang bayi berkembang dari makhluk yang tidak berdaya/sangat tergantung pada orang lain menjadi makhluk yang mampu melakukan aktivitas duduk sendiri, berjalan sendiri, bahkan berbicara.

2. Periode bayi merupakan usia dimulainya melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain. Pada periode infancy, bayi sangat tergantung pada pertolongan orang lain. Ketergantungan ini makin lama makin berkurang. Keadaan ini disebabkan karena bayi mengalami perkembangan yang cepat pada pengandalian tubuh, yang menyebabkan bayi dapat duduk, berdiri, berjalan dan manipulasi objek, menurut keinginannya. Pengurangan ketergantungan ini pun meningkat sehubungan dengan dimilikinya kemampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhan/keinginan kepada orang lain dalam bentuk bahasa yang dapat dimengerti orang lain.

3. Periode bayi merupakan dasar. Periode bayi merupakan periode dasar dari suatu kehidupan, karena saat ini, dasar-dasar pola tingkah laku, dan segala tingkah laku dalam menghadapi diri sendiri maupun lingkungan luar serta pola-pola reaksi-reaksi emosional lainnya.

4. Periode bayi merupakan usia menarik/lucu. Dikatakan begitu karena ia masih sangat tergantung kepada orang lain atau kepada lingkungan, sehingga lebih mudah diatur dan menurut. Begitu pula penampilannya selalu menarik hati lingkungan. Apabila ia sudah dapat berdiri sendiri, mempunyai keinginan sendiri, maka bayi tersebut sulit diatur sehingga menjengkelkan.

D. Periode Anak

(2 tahun – 12/13 tahun)

Periode anak dimulai apabila anak mulai dapat berdiri sendiri hingga mencapai kematangan (2 – 12/13 tahun).

Periode anak terbagi 2 yaitu:

1. Periode anak awal (early childhood) --- 2 tahun – 6 tahun.

Berbagai macam istilah diberikan pada periode prasekolah ini, yaitu: orang tua sering menyebut periode ini sebagai ‘problem age’ atau ‘trobolisme age’. Dikatakan demikian sebab pada periode ini orang tua sering dihadapkan pada problem tingkah laku, misalnya keras kepala, tidak menurut, negativistis, tempertantrums, mimpi buruk, iri hati, ketakutan yang irasionil (tidak masuk akal) pada siang hari dan sebagainya.

Problem tingkah laku ini, menyebabkan periode ini anak-anak tersebut kurang menarik penampilannya bagi orang tua dibandingkan ketika berada pada periode bayi. Keadaan ini menyebabkan periode anak-anak prasekolah merupakan masa yang tidak menarik (not appealing), bagi orang tua. Sifat ‘ketergantungan’ anak pada periode bayi merupakan hal yang menarik bagi orang tua dan saudara-saudaranya. Sekarang si anak mulai tidak mau atau menolak tingkah laku kasih sayang orang tua atau saudara-saudaranya.

Para guru atau pendidik menyebut periode ini sebagi usia prasekolah (presschool age), yaitu periode persiapan untuk masuk sekolah dasar. Biasanya anak-anak usia 2 – 6 tahun memasuki taman kanak-kanak.

Sedangkan para psikolog memberikan istilah kepada periode prasekolah ini sebagai usia pra gang (pregang age). Dikatakan demikian karena pada periode ini, anak-anak harus mulai belajar dasar-dasar tingkah laku sosial sebagai persiapan untuk penyesuaian diri terhadap kehidupan sosial lebih tinggi nanti setelah dewasa.

Selain itu para psikolog menyebut pula periode prasekolah sebagai ‘periode eksplorasi’. Hal ini disebabkan karena perkembangan yang utama pada periode ini, ialah menguasai dan mengontrol lingkungannya. Mereka ingin selalu mengetahui apa dan bagaimana lingkungannya itu, bagaimana mereka dapat merupakan bagian dari lingkungan tersebut. Lingkungan yang dijelajah tersebut baik yang merupakan manusia maupun benda-benda. Cara umum yang dilakukan anak-anak 2 – 6 tahun yaitu dengan bertanya sebab itu sering pula dikenal sebagai usia bertanya (questioning age).

Tugas-tugas perkembangan:

o Penyempurnaan pemahaman mengenai konsep-konsep sosial, konsep-konsep benar dan salah dan seterusnya.

o Belajar membuat hubungan emosional yang makin matang dengan lingkungan sosial baik dirumah maupun diluar rumah.

2. Periode anak akhir (late childhood) --- 6/7 tahun – 12/13 tahun

Periode anak akhir dimulai ketika anak memasuki sekolah dasar dan berakhir ketika mengalami kematangan seksual.

Seperti halnya periode anak awal, periode ini pun mempunyai beberapa istilah. Para guru atau pendidik menyebut periode ini sebagai periode anak usia sekolah dasar, sebab pada saat ini sebagai periode ini mereka mulai memasuki sekolah dimana mereka akan mendapatkan pengetahuan penting yang berguna bagi kehidupan kelak. Juga saat ini, mereka mulai sekolah dimana mereka akan mendapatkan pengetahuan penting yang berguna bagi kehidupan kelak. Juga saat ini, mereka mulai mempelajari keterampilan tertentu baik yang bersifat kurikuler maupun ekstrakurikuler.

Sedangkan para psikolog menyebutnya dengan istilah usia berkelompok (gang ege). Saat ini, anak-anak mulai berusaha untuk menjadi anggota kelompok, biasanya dengan jenis kelamin yang sama.

Tugas-tugas perkembangan:

o Makin mengembangkan keterampilan motorik, baik yang menggunakan otot halus (misal: menulis, menggambar, keterampilan-keterampilan khusus) dan otot-otot besar (olah raga, permainan-permainan).

o Makin mengembangkan konsep-konsep tentang lingkungan sekelilingnya.

o Mengembangkan tingkah laku moral serta menerima nilai lingkungan.

o Belajar bekerja sama dengan teman sebaya.

o Belajar memainkan peran sesuai dengan jenis kelamin.

o Belajar mengendalikan reaksi-reaksi emosional sesuai dengan harapan lingkungan sosial.

o Belajar menjadi individu yang mampu berdiri sendiri.

E. Periode Pubertas

(12/13 tahun – 15/16 tahun)

Pubertas merupakan remaja awal yang ditandai dengan perubahan dalam penampilan fisik dan fungsi fisiologis, yang memungkinkan setiap remaja mempunyai bentuk dan fungsi tubuh sesuai dengan jenis kelaminnya.

Perubahan dalam bentuk fisik biasanya meliputi proposi muka dan badan serta penampilan sesuai jenis kelamin (dikenal dengan istilah karakteristik seks sekunder), karakteristik seks sekunder biasanya pada remaja putri ditandai dengan pembesaran buah dada, pinggul, perubahan bentuk tangan dan kaki (lebih menampakkan penimbunan lemak). Sedangkan pada remaja putra mengalami pembesaran suara, tumbuh bulu dikaki, dada dan kumis. Sedangkan pertumbuhan bulu disekitar kemaluan, ketiak, perubahan warna kulit, otot, dialami oleh baik remaja putra maupun remaja putri.

Perubahan fungsi fisiologik lebih berhubungan dengan kematangan seks primer. Dikatakan seks primer karena berhubungan langsung dengan reproduksi.

Kriteria pubertas

Kriteria yang sering digunakan untuk menentukan seseorang anak telah mencapai kematangan seksual adalah sebagai berikut: Pada anak laki-laki mengalami nocturnal emission (mimpi basah), sedangkan anak perempuan mendapatkan menstruasi pertama (manarche). Bila nocturnal emission atau menarche pertama terjadi, organ seks dan seks sekunder mulai matang tetapi belum mencapai kematangan penuh. Menstruasi pertama ini biasanya dialamai oleh anak perempuan sekitar usia 12 sampai dengan 16 tahun. Walaupun para ahli mengemukakan patokan usia, tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan individual.

Kondisi penyebab pubertas

Proses pematangan tubuh yang menyangkut perkembangan ukuran tubuh maupun kematangan seksual dikendalikan oleh kelenjar pituitari, sebuah kelenjar endokrin yang terletak didasar otak.

Kelenjar pituitari menghasilkan 2 hormon, yaitu:

o Hormon pertumbuhan, hormon yang mempengaruhi ukuran tubuh individu.

o Hormon gonatropik, hormon yang merangsang kelnjar gonad (kelenjar seks) menjadi lebih aktif. Aktivitas kelenjar gonad ini menyebabkan organ seks, yang menyangkut karakteristik primer yaitu pada wanita ovarium dan pada laki-laki testis, berkembang dalam ukuran dan mulai berfungsi/mencapai kematangan. Disamping itu juga menyebabkan karakteristik seks sekunder mulai berkembang.

Karakteristik fase pubertas

Ø Periode tumpang tindih dan singkat

Pubertas dikatakan sebagai perode tumpang tindih sebab terjadi kurang lebih 1 – 3 tahun sebelum periode anak berakhir dan 1 – 2 tahun pada permulaan periode remaja.

Anak remaja

10 11 12 13 14 15 16

Lahir bayi

perempuan

laki-laki

pubertas

Dikatakan sebagai periode yang sangkat singkat karena terjadi dalam kurung waktu sekitar 2 – 4 tahun saja

Ø Merupakan masa pertumbuhan yng sangat cepat.

Pubertas merupakan periode dalam kehidupan yng ditandai oleh pertumbuhan yang cepat yang dibarengi oleh perubahan bentuk tubuh, perubahan proporsi muka dan badan serta tercapai kematangan seksual walau belum sepenuhnya tercapai.

Bisanya perubahan yang cepat ini terjadi 1 – 2 tahun sebelum anak laki-laki atau perempuan mencapai kematangan seksual, dilanjutkan ½ - 1 tahun sesudah mencapai kematangan seksual tersebut. Jadi dapat dikatakan pertumbuhan yang cepat ini berlangsung sekitar kurang lebih 3 tahun. Perubahan cepat ini menyebabkan anak remaja putera maupun remaja puteri mengalami kebingungan, adanya perasaan inadecuate dan insecure. Keadaan ini kadang-kadang remaja putera maupun puteri memperlihatkan tingkah laku yang negatif (misal; marah-marah, membangkang).

Ø Pubertas merupakan fase negatif

Charlotte Buhler, menyatakan pubertas merupakan fase negatif. Merupakan fase karena pubertas terjadi terjadi dalam jangka waktu pendek. Sedangkan dikatakan negatif karena remaja disini dianggap menentang lingkungan

Hal-hal yang rawan pada fase pubertas:

Kerawanan yang berhubungan dengan segi fisik. Dialaminya ketidakseimbangan sebagai akibat pembentukan hormon pertumbuhan dan hormon gonadotropik pada fase pubertas.

F. Periode Remaja

(Usia 15/16 tahun – 18 tahun)

Periode remaja merupakan “ambang pintu” ke periode dewasa. Bila remaja telah mendekati periode remaja, mereka mulai berusaha untuk berpakaian, bersikap seperti orang dewasa agar memperoleh status sebagai orang dewasa dan bukan sebagai remaja lagi. Tingkah laku yang sering ditampilkan saat ini antara lain: merokok, minum-minum, berpacaran dan sebagainya.

Tugas perkembangan pada periode remaja

o Menerima keadaan diri dan penampilan diri. Belajar berperan sebagai jenis kelamin.

o Membentuk hubungan dengan teman sebaya secara dewasa.

o Mengembangkan kemampuan berdiri sendiri baik secara emosional maupun ekonomi.

o Mengembangkan tanggung jawab sosial.

o Mengembangkan kemampuan keterampilan intelektual untuk hidup bermasyarakat dan masa depan dibidang pekerjaan/pendidikan.

o Mempersiapkan diri (fisik dan psikis) dalam rangka hidup bermasyarakat.

o Mencapai nilai-nilai kedewasaan.

Kerawanan-kerawanan pada periode remaja

o Kerawanan yang berhubungan dengan segi fisik adalah kematian yang lebih disebabkan karena kecelakaan atau bunuh diri.

o Kerawanan yang berhubungan dengan segi psikologik yaitu dialaminya kegagalan dalam menjalani transisi menuju periode dewasa.

G. Periode Dewasa Awal

(Usia ±18 tahun – ±40 tahun)

Periode dewasa merupakan periode yang terpanjang dalam keseluruhan life span sorang individu, yaitu antara kurang lebih 18 tahun sampai individu itu meninggal.

Menurut E.Hurlock (1983 ; 265) masa dewasa terbagi dalam beberapa periode, yaitu:

ü Periode dewasa awal (early adulthood): 18 tahun – 40 tahun.

ü Periode dewasa madya (middle adulthood): 40 tahun – 60 tahun.

ü Periode dewaa akhir (late adulthood/old age) 60 tahun sampai meninggal.

Perlu diingat bahwa pembagian ini, dalam batasan-batasan usia tersebut, bukannya sudah pasti dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, melainkan hanya menunjukkan usia-usia pada saat mana umumnya wanita dan pria dapat diharapkan memperlihatkan adanya perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan ini meliputi perubahan dalam penampilan, fungsi jasmaniah, minat, sikap dan tingkah laku yang berbarengan dengan masalah penyesuaian diri sehubungan adanya tekanan-tekanan budaya dan harapan-harapan masyarakat yang timbul daripadanya.

Periode dewasa awal sering juga disebut early adulthood. Perkataan adult berasal dari kata kerja adultus yang berarti tumbuh dan mencapai ukuran serta kekuatan penuh. Dengan perkataan lain, menjadi matang. Oleh karena itu orang dewasa adalah individu-individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima statusnya di lingkungan sosial bersama-sama orang-orang dewasa lainnya.

Periode dewasa awal merupakan periode yang khas berbeda dari periode-periode lainnya, selain juga yang terberat. Mengapa demikian?

Pada periode ini manusia diharapkan pada pola-pola hidup yang baru dan harapan-harapan yang baru, yang berbeda dari periode sebelumnya, yaitu masa remaja dimana individu relatif masih lebih bebas dan tidak banyak dibebani tanggung jawab sosial. Terhadap harapan-harapan baru ini manusia harus dapat menyesuaikan diri. Sebagai contoh: pada usia ini seseorang pada umumnya sudah menikah, dengan konsekuensi mempunyai peran-peran baru, seperti peran sebagai orang tua, sebagai partner dalam perkawinan, sebagai kepala keluarga yang harus mencari nafkah. Selain itu juga harus mengembangkan sikap-sikap baru, nilai-nilai baru dan minat-minat baru yang menyertai peran-peran baru tersebut.

Kesulitan-kesulitan lain ialah bahwa mereka sekarang diharapkan dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Tidak seperti masa remaja, yang selalu masih mungkin bertanya-tanya meminta pendapat dari orang tua, teman dan lain-lain. Sekarang mereka agak segan meminta nasehat karena takut dianggap tidak dewasa. Hal ini berakibat beban yang dipikul dirasakan sangat berat. Tidak heran bila banyak dari mereka ingin memperpanjang masa ketergantungan tersebut dengan cara tetap mempertahankan peran sebagai mahasiswa, sedangkan teman-temannya telah lama lepas sekolah dan mampu berdiri sendiri.

Karakteristik periode dewasa awal

1. Merupakan periode pemantapan atau pengendapan. Apabila kematangan telah tercapai, seseorang diharapkan mulai memikul tanggung jawab dan mengadakan pemantapan-pemantapan dalam:

a. Bidang kerja yang dipilih sebagai karirnya dimasa depan bagi umumnya pria dan beberapa wanita. Sedangkan bagi beberapa wanita lainnya memilih sebagai ibu rumah tangga saja, atau memilih berperan ganda sebagi ibu rumah tangga sekaligus sebagai pekerja/karyawan.

b. Bidang kehidupan keluarga, yaitu dalam memilih calon teman hidupnya. Umumnya, sebelum mantap dalam memilih, terlebih dahulu mencoba bergaul dengan bermacam-macam teman, sampai menemukan yang cocok. Atau sampai akhirnya memutuskan untuk hidup sendiri.

2. Merupakan usia repoduktif

Pasangan-pasangan yang menikah pada usia mudah memusatkan perhatian untuk menjadi orang tua sekitar usia 20 – 30 tahun. Sedangkan mereka yang sekolah terus meniti karir, baru menjadi orang tua sekitar usia 30 tahun, manakala sudah merasa betul-betul siap.

3. Merupakan problem age

Masalah yang dhadapi berbeda dengan masalah-masalah pada periode-periode sebelumnya. Meskipun pada periode dewasa awal mereka telah memperoleh kebebasan (secara hukum, dll), namun kebebasan ini justru menimbulkan berbagai masalah yang tadinya tidak terbayangkan. Masalah-masalah tersebut antara lain: penyesuaian diri dalam perkawinan, pekerjaan, dan menjadi orang tua terutama antara usia 20 – 30 tahun. Sesudah usia 30 tahun sampai 40 tahun umumnya sudah mempunyai pekerjaan yang tetap, juga sudah mempunyai anak, sehingga pada masa antara 30 – 40 tahun, masalah-masalah pada umumnya bersifat hubungan antar keluarga. Masalah-masalah yang berhubungan dengan konflik dalam kehidupan perkawinan sering timbul karena pada masa ini ekspansivitas merupakan salah satu ciri periode dewasa, sehingga kaum pria (terutama) bekerja keras demi karir, aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial/organisasi, yang menyebabkan tinggal sedikit waktu tersisa untuk keluarga/istri. Konflik diperuncing bilamana istri kurang mengerti hal ini dan menuntut perhatian penuh dari suami.

Masalah lain ialah yang berhubungan dengan peran sebagai orang tua. Dengan kehadiran anak-anak akan mengurangi kebebasan; orang tua menjadi terbatas dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Selain itu juga kurangnya persiapan mental pada beberapa calon ibu dalam menghadapi kelahiran anaknya dan sikapnya terhadap kehamilan, merupakan masalah-masalah yang sering timbul. Masalah khusus dari mereka yang single atau memilih hidup sendiri, dalam penyesuaian dirinya terhadap perasaan sepi, penempatan dirinya diantara orang-orang yang sudah berkeluarga, dan lain-lain. Disamping wanita yang bekerja disamping berperan sebagai ibu rumah tangga mempunyai masalah sendiri, terutama dalam membagi waktu dan perhatian untuk pekerjaannya, suami dan anak-anaknya, dan kehidupan sosial lainnya.

4. Merupakan periode penuh ketegangan emosional

Dengan meninggalkan masa remaja dan memasuki masa dewasa, terjadi kenaikan/ketegangan emosi, karena dirasakannya semua serba baru dan asing baginya. Kadang-kadang mereka ingin merubah keadaan masyarakat (ingat, usia mahasiswa yang penuh gejolak dan ide-ide baru), namun mendekati usia 30-an umumnya mereka telah menjadi tenang dan emosional stabil, serta telah dapat mengatasi masalah-masalahnya.

Ketegangan tersebut antara lain disebabkan karena mereka harus mulai mampu melepaskan ketergantungan dari orang tua, taman-teman dan mencapai kemandirian secara emosional, walaupun ia tetap mempertahankan hubungan emosional yang erat dengan orang lain. Mereka tidak terlalu mudah untuk merasa kecewa atau marah bila orang lain tidak sependapat dengannya, atau tidak senang dengannya.

5. Merupakan periode “isolasi sosial

Dengan berakhirnya pendidikan formal dan mulai memasuki pola kehidupan orang dewasa, dalam pekerjaan dan perkawinan, ikatan-ikatan dengan peer grups masa remaja semakin bekurang. Dengan demikian, ketergantungan pada kelompok terputus dan meraka merasa kesepian, ditambah pula dengan adanya tanggung jawab dirumah tangga maupun pekerjaan, maka mereka merasa terisolasi secara sosial. Terutama bagi mereka semasa sekolahnya sangat aktif dalam kegiatan kelompok dan sangat populer, penyesuaian terhadap isolasi sosial tersebut dirasakan sangat sulit, perasaan sepi dan terasing yang disebabkan oleh isolasi sosial ini akan menetap atau hanya sementara/temporer saja sangat tergantung pada cepat tidaknya individu dewasa muda itu membentuk dan mendapat kepuasan dari kontak-kontak sosial baru sebagai ganti yang lama. Isolasi sosial ini diperkuat dengan adanya suasana bersaing yang kuat dalam mencapai tangga karir, bila ingin sukses mereka harus bersaing dengan orang lain, yang akan menipiskan silidaritas antara teman semasa remaja.

Disamping itu juga mereka harus mengerahkan energinya untuk pekerjaan, sehingga hanya tersisa waktu sedikit untuk mengadakan sosialisasi dan membentuk ikatan-ikatan yang intim/dekat dengan orang lain.

6. Merupakan saat untuk memenuhi tanggung jawab (commitments)

Dengan adanya peran-peran baru sebagai orang dewasa, menimbulkan pola-pola hidup yang baru, penerimaan tangung jawab tersebut. Meskipun hal-hal tersebut mungkin berubah kelak sejalan dengan tahapan perkembangan, namun pada periode ini merupakan dasar bagi perkembangan selanjutnya dalam hal pola hidup, tanggung jawab dan pemenuhannya.

7. Sering merupakan periode ketergantungan

Meskipun mereka secara legal/hukum telah dianggap mandiri, namun banyak dari mereka masih tergantung kepada orang tua maupun instansi-instansi tertentu secara finansial. Beberapa individu nasih dibantu orang tua dalam segi keuangan, beberapa lagi masih disekolahkan oleh instansi atau pemerintah. Sebagai reaksi terhadap hal tersebut, sebagian merasa terpaksa namun tetap menuntut otonominya dan sebagian lainnya menjadi terbiasa bergantung. Sebagai contoh dari kedua kelompok ini ialah reaksi yang disebut “mahasiswa abadi”, yang mengikuti training yang satu ke training lainnya dengan anggapan bahwa makin banyak pendidikan/training, makin besar kemungkinan menduduki tangga karir yang tinggi.

8. Periode “perubahan nilai

Banyak nilai-nilai yang telah dikembangakan selama masa anak-anak dan remaja mengalami perubahan setelah individu memasuki usia dewasa muda, karena kontak sosialnya yang makin meluas dan bervariasi dengan orang-orang yang berbeda usianya.

Penyebab yang paling umum dari terjadinya perubahan nilai tersebut ialah:

a. Keinginan untuk diterima sebagai anggota kelompok. Bila ingin diterima di kelompok “orang dewasa” harus menerima nilai-nilai yang berlaku pada kelompok tersebut. Contoh: dalam penampilan dan tingkah laku harus seperti orang dewasa, tidak lagi kekanak-kanakan seperti waktu masih usia remaja.

b. Kesadaran bahwa klompok-kelompok sosial orang dewasa umumnya memegang nilai-nilai tertentu tentang belief dan tingkah laku. Contoh: umumnya orang dewasa menganggap perkawinan sebagai nilai untuk penerimaan dalam kelompok sosial.

c. Kecenderungan untuk kembali ke nilai-nilai konservatif dan tradisional, dari nilai yang lebih egosentris kenilai-nilai yang bersifat sosial. Secara umum kesadaran sosial mereka meningkat dan mengambil peran sebagai suami/istri atau orang tua.

9. Merupakan masa penysuaian diri terhadap gaya hidup baru

Penyesuaian diri yang paling banyak dilakukan adalah terhadap gaya hidup baru seperti persamaan hak antara wanita dan pria, pola-pola kehidupan keluarga, pembatasan kelahiran/KB, pola-pola vokasional baru, penyesuaian tersebut bagi penyandang usia dewasa awal ini sangat sulit, karena adanya kepincangan antara persiapan-persiapan yang diperoleh dirumah maupun sekolah dengan kehidupan riil yang dialami.

10. Merupakan “usia kreatif”

Oleh karena pembatasan-pembatasan terhadap tingkah laku telah berkurang, maka individu menjadi lebih bebas berkreasi, melakukan apa saja yang ingin dilakukannya. Bentuk kreativitasnya untuk melakukan apa yang diingini, melakukan aktivitas-aktivitas yang memberikan kepuasan. Sebagian orang mengekspresikan kreativitasnya melalui hobby dan sebagian orang lagi melalui pekerjaan.

Tugas perkembangan periode dewasa awal

1. Mulai memilih suatu pekerjaan

2. Memilih teman hidup

3. Belajar hidup dalam perkawinan dengan pasangannya.

4. Mulai mebentuk keluarga.

5. Membesarkan anak.

6. Mengurus rumah tangga.

7. Memikul tanggung jawab sosial.

8. Mendapatkan kelompok sosial yang cocok.

Beberapa kerawanan sosial dan pribadi (personal and social hazards)

o Kerawanan pribadi (personal hazards)

Pada masa periode dewasa awal, kerawanan sosial dan pribadi yang paling banyak dialami berasal dari kegagalan individu dalam menguasai beberapa atau sebagian besar tugas perkembangan --- tugas perkembangan pada masa ini. Kegagalan tersebut mengakibatkan individu tidak dapat memenuhi harapan sosial dalam berbagai area tingkah laku, sehingga mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosialnya. Kerawanan-kerawanan yang paling umum dan sering ialah:

a. Kerawanan dibidang fisik/jasmani

Seorang dewasa muda yang menyandang cacat jasmani atau mempunyai kesehatan yang buruk, tidak dapat mencapai hal-hal yang diinginkannya dibidang pekerjaan maupun kehidupan sosial. Hal ini dapat berakibat terjadinya frustrasi dan stres.

b. Kerawanan dibidang agama

Kerawanan dibidang agama yang dapat menimbulkan gangguan emosional ialah bila individu menemukan kepercayaan baru (agama) yang dirasakannya lebih sesuai dengan minat pribadinya yang menjadi kurang cocok dengan agama yang dianut keluarganya. Atau bilamana seseorang berganti kepercayaan demi pasangan hidupnya atau keluarga pasangan tersebut. Dalam hal demikian umumnya terjadi konflik-konflik.

o Kerawanan sosial (social hazards)

a. Kerawanan dibidang hubungan sosial

Kaum dewasa muda ini mengalami hambatan dalam mengadakan hubungan dengan kelompok-kelompok sosial yang cocok. Wanita terikat dengan rumah tangga dan kewajiban-kewajibannya, sehingga kurang waktu dan uang untuk kegiatan sosial yang dulu sangat disenangi dan mungkin sekarang tidak menemukan penggantinya. Pria yang tertekan oleh pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, merasa sulit menemukan kelompok sosial yang cocok. Mereka menjadi tidak puas dengan hidupnya.

b. Kerawanan dibidang pran jenis kelamin (sex role)

Karena konflik mengenai peran-peran seks dewasa ini, misalnya konflik antara kesetiaan kepada konsep-konsep yang tradisional dan penerimaan konsep-konsep baru tentang peran jenis kelamin. Hal ini mempengaruhi penyesuaian pribadinya. Contoh: wanita sebagai warga negara kedua (dianggap dan diberlakukan lebih rendah). Pria bebas menyatakan dan memperlihatkan kejantanannya. Beberapa wanita yang menikah merasa “terperangkap” dalam suatu situasi yang tidak dibayangkan sebelumnya, sehingga mereka merasa terkurung dan merasa tak ada harapan untuk melarikan diri kedunia luar.

H. Periode Usia Dewasa Madya (Middle Age)

­(umur 40 tahun – 60 tahun)

Periode ini dikenal dengan munculnya perubahan-perubahan jasmanisah/fisik dan mental. Pada usia 60 tahun biasanya terjadi penurunan kekuatan/tenaga yang sering diikuti dengan berkurangnya kewaspadaan mental.

Karakakteristik usia dewasa madya

1. Merupakan usia yang menakutkan

Bagi pria maupun wanita merupakan saat-saat yang menakutkan. Ketakutan ini dipengaruhi pula oleh stereotipi-stereotipi masyarakat tentang usia setengah baya, yang menganggap bahwa kemunduran-kemunduran fisik maupun mental mengiringi berhentinya produktivitas. Juga masyarakat yang mengangungkan/mementingkan masa muda, dapat mempengaruhi sikap-sikap mereka dalam memnghadapi periode ini. Mereka biasanya mengenangkan masa mudanya (nostalgia).

2. Merupakan masa transisi

Transisi selalu mengandung makna penyesuaian terhadap minat-minat baru, dan pola-pola hidup baru. Pada usia dewasa madya individu harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik. Juga menyesuaikan terhadap perubahan peran, yang umumnya lebih sulit.

Contoh: selama periode dewasa madya dikenal adanya 3 masam krisis perkembangan (Kimmel), yaitu:

o Krisis sebagai orang tua (parenthood crisis). Ini terjadi apabila anak-anak tumbuh dan berkembangan tidak sesuai dengan harapan orang tua, sehingga orang tua menyalahkan dirinya sendiri atas kegagalan tersebut dan mempertanyakan apakah pola asuhanannya yang dipraktekkan terhadap anaknya itu salah. Ditandai dengan pertanyaan: “dimana kesalahan kita”.

o Kriris terjadi dalam menghadapi orang tuanya yang lanjut usi/jompo, dan merasa bersalah bilamana tidak mau menampung orang tuanya dirumah. Ucapan yang khas ialah: “saya tidak rela memasukkan ibu kerumah jompo”.

o Krisis yang muncul sehubungan dengan usaha yang dilakukan untuk mengatasi kematian pasanyan hidupnya. Ditandai dengan pertanyaan: “bagaimana saya harus hidup tanpa dia”.

3. Merupakan saat menderita stres (time of stress)

Marmor membagi sumber stress utama suatu stres pada masa ini yang dapat menimbulkan ketidak seimbangan, kedalam 4 kategori, yaitu:

o Stres somatik, yang disebabkanoleh tanda-tanda ketuaan.

o Stres budaya, yang disebabkan oleh adanya penilaian masyarakat yang tinggi terhadap kaum muda/masa muda, kekuatan dan keberhasilan.

o Stres ekonomi, yang disebabkan oleh beban finansial dalam mendidik anak-anak dan dalam memberikan standar status simbol untuk seluruh angota keluarganya.

o Stres psikologik, yang disebabkan oleh kematian suami/istri, kepergian anak dari rumah, kebosanan terhadap perkawinan atau perasaan kehilangan masa muda dan perasaan telah mendekati ajal.

Ada perbedaan usia antara pria dan wanita dalam pengalaman stres ini. Mialnya saja: pada wanita mengalami ketidakseimbangan sekitarusia 40 tahunan, ketika mereka mengalami menapause dan saat anak yang terakhir harus meninggalkan rumah, terhadap mana ia harus mengadakan penyesuaian secara radikal. Sedangkan pada pria klimaterium datang lebih lambat, biasanya sekitar usia 50 tahunan, ditandai oleh masa pensiun yang diiringi dengan perubahan peran.

4. Merupakan usia yang “membahayakan (dangerous age)”

Pada masa ini baik pria maupun wanita mengalami kemunduran-kemunduran fisik sebagai akibat kerja yang lebih berat atau perasaan was-was yang berlebihan, atau karena hidup urakan/tidak hati-hati. Sering juga terjadi kasus-kasus bunuh diri, terutama pada kaum pria. Dikatakan usia berbahaya, karena individu terutama pria ingin membuktikan kebolehannya yang masih ada, sebelum usia lanjut menghampirinya. Hal ini terlihat mencolok dalam kehidupan seksual, dimana sering terjadi penyelewengan-penyelewengan dalam perkawinan. `

Gejala-gejala ini sering disebut sebagai “middle age revolt” (pemberontakan usia tengah baya), yang pada wanita bersamaan dengan datangnya peristiwa menapouse. Tidak heran bila sering ketegangan-ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, yang kadang-kadang menjurus kearah terjadinya perceraian dan perpisahan. Selain itu juga dapat berakibat gangguan jiwa, alkoholisme atau bunuh diri (pada masyarakat barat umumnya, Indonesia belum diselidiki).

5. Merupakan usia yang “canggung (awkard age)”

Seperti halnya pada masa remaja yang dianggap bukan anak dan bukan orang dewasa, maka pada usia setengah baya terjadi hal yang sama, dimana mereka tidak lagi “muda” juga belum “tua”. Hal ini mengakibatkan timbulnya perasaan “tidak memperoleh tempat” dalam masyarakat dan “tidak diperhatikan”.

6. Merupakan masa berprestasi (time of achievement)

Menurut Erickson, selama periode ini, ada kemungki9nan individu makin berhasil dan berprestasi dalam suatu bidang, atau sebaliknya, karena merasa sudah tua, lalu tidak berbuat apa-apa, seolah-olah berhenti dalam segala kegiatan. Apabila individu dengan usia setengah baya mempunyai keinginan untuk sukses yang cukup besar, ia akan mencapai puncak keberhasilannya pada masa ini dan akan merasakan hasil jerih payah dan hasil kerjanya yang telah dibina beberapa tahun sebelumnya.

Masa dewasa madya, tidak saja masa seorang berjaya dalam bidang finansial dan sosial, melainkan juga dalam kewibawaan dan kewenangan/kekuasaan. Umumnya pada pria mencapai puncak pada usia antara 40 - 50 tahun, sesudah itu mereka akan puas dengan keberhasilannya dan tinggal menikmati hasil dengan tenang, sampai kira-kira usia 60 tahun, ketika mereka mulai menganggap “terlalu tua” dan harus melepaskan pekerjaannya kepada tenaga-tenaga yang lebih muda.

Usia dengan dewasa madya juga merupakan usia dimana mereka memegang peran sebagai pemimpin, baik dalam bidang bisnis, industri dan organisasi, yang merupakan ganjaran atas kesuksesan-kesuksesan yang telah dicapai sebelumnya.

7. Merupakan “masa evaluasi” (time of evaluation)

Berhubungan pada usia setengah baya ini pada umumnya pria dan wanita telah mencapai puncak prestasi maka sangat masuk akal bilamana mereka pada saat ini mulai mengadakan evaluasi terhadap apa yang telah dicapai itu ditinjau kembali dibandingkan dengan cita-citanya dahulu dan dibandingkan dengan apa yang diharapkan oleh keluarganya mapun teman-temannya.

8. Merupakan masa kebosanan (time of boredom)

Kebanyakan pada usia ini pria dan wanita mengalami kebosanan dalam kehidupan rutin, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan keluarga, yang dirasakan kurang memberikan kegairahan/kegembiraan. Hal ini berlangsung sekitar usia 40 – 50 tahun. Wanita yang waktunya habis untuk mengurus rumah tangga membesarkan anak-anak, mengharapkan sesuatu yang lain untuk 20 -30 tahun mendatang. Wanita yang tidak menikah yang telah mengabdikan dirinya untuk suatu pekerjaan dan karir tertentu mulai bosan dengan tugas dan kehidupannya. Demikian pula halnya dengan pria, sehingga mereka ingin mencari lapangan kerja yang lain. Namun kebanyakan dari mereka juga menyadari bahwa merubah arah dengan memilih tujuan baru pada usia ini tidak akan menguntungkan mengingat kesempatan yang ada juga sudah sangat terbatas.

9. Merupakan masa “rumah menjadi kosong” (empty nest)

Kebanyakan anak-anak sudah mulai meninggalkan rumah orang tuanya pada saat orang tua memasuki periode dewasa madya, karena sudah menikah atau telah bekerja dikota lain, sehingga rumah menjadi sarang yang kosong. Suami atau istri harus menyesuaikan diri lagi dengan keadaan hidup berdua (atau sendiri lagi yang telah janda/duda), setelah sekian lama kehidupan terpusat pada keluarga. Keadaan ini lebih bersifat traumatis bagi wanita daripada pria. Terutama bagi wanita yang mengabdikan seluruh dewasanya untuk rumah tangganya dan kurang dapat mengalihkan minat kepada hal lain untuk mengisi waktunya, setelah anak-anak keluar dari rumah. Seolah-olah mereka mengalami masa pensiun dari pekerjaannya dengan segala akibat-akibat psikologisnya.

Tugas-tugas perkmbangan periode dewasa madya

1. Mencapai tanggung jawab sosial sebagai orang dewasa dan warga negara.

2. Membimbing anak-anaknya yang remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan berbahagia.

3. Mengembangkan aktivitas-aktivitas untuk mengisi waktu luang.

4. Mengikatkan diri pada suami/istri sebagai pribadi.

5. Menerima dan menysuaikan diri terhadap perubahan-perubahan fisiologik masa dewasa madya.

6. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir pekerjaannya. Menyesuaikan diri terhadap orang tua yang lanjut usia

Kerawanan sosial dan pribadi pada periode dewasa madya

o Kerawanan pribadi (personal hazards)

Banyak kerawanan-kerawanan sosial yang ditemui individu setengah baya sangat berpengaruh terhadap sikap orang dalam perubahan yang timbul karena bertambahnya usia. Antara lain:

a. Keyakinan tradisional (taditional beliefs)

Menerima keyakinan tradisional tentang usia setengah baya sangat berpengaruh terhadap sikap orang dalam perubahan fisik yang timbul karena bertambahnya usia.

Contoh:

Menopouse yang dianggap sebagai periode “kritis” bagi wanita akan membuat wanita lebih takut menghadapi menopouse. Rambut menipis/botak dianggap mengurangi daya tarik seksual pria.

b. Pengagungan terhadap masa muda

Banyak pria usia setengah baya memberontak terhadap pembatasan-pembatasan kegiatan dan makanan (diet) demi kesehatan mereka. Pemberontakan ini berasal dari adanya nilai tinggi yang diberikan masyarakat kepada pemuda atau masa muda. Jadi pemberontakan terhadap pembatasan tersebut berarti memberontak terhadap kenyataan “menjadi tua”. Pada wanita yang mementingkan penampilan dan pemujaan, pemberontakan terjadi ketika menyadari bahwa dirinya tidak menarik lagi seperti dulu. Bagi mereka yang sulit menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan fisik tersebut, cenderung memusatkan perhatian kepada pakaian yang dapat menampilkan dirinya lebih muda.

c. Perubahan peran

Mengalami perubahan peran selalu tidak mudah menimbulkan tantangan bagi setiap orang, terutama setelah memerankan suatu peran untuk kurung waktu, yang cukup lama dengan cukup memuaskan.

d. Perubahan minat

Pada masa ini pria dan wanita harus mampu mengembangkan minat-minat baru, sebagai pengganti minat-minat lama, mengingat kekuatan dan daya tahan tubuh menurun serta rela melapaskan minat lama meskipun hal ini tidak mudah. Bila tidak ada kecenderungan mereka menjadi bosan dan tidak tahu bagaimana harus mengisi waktu luangnya.

e. Simbol sosial

Wanita pada masa ini menaruh minat lebih besar terhadap simbol sosial. Hal ini dapat menimbulkan kerawanan dan bahaya untuk terbentuknya penyesuaian sosial maupun pribadi, bilamana keluarga tidak dapat memberikannya. Dalam hal demikian ada 3 reaksi yang timbul pada wanita-wanita yang mendambakan simbol status tersebut, yaitu:

§ Mereka mengeluh bahwa suaminya tidak mampu menyediakan uang untuk keperluan simbol status tersebut.

§ Mereka mengeluarkan uang terlalu banyak untuk simbol status (misalnya membeli barang-barang mewah) sehingga rumah tangga terbelit utang.

§ Mereka lalu mencari uang sendiri untuk keperluan tersebut dengan jalan bekerja; hal ini bisa membuat keretakan hubungan dengan suami karena suami merasa dianggap tidak mampu membiayai keluarga.

f. Aspirasi/cita-cita yang tidak realistik

Mereka yang berumur setengah baya, yang mempunyai cita-cita tidak realistik (aspirasi lebih tinggi dari kemampuan) mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya secara pribadi, bilamana menyadari bahwa tujuan hidupnya/cita-citanya tidak tercapai sedangkan waktu yang tersedia tinggal sedikit. Kegagalan ini dapat menimbulkan perasaan rendah diri dan perasaan tidak mampu yang selanjutnya mengembangkan sikap-sikap mengalah terhadap apapun dan berakibat pada makin turunnya prestasi (lebih rendah dari aspirasinya).

o Kerawanan sosial (social hazards)

Penyesuaian sosial yang buruk pada masa dewasa madya merupakan hal yang rawan oleh karena bertambahnya usia, baik wanita maupun pria harus lebih banyak mengadakan kontak dengan orang lain diluar rumah, terutama bila anak-anak telah keluar dari rumah, pasangan hidupnya telah meninggal. Apabila tugas perkembangan dalam mencapai tanggung jawab sosial sebagai orang dewasa dan sebagai warganegara tidak tercapai, mereka cenderung merasa kesepian dan tidak bahagia dimasa tuanya serta merasa sudah terlambat untuk mengadakan penyesuaian sosial yang baik.

Kondisi-kondisi yang mempengaruhi penyesuaian sosial pada masa ini ialah antara lain tidak adanya keterampilan, tekanan keluarga, lebih mementingkan hubungan keluarga daripada orang lain, masalah finansial.

I. Periode Dewasa Akhir

(Usiau 60 tahun sampai meninggal)

Periode dewasa akhir disebut juga masa tua. Meskipun batas antara masa dewasa madya dan dewasa akhir ialah 60 tahun, namun banyak orang yang berusia 60 tahun tidak menunjukkan gejala-gejala fisik maupun mental dari ker\tuaan. Mungkin hal ini disebabkan karena kondisi kehidupan yang lebih baik, sehingga banyak dari kelompok ini baru memperlihatkan gejala-gejala tua setelah menginjak usia 70 tahunan atau paling cepat pada usia 65 tahun. Oleh karena itu, ada kecenderungan untuk menetapkan usia 65 tahun sebagai batas awal periode usia tua/lanjut.

Karakteristik usia lanjut

1. Merupakan periuode penurunan (kemunduran)

Penurunan tersebut disebabkan sebagian oleh faktor fisik, seperti perubahan-perubahan sel ubuh karena ketuaan, dan sebagian lagi oleh faktor psikologik, seperti sikap terhadapnya terhadap orang lain dan terhadap kerja.

Mereka yang setelah pensiun tidak mempunyai minat apa-apa mudah menjadi depresi dan berantakan dan akhirnya kondisi fisik dan mentalnya menjadi cepat menurun dan akhirnya meninggal. Motivasi kelihatannya memegang peranan yang penting. Yang kurang bermotivasi untuk mempelajari hal-hal baru atau mengikuti jaman akan mengalami kemunduran yang lebih cepat.

2. ada perbedaan individual dalam efek ketuaan

Reaksi orang terhadap masa tua berbeda-beda, ada yang menganggap “pensiun” merupakan masa yang menyenangkan karena sekarang yang bersangkutan dapat hidup dengan lebih santai, namun ada pula yang menganggap “pensiun” sebagai “hukuman”.

3. Banyak terdapat stereotip-stereotip mengenai usia lanjut, seperti misalnya: adanya humor-humor dalam majalah-majalah mengenai usia tua yang menggambarkan masa tua tidak menyenangkan.

4. Sikap sosial terhadap usia lanjut

Umumnya terdapat sikap sosial terhadap orang-orang usia lanjut yang kurang positif. Mereka bukannya dihormati dan di hargai karena pengalamannya, malahan sikap mereka membuat para orang tua lanjut ini merasa tidak lagi dibutuhkan oleh kelompok sosial; lebih dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu. Namun ada perbedaan sikap antar budaya yang berbeda-beda pula, ada kelompok etnik yang menghargai tinggi terhadap usia lanjut. Disamping itu kelas sosial juga mempengaruhi sikap sosial ini. Misalnya saja pada kelompok sosial tinggi, dimana para orang usia lanjut adalah pemegang modal dan pemberi penghasilan kepada keluarga, cenderung lebih menghargai kelompok sosial usia lanjut ini, dibandikan dengan kelompok sosial menengah atau rendah yang sering justru harus bertanggung jawab secara finansial terhadap anggota keluarga usia lanjut ini, yang dapat berakibat timbulnya sikap kurang senang atau menolak kelompok usia lanjut.

5. Usia lanjut mempunyai status kelompok minoritas.

Sebagai akibat dari sikap sosial yang negatif terhadap usia lanjut mereka cenderung dibatasi dalam interaksi sosialnya dan hanya mempunyai kekuatan warga negara kelas dua, hal mana mempengaruhi penyesuaian dirinya secara sosial maupun pribadi. Sering mereka lalu bersikap defensif, juga tidak jarang menjadi korban dari orang-orang yang jahat/beritikad jelek.

6. Usia lanjut diikuti dengan perubahan-perubahan peran

Berhubung kelompok usia lanjut tidak dapat beraing lagi dengan kelompok yang lebih muda, mereka lalu kurang mempunyai peran yang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat, maupun dalam dunia bisnis. Sebagai akibatnya peran-peran yang dapat dimainkan menjadi kurang atau berubah sifatnya. Hal ini dapat mengembangkan sikap rendah diri dan dendam, yang akhirnya mempengaruhi pula penyesuaian sosial dan pribadinya.

7. Penyesuaian diri yang tidak baik

Sikap sosial yang negatif dan kurangnya pemberian “ganjaran” (rewards) terhadap jasa-jasa orang usia lanjut dimasa lalu, yang tercermin dari cara kelompok sosial memperlakukan mereka, maka tidak heran bila ada usia lanjut ini timbul konsep diri yang negatif/tidak baik. Konsep diri yang negatif ini menimbulkan penyesuaian diri yang kurang baik.

8. Ada keinginan untuk “peremajaan diri”

Adanya status ”warga negara kelas dua”menimbulkan keinginan untuk “muda kembali”, yang tercermin dalam tingkah laku seperti: face lifts, penggunaaan kosmetik, vitamin-vitamin, obat-obatan dll.

Tugas-tugas perkembangan periode dewasa akhir

1. Menyesuaikan diri terhadap penurunan kekuatan fisik dan kesehatan.

2. Menyesuaikan diri terhadap masa pensiun dan penurunan penghasilan.

3. Menyesuaikan diri terhadap kematian pasangan hidupnya.

4. Mengadakan hubungan yang eksplisit dengan anggota kelompok usianya.

5. Mengatur dan membuat lingkungan fisik agar hidup menjadi memuaskan.

6. Menyesuaikan diri terhadap penerapan kesejahteraan sosial secara fleksibel.

Kerawanan sosial dan pribadi pada periode dewasa akhir

Ada beberapa bukti bahwa orang-orang yang dipersiapkan terhadap perubahan-perubahan pribadi dan sosial yang terjadi dimasa usia lanjut, lebih mampu menyesuaikan diri terhadap kehidupan masa tua. Karena penurunan kondisi fisik dan mental, orang lanjut usia lebih potensial terhadap kerawanan-kerawanan dibanding waktu ia lebih muda dulu. Sayangnya masayarakat sering tidak melihat potensi tersebut, sehingga kurang ada usaha dilingkungan masyarakat untuk mempersiapkan orang-orang lanjut usia ini terhadap kerawanan-kerawanan tersebut kelak. Misalnya saja dipersiapkan terhadap kecelakaan-kecelakaan (yang umum terjadi pada mereka) atau bagaimana menghindarinya, atau kurang dibantu dalam mengadakan waktu luangnya sesuai dengan kesehatan dan energinya yang sudah menurun, selain itu juga dipersiapkan terhadap penyakit jantung, untuk mana harus diet, dsb.

Kerawanan - kerawanan fisik dan psikologis dibawah ini menunjukkan betapa pentingnya persiapan untuk mencegah terjadinya kerawanan-kerawanan sosial maupun pribadi.

Ø Kerawanan Pribadi (personal hazards)

Orang lanjut usia khususnya mengalami gangguan pada metabolisme, peredaran darah, rematik, hipertensi, gangguan mental, gangguan penglihatan dan pendengaran, tumor dll. Disamping gangguan/kerawanan yang nyata tersebut, sering pula timbul “penyakit” yang tidak riil (hanya dalam bayangan), banyak keluhan-keluhan fisik dan membicarakan keluhannya tersebut dengan para dokter (ganti-ganti dokter), yang pada dasarnya ingin mendapatkan perhatian. Beberapa orang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan fisiknya tersebut, tetapi beberapa yang lain selalu mengeluh dan mengasihani diri sendiri, yang akhirnya mengurangi motivasinya untuk mengatasi keadaan/ gangguan-gangguan tersebut.

Ø Kerawanan sosial (social hazards)

Ada beberapa kerawanan yang khas pada lanjut usia, yaitu:

a. Menerima adanya anggapan atau stereotip tentang lanjut usia yang diberikan oleh masyarakat. Hal ini membuat para lanjut usia ini merasa inferior.

b. Perasaan tak berdaya dan inferior yang disebabkan oleh perubahan fisik dan penurunan daya tarik maupun karena perasaan ditolak oleh masyarakat. Juga karena gigi sudah banyak yang tanggal, pendengaran dan penglihatan berkurang, membuat mereka susah mengadakan komunikasi.

c. Tidak mau melepaskan atau mengganti gaya hidup yang lama, mengganti rumahnya dengan yang lebih kecil dan praktis.

d. Menyadari bahwa mereka mulai menjadi pelupa, sulit mempelajari hal-hal baru, lalu menarik diri dari aktivitas-aktivitas yang bersifat kompetititif, lebih-lebih dengan kaum muda.

e. Perasaan bersalah karena tidak menyumbangkan tenaga lagi bagi masyarakat, mungkin mereka ingin berbuat sesuatu tetapi merasa malu dan takut dianggap seolah-olah pekerjaan yang ada itu “dibuat” atau diada-adakan oleh masyarakat khusus untuk mereka.

f. Pendapatan yang berkurang, mengurangi kesempatan untuk kegiatan-kegiatan diwaktu senggang/luang, hiburan-hiburan dan lain-lain.

g. Kurangnya kontak sosial karena kesehatan yang tidak memungkinkan atau keadaan finansial yang kurang/terbatas, dan lain-lain merupakan kerawanan psikologik, karena mereka lalu merasa terisolir. Hal ini mempengaruhi penyesuaian pribadi maupun sosialnya.



Related post: